NILAI sebuah barang kadang tergantung pada siapa pemakainya. Sarung misalnya. Bagi orang Islam Indonesia, memakai sarung itu biasa. Tapi begitu yang mengenakan Presiden Jokowi, langsung heboh dan menjadi tranding topic di jagad maya. Sudah beberapa kali Presiden Jokowi mengenakan sarung untuk kegiatan resmi. Itu merupakan pesan bagi rakyatnya, jadilah orang Islam yang mencintai budaya bangsa sendiri.
Sarung itu identik dengan Nahdlatul Ulama (NU). Sebab jika ada istilah “kaum sarungan”, pastilah yang dimaksudkan ulama dan santri NU. Tapi anehnya, Jawa Timur yang lebih banyak pengikut NU-nya, sarung pernah turun pamornya, sehingga Gubernur Basofi Sudirman (1993-1998) perlu membangkitkan lagi agar rakyat Jatim mencintai sarung. Ke mana-mana baliau mengenakan jas yang berbahan kain sarung. Di Jatim kala itu populer sarung “Sarfi” dalam arti Sarung Basofi.
Sarung Basofi kini tak ada beritanya lagi. Ketika ada pejabat masih peduli akan sarung, munculah Jokowi presiden RI ke-7. Ketika didaulat untuk membuka Muktamar NU ke 33 di Jombang (Jatim) Agustus 2015, ada yang membisiki bahwa sebaiknya Presiden mengenakan sarung. Demi menghormati kaum nadliyin, datang ke acara itu benar-benar Jokowi mengenakan sarung merah yang dipadu dengan jas hitam.
Tapi apa lacur, di sana peserta muktamar dan para petinggi NU justru mengenakan celana panjang. Tentu saja Jokowi merasa “dikerjain”. Untung Jokowi masih diselamatkan oleh tokoh se-“aliran” yakni Gus Mustofa Bisri, yang menyambut Presiden dengan bersarung juga. Bahkan Megawati menyanjung “petugas partai”-nya itu dengan mengatakan, “Sarungmu bagus, Dik.” Mungkin bagus di mata Mega, karena warnanya merah, identik dengan PDIP.
Namun Jokowi tidak kapok dengan pengalaman “buruk”-nya. Ketika dua hari lalu mengunjungi Pondok Pesantren At-Taufiqy di Kecamatan Wonopringgo, Pekalongan, sejak di pesawat sudah mengenakan sarung coklat muda. Saat muludan di kediaman Habib Luthfi, bahkan mengunjungi berbagai proyek di daerah itu, tetap juga bersarung ria. Sayang ketika ditanya merk apa, Presiden enggan menyebut. Maklum, hal ini memiliki nilai promosi tersendiri bagi produsen sarung tersebut.
Di berbagai kegiatan tidak resmi, Jokowi juga suka tampil bersarung. Misalnya menjelang tahun baru 2016 di pantai Raja Empat, Papua, atau menjelang tahun baru 2017 di Istana Bogor. Fotonya langsung memenuhi jagad maya, meski kemudian kedua putranya, Gibran dan Kaesang, berebut mengomentari “Bapak pakai sarung saya.”
Apa kandungan pesan dari sikap Presiden Jokowi ini? Beliau ingin menegaskan, bahwa sebagai umat Islam jangan melupakan budaya sendiri. Karena orang Islam Indonesia biasa mengenakan sarung, seyogyanya ya tetap bersarung, meski mengenakan jubah juga tidak dilarang. Bung Karno pun pernah berpesan, yang beragama Islam jangan jadi Arab, yang beragama Hindu jangan jadi India, yang Kristen juga jangan jadi Yahudi. “Tetaplah jadi orang Nusantara yang kaya akan adat dan budayanya,” kata Bung Karno.
Lewat sarung, Ketum PBNU KH. Said Aqil Siradj sering kali menekankan perlunya Islam nusantara ini. Sebab kata beliau, sarung adalah pakaian yang paling demokratis. Kenapa? Sarung itu memberikan ruang gerak yang begitu luas bagi pemakainya. Tapi secara tak langsung sarung juga menjadi faktor pertambahan penduduk. “Kyai banyak punya anak 8 hingga 10 karena dengan pakai sarung, yang di dalam bebas bergerak,” kata KH. Said Aqil Siradj.
Sebagai penggemar sarung, Jokowi sangat konsisten. Ketika mengalami defisit APBN 2016, Presiden menyusun anggaran juga model sarung. Maksudnya, dana yang serba tanggung. Karena terlalu banyak dipangkas, dana itu jadi seperti sarung: ditarik ke atas kaki kedinginan, ditarik ke bawah giliran kepala yang isis (kedinginan). (Cantrik Metaram)