spot_img

Perlunya Lansia Bawel

MENJADI tua atau lansia itu tak bisa dihindari. Jika orang bisa terhindar dari ketuaan, berarti dia mati muda, belum kenyang ngemut legining gula (baca: manisnya) kehidupan. Tapi jika sempat menikmati hari tua kok malah pikun, tak bahagia juga. Maka perlu didengar nasihat dr. Kevin C. O’Connor dokter pribadi Presiden AS Joe Biden, tambah tua harus banyak ngoceh atau bawel, sebab hanya itu terapi yang bisa menghindari pikun!

Merujuk pendapat dokter pribadi Presiden AS tersebut, kita menjadi maklum kenapa Amien Rais pendiri partai PAN dan Ummat itu semakin tua makin nyinyir. Tak pernah capek membaweli pemerintahan Presiden Jokowi. Ternyata oh ternyata, tujuan utamanya adalah untuk melawan pikun. Jokowi disebutnya lame duck president (bebek lumpuh), tapi tak mau dirinya jadi: the snile person (orang pikun).

Wartawan adalah profesi pemikir. Maka tokoh pers seperti H. Subagijo IN (Pak SIN), Rosihan Anwar,  Yakob Utama dan Harmoko, adalah sosok yang tidak sampai pikun hingga ajal menjemput. Mereka masih bisa cerita runtut di masa perjuangan dulu, tanpa harus lihat catatan. Sebab sebagai wartawan mereka terus berfikir, menelurkan ide-ide baru untuk ditumpahkan pada media miliknya atau yang dibantunya.

Lalu mengapa ngomel dan bawel menjadi terapi anti pikun? Dokter Kevin punya teori, berbicara mengaktifkan otak dan membuat otak tetap aktif. Sebab bahasa dan pikiran berkomunikasi satu sama lain, terutama ketika berbicara dengan cepat, yang secara alami menghasilkan “refleksi berpikir” yang lebih cepat dan juga meningkatkan “daya ingat”.

Selain itu, berbicara  banyak menghindari penyakit mental dan mengurangi stres.  Kita sering tidak mengatakan apa-apa, tetapi kita menguburnya dalam hati dan itu mencekik diri kita sendiri. Tahu-tahu paru-paru luka alias terkena penyakit TBC, jika makin parah sama saja sudah mulai anguk-anguk (melongok) kubur. Padahal mau Chairil Anwar penyair dan kebanyakan orang, ingin hidup seribu tahun lagi.

Kata orang bijak, orang semakin tua akan semakin bijak lantaran sudah banyak makan garam, maksudnya: banyak pengalaman hidup. Dia tahu, jika begini bakalnya jadi begitu, jika begitu, bakalnya jadi begono. Nah, lewat kebawelan dan lambe turahnya dia memberi nasihat.

Dari perspketif Islam juga ada nasihat merujuk pada hadits Nabi: ‘Barang siapa dari kalian melihat kemungkaran, ubahlah dengan tangannya. Jika tidak bisa, ubahlah dengan lisannya. Jika tidak bisa, ingkarilah dengan hatinya, dan itu merupakan selemah-lemahnya iman.” (HR. Muslim) Ini parallel dengan pemahaman orang Barat bahwa diam itu adalah emas.

Pertanyaannya sekarang, pilih mana antara lemah iman dan lemah syahwat? Bagi kawula muda yang berusia di bawah 50 tahun, lemah syahwat adalah hal sangat menakutkan, dunia rasanya mau kiamat. Agar bisa tetap perkasa, tetap rosa-rosa macam Mbah Marijan, berbagai usaha dilakukan. Dari mengunjungi dokter Pangkahila, sampai dokter Naek L. Tobing. Bila tak mempan juga, banyak yang lari ke pil Viagra, padahal banyak yang kemudian malah kalah WO, alias kalah sebelum bertanding.

Tapi bagi kalangan kakek-nenek, jelas memilih opsi yang kedua. Lemah syahwat juga nggak papa, yang penting kuat iman. Sebab dalam usia 60 tahun ke atas, pasangan suami istri itu lebih banyak menganggap istri atau suami hanyalah sebagai persahabatan, tidak ada lagi pertandingan. Jika adapun ya sudah jarang-jarang.

Orang Jawa punya pandangan tersendiri menghadapi usia lanjut. Jadilah tuwa awas, jangan tuwa tuwas. Maksud tuwa awas adalah, semakin tua semakin bijak. Istilah lain: mbegawan. Contohnya almarhum BJ Habibie, setelah usia lanjut sebagai mantan presiden, tidak lagi mencampuri politik. Dia berdiri kokoh sebagai bapak bangsa.

Adapun tuwa tuwas adalah orang yang sudah dalam usia lanjut tindakannya tidak semakin bijak, tapi malah merusak. Tambah tua hanya tambah umur, tetapi tidak tambah bijaksana. Dalam Serat Wedatama karya Pakubuwono IV ada sepenggal tembang Jawa dengan lirik: yekti sepi asepa lir sepah samun. Maksudnya adalah: seseorang yang sudah berusia lanjut, tapi hanya banyak umur saja, kosong tidak ada ilmunya, bagaikan batang tebu habis digiling di Pabrik Gula Madukisma (Yogyakarta) atau  PG Tasikmadu, Karanganyar, Solo. (Cantrik Metaram)

spot_img

Related Articles

spot_img

Latest Articles