Genderang perang melawan praktik pungli yang sudah mewabah dan menjangkiti segenap instansi perizinan dan layanan umum sehingga menyengsarakan umat sejak bertahun-tahun harus terus ditabuh, tidak dibiarkan berhenti dan cuma menjadi euforia pemberitaan dan hiruk-pikuk sesaat.
Aba-aba untuk memulai gerakan membasmi pungli dicanangkan Presiden Jokowi saat menyaksikan Operasi Tangkap Tangan (OTT) di kantor pusat Kementerian Perhubungan terkait izin perkapalan dan kepelautan pada 11 Oktober lalu. Enam tersangka pelaku termasuk tiga PNS di lingkup Ditjen Perhubungan Laut tertangkap basah memungut uang haram atas layanan yang diberikan .
Presiden kemudian terus memantau dan mengingatkan aparat pemerintah untuk tidak mencoba-coba lagi melakukan pungli terhadap masyarakat yang membutuhkan layanan, sebaliknya, meminta mayarakat untuk melapor jika dimintai uang di luar ketentuan saat mengurus sesuatu.
“Mata saya hanya dua, tapi saya punya mata dan telinga yang lain. Jika ada laporan, saya akan segera kirim orang, dan jika terbukti, saya minta orang itu ditangkap dan dipecat, “ kata Jokowi mengingatkan.
Satgas Sapu Bersih Pungli di bawah Menko Polhukam Wiranto yang baru dibentuk juga sudah mulai beraksi dengan menyiapkan tiga kanal untuk menampung pengaduan masyarakat yakni secara on-line melalui saberpungli.id, pesan singkat (SMS) ke 1193 atau menelpon langung ke nomor 193.
Korban oknum aparat yang masih melakukan pungli juga mulai berjatuhan dalam operasi-operasi tangkap tangan internal oleh Polri termasuk aparatnya di polda-polda. Beberapa gubernur juga mulai proaktif melancarkan operasi serupa di wilayahnya masing-masing, namun sebagian kepala daerah agaknya masih mengira-ngira “arah angin”.
Seperti yang dilaporkan oleh Ombudsman baru-baru ini, praktik pungli tidak hanya terjadi seperti tampak kasat mata pada instansi layanan publik atau di jalan-jalan raya terhadap para supir kendaraan angkutan barang, baik yang membawa muatan lebih maupun tidak.
Walaupun jumlahnya ada yang relatif “receh”, – mulai dari Rp5.000-an, ada juga yang sampai milyaran rupiah – pungli di sektor perizinan dan layanan umum sudah terjadi secara masif dan sistemik, sehingga secara akumulatif nilainya diduga bisa mencapai puluhan triliun rupiah. Rasanya sulit untuk menemukan, instansi layanan umum yang bebas pungli.
Dari fakta sejarah, sejak era Orde Baru gebrakan melawan pungli dan suap sudah pernah digaungkan misalnya melalui operasi-operasi tertib yang dilancarkan Kopkamtib dibawah panglimanya, Soedomo pada tahun 1977. Setelah itu, aksi pemberantasan pungli nyaris tidak terdengar lagi.
Di era reformasi, para presiden penerus masing-masing juga menerbitkan peraturan untuk memberantas korupsi termasuk pungli, namun lagi-lagi hasilnya juga tidak signifikan, bahkan praktik korupsi terus merajalela, bagaikan kanker yang terus menggerogoti segenap sendi-sendi kehidupan.
Ironisnya , institusi-institusi yang seharusnya menjadi ujung tombak pemberantasan pungli atau suap termasuk lembaga tinggi negara dan institusi penegak hukum malah tidak jarang, anggota bahkan pimpinannya tersangkut kasus pungli, gratifikasi atau suap.
Yang menyedihkan, sektor pendidikan yang diharapkan mampu mencetak kader-kader elit bangsa justeru paling banyak dilaporkan terjadi kasus-kasus suap dan pungli (45 persen). Besarnya anggaran pendidikan yang dikelola (sebesar 20 persen dari APBN) , lemahnya pengawasan dan kompetensi SDM menjadi penyebab utamanya.
Sektor pertanahan juga dilaporkan sarat praktek pungli (10 persen), disusul sektor penegakan hukum (tujuh persen), administrasi kependudukan dan bea cukai (enam persen), kepegawaian dan perhubungan (lima persen), perizinan (empat persen) dan kesehatan (tiga persen).
Pemda merupakan penyedia layanan umum paling banyak dilaporkan terjadi kaus suap atau pungli (53 persen), diusul sekolah negeri (17 persen), kementerian (delapan persen), kepolisian (enam persen), BUMN dan BUMD dan (masing-masing empat persen).
Di pemda-pemda, praktik pungli, suap dan percaloan sulit dibasmi karena sering melibatkan aparat dan dilembagakan sebagai pugutan resmi, berlindung di balik perda-perda yang dengan mudah diterbitkan.
Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksana Otonomi Daerah (KPPOD) Robert Endi Jaweng mengungkapkan, 586 perda (45 persen) dari 1.300 perda mengenai pajak, retribusi, perizinan dan ketenagakerjaan yang dikaji dinilai bermasalah (standar waktu,biaya dan prosedur tidak jelas, begitu pula dengan hak dan kewajiban pemungut serta rujukan hukumnya). Pada periode 2010 sampai 2015 Pemda-pemda juga getol mengeluarkan perda (5.560 perda) dari seluruh perda yang ada (15.146).
Ada pungutan yang memiliki dasar hukum di pemerintah pusat maupun daerah walaupun substansinya membebani pengusaha dan masyarakat, ada juga pungutan yang sudah dihapus di pusat, namun masih dilakukan pemda, bahkan ada pula pungutan yang tidak ada dasar hukumnya.
Sejarah telah membuktikan, aksi pemberantasan pungli dan suap yang merupakan bagian dari praktek korupsi tidak bisa dilakukan setengah hati atau dengan gebrakan sesaat, tetapi harus total, konsisten dan terus-menerus melalui gerakan nasional di seluruh lini lembaga negara dan aspek kehidupan.
“Peran serta masyarakat untuk mengawasi dan melaporkan juga akan menentukan berhasilnya upaya membasmi pungli dan suap yang menyengsarakan rakyat, menghambat kemajuan ekonomi dan merendahkan martabat bangsa,” (Nanang Sunarto).