
INDONESIA, negara maritim dengan sekitar 17.000 pulau yang duapertiga wilayahnya lautan sedang mewacanakan pengadaan kapal induk untuk Operasi Militer Perang (OMP) mau pun Operasi Militer Selain Perang (OMPS).
Dengan prinsip, teliti sebelum membeli, tentu pertimbangan dari berbagai sisi perlu dilakukan, selain harganya mahal, menguras APBN, juga biaya perawatan, sarana dan prasarana serta armada pendukungnya dalam Gugus Tugas kapal induk (Carrier’s Strike Group – CSG) .
Sebabnya, walau dilindungi ragam alutsista mulai dari rudal, torpedo, bom dan ranjau anti permukaan dan bawah laut, serangan udara, kanon untuk pertempuran jarak dekat (closed-in weapon system -CWIS) dan perang elektronika (Electronic Counter Measure-ECM) serta pesawat-pesawat tempur yang diangkutnya, kapal induk masih perlu dikawal sejumlah kapal.
CSG yang biasanya terdiri dari sebuah kapal induk dikawal sejumlah kapal perang seperti penjelajah, perusak, fregat, korvet dan kapal selam.
Jangan tanya harganya! Contohnya, kapal induk AS kelas Nimitz (panjang 333 m, lebar 77 m, bobot 104-ribu ton) dan awak 5.500-an orang (awak kapal dan skadron udara) dibandrol dengan harga 13 miliar dollar AS (Rp213 triliun).
Bandingkan dengan anggaran pertahanan RI 2025 sebesar Rp155 triliun jika dibelikan kapal induk kelas USS Nimitz masih tidak cukup, belum untuk gaji prajurit yang mengambil lebih separuh anggaran, pengadaan dan juga perawatan alutsista lainnya
Kapal Induk ringan
Co-Founder Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Khairul Fahmi menyambut baik rencana pengadaan kapal induk ringan jenis landing helicopter dock (LHD) yang tengah dikaji Kemenhan dan TNI AL.
“Saya kira minimal kapal induk ringan atau kapal serbu amfibi dengan kemampuan pesawat lepas landas pendek, lebih realistis untuk diwujudkan. Jadi, bukan kapal induk besar,” kata Khairul kepada Kompas.com, Sabtu (8/2).
Mnurut dia, keberadaan kapal induk sangat penting untuk pengamanan jalur perdagangan internasional, operasi kemanusiaan, dan respons cepat terhadap bencana.
Begitu pun tantangan keamanan maritim, seperti penangkapan ikan ilegal, konflik di Laut China Selatan (LCS), serta ancaman bencana alam mengingat kapal induk bisa difungsikan sebagai RS terapung, pusat komando darurat, hingga pangkalan udara dalam kondisi-kondisi darurat.
Kendati begitu, Khairul mengingatkan pemerintah untuk turut mempertimbangkan biaya pemeliharaan dan pembangunan infrastruktur menyusul wacana pengadaan kapal induk untuk (OMSP).
Terlebih, kata dia, prioritas anggaran pertahanan negara saat ini masih fokus pada modernisasi alutsista, memprioritaskan penggantian alutsista yang sudah tua, seperti pesawat tempur hingga sistem pertahanan darat lainnya.
Dengan anggaran terbatas, pengadaan kapal induk belum bisa menjadi prioritas utama. “Ini terkait investasi jangka panjang, butuh anggaran besar.
Sementara anggota Komisi I DPR TB Hasanuddin senada dengan ahmi menyatakan, TNI memang memerlukan kapal induk, tetapi biaya membangun atau membeli kapal induk sungguh mahal sehingga mesti dipertimbangkan ragam hal, termasuk biaya pemeliharaan dan integrasi dengan alutsista lain.
“Memang di wilayah barat kita butuh (kapal induk), tetapi mahal. Jadi harus ada pertimbangan terkait biaya pemeliharaan dan integrasi dengan pesawat-pesawat,” ujar TB Hasanuddin
Yang perlu dicermati juga, meningkatnya kerawanan kapal induk, seperti simulasi yang dilakukan AS di mana kapal selam konvensional AL Swedia HSwMS Gotland berhasil” menyusup dan menenggelamkan” kapal induk AS USS George Washington.
Berkembangnya rudal balistik pembunuh kapal induk seperti seri Dong Feng DF-21D dan DF-26D milik Tiongkok berjangkauan antara 1.500 sampai 4.000 km juga perlu dijadikan pertimbangan untuk memiliki kapal induk ke depannya.
Tercatat hanya segelintir negara yang mengoperasikan kapal induk sejauh ini yakni AS (terbanyak, 12 unit), Inggris, Perancis, Tiongkok, India, Italia, Rusia, Jepang, Turki, Spanyol dan Thailand, satu-satunya negara ASEAN.
Teliti sebelum membeli dan hitung dengan cermat kocek anggaran negara, manfaat serta mudharatnya!