Penerima Manfaat Wakaf

Ilustrasi wakaf. (Foto: nabire.net)

JAKARTA – Penerima manfaat wakaf (mauquf alaih) adalah pihak yang mendapatkan manfaat dari wakaf. Menurut undang-undang tentang wakaf, mauquf alaih adalah pihak yang ditunjuk untuk menerima manfaat dari harta wakaf sesuai dengan kehendak wakif yang tercatat dalam Akta Ikrar Wakaf.

Peran mauquf alaih sangat penting dalam wakaf karena pahala yang diperoleh wakif atas wakafnya tergantung pada manfaat yang berkelanjutan dari wakaf tersebut dalam mewujudkan kebaikan dan kemaslahatan.

Dalam konteks mauquf alaih, wakif memiliki kekuasaan untuk menentukannya saat mewakafkan harta, dan nazir sebagai penerima amanah dari wakif bertanggung jawab untuk mengelola harta wakaf.

Oleh karena itu, wakif harus memahami peran mauquf alaih sehingga harta yang diwakafkan benar-benar bermanfaat bagi kemaslahatan umat, bukan hanya dimanfaatkan oleh nazir untuk kepentingannya sendiri.

Penetapan Mauquf Alaih 

Dalam hal penetapan mauquf alaih, ada hal yang perlu dipahami, yaitu perbedaannya dengan peruntukan harta wakaf. Ketika mauquf alaih dikaitkan dengan peruntukan harta wakaf, seringkali fokus hanya pada penggunaan harta wakaf itu sendiri.

Misalnya, tanah wakaf yang diperuntukkan untuk sekolah, fokus hanya pada penggunaan tanah tersebut untuk keperluan sekolah. Namun, masalahnya timbul ketika sekolah tersebut bersifat komersial dengan pembayaran yang mahal dan menghasilkan keuntungan.

Ke mana keuntungan tersebut harus disalurkan? Di sinilah pentingnya membedakan antara mauquf alaih dan peruntukan harta wakaf.

Penggunaan tanah wakaf untuk sekolah adalah peruntukan harta wakaf, sedangkan siswa yang mendapatkan beasiswa, misalnya, merupakan mauquf alaih atau pihak yang memperoleh manfaat atau keuntungan dari penggunaan tanah wakaf tersebut untuk keperluan sekolah.

Jadi, saat melakukan ikrar wakaf, tidak cukup hanya menyebutkan peruntukan harta wakaf, tetapi juga harus menyebutkan mauquf alaih-nya.

Bagaimana jika wakif tidak menyebutkan peruntukan harta wakaf dan mauquf alaih-nya atau hanya menyebutkan peruntukannya saja?

Dalam situasi ini, tergantung pada tujuan wakaf, nazir harus menentukan peruntukan harta wakaf dan mauquf alaih sesuai dengan tujuan wakaf itu sendiri.

Tujuan wakaf tidak hanya untuk beribadah kepada Allah SWT, tetapi juga untuk meningkatkan kesejahteraan sosial dan ekonomi. Jika mauquf alaih ini diabaikan atau kurang mendapat perhatian, maka wakaf akan kehilangan peran strategisnya sebagai instrumen kemajuan umat.

Sebaliknya, jika mauquf alaih ini ditempatkan sesuai dengan tujuan wakaf, maka wakaf akan menjadi instrumen penting kemajuan umat sebagaimana kemajuan peradaban Islam pada masa lalu yang penopang utamanya adalah wakaf.

Terwujudnya pendidikan gratis, kesehatan gratis, perpustakaan gratis, merupakan contoh mauquf alaih  dalam kegiatan wakaf pada masa kejayaan peradaban Islam.

Penyaluran Hasil Wakaf

Terkait dengan penyaluran hasil dari pengelolaan wakaf, apakah semua hasilnya harus diberikan kepada mauquf alaih), atau sebagiannya boleh digunakan untuk pengembangan wakaf atau pembentukan wakaf baru, serta apakah boleh digunakan untuk biaya perbaikan atau pemeliharaan harta wakaf.

Dalam hal penggunaan hasil pengelolaan wakaf untuk pengembangan wakaf atau pembentukan wakaf baru, Lembaga Fikih Islam memutuskan bahwa sebagian dari hasil pengelolaan wakaf sosial (wakaf khairy) boleh digunakan untuk tujuan tersebut.

Namun, untuk wakaf keluarga (wakaf ahly), izin dari keluarga penerima manfaat wakaf (mauquf alaih) harus diperoleh jika sebagian dari hasil pengelolaan wakaf akan digunakan untuk pengembangan wakaf.

Sebagian dari hasil pengelolaan wakaf juga boleh digunakan untuk biaya perbaikan atau pemeliharaan harta wakaf, sehingga harta wakaf tetap dapat digunakan atau menghasilkan manfaat.

Jika perbaikan membutuhkan biaya yang besar, maka seluruh hasil pengelolaan wakaf boleh digunakan untuk biaya perbaikan, dengan tujuan menjaga agar harta wakaf tetap terpelihara dan dapat digunakan sesuai dengan tujuan wakaf.

Dalam hal pengelolaan hasil wakaf, Badan Wakaf Indonesia telah memberikan pedoman mengenai pembagian hasil bersih dari pengelolaan wakaf.

Pembagian ini dilakukan setelah mengurangi biaya operasional dan pajak (jika ada), dan ditetapkan sebagai berikut: maksimal 10% untuk nazir, minimal 50% untuk mauquf alaih, dan sisanya untuk cadangan seperti biaya pemeliharaan, biaya asuransi, reinvestasi atau pengembangan wakaf atau pembentukan wakaf baru, serta biaya-biaya lain yang diperlukan.

Akhirnya, keberhasilan pengelolaan wakaf terletak pada sejauh mana manfaat wakaf diterima oleh mauquf alaih. (bwi.go.id)