BEBERAPA hari lalu Presiden Jokowi mengisyaratkan, PPKM (Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat) akan dicabut akhir tahun 2022 ini. Tentu saja setelah memperoleh sinyal dari Kementrian Kesehatan. Sayangnya, pakar epidemiologi dari Universitas Griffith Australia Dicky Budiman, justru menganggap keputusan pemerintah itu terlalu beresiko. Mestinya tunggu saja dulu sampai liburan Nataru (Natal dan Tahun Baru) usai. Bila ternyata aman, barulah keputusan boleh diambil.
Indonesia berkenalan dengan Covid-19 mulai 2 Maret 2020. Diawali dengan 2 orang penderita, pada 2 Maret dua tahun berikutnya (2022), jumlah penderita mencapai 5.589.176 orang. Dari jumlah itu yang sembuh kembali sebanyak 4.901.302 orang, yang meninggal tercatat 148.660 orang. Sedangkan data terbaru hingga Nopember 2022, jika ditarik dari awal Maret 2020 penderita Corona dengan berbagai farian jumlahnya mencapai 6.653.469 orang. Dari jumlah tersebut yang meninggal sebanyak 159.735 jiwa, sementara yang berhasil disembuhkan sebanyak 6.435.851 orang.
Hingga Desember ini, berarti Indonesia telah didera pandemi Corona selama 2 tahun lebih 8 bulan. Untung saja Presiden Jokowi menolak untuk melockdown Indonesia sebagaimana disarankan banyak kalangan. Kita tak punya dana cukup untuk menjamin kehidupan rakyatnya secara gratis selama 2 tahun lebih. Akhirnya ibarat mobil jalan setengah kopling, Indonesia lolos dari kebangkrutan.
Pemerintah dan dan rakyatnya ngguya-ngguyu (tertawa), sementara kelompok sebelah alias oposisi mecucu (cemberut). Sebab jika Jokowi mau mengikuti sarannya untuk lockdown dan pemerintah gagal mengatasi kebangkrutan, mereka punya alasan untuk mengambil alih kekuasaan.
Selama 2 tahun 8 bulan, bangsa Indonesia benar-benar capek menghadapi Corona. Capek tenaga dan pikiran, juga kantong. Kata Menkeu Sri Mulyani, realisasi anggaran Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (PC-PEN) mencapai Rp280,7 triliun hingga 18 November 2022. Realisasi ini baru 61,6% dari total pagu anggaran yang sebesar Rp455,62 triliun. Ini terjadi karena penangaan Covid-19 hasilnya semakin membaik.
Ciri-cirinya, Wisma Atlet di Kemayoran Jakarta yang menjadi gudangnya penderita Covid-19, kini hanya akan menggunakan satu gedung saja, sementara dari berbagai provinsi dilaporkan penderita Corona semakin menurun. Semoga trennya terus menurun. Maklum, di Jakarta misalnya, Pemprov DKI sudah kehabisan TPU, bahkan TPU Pondok Ranggon sudah lama ditutup karena disesaki para korban Covid-19 yang wafat bila pinjam bahasanya tukang kijing.
Sayangnya, kebijakan Presiden Jokowi untuk mencabut status PPKM itu dianggap terlalu beresiko. Pakar epidemiologi dari Universitas Griffith Australia Dicky Budiman punya alasan, setiap habis nataru dan mudik Lebaran, wabah Corona meruyak lagi. Maka Dicky Budiman menyarankan tunggu dulu dampak liburan Nataru. Bila ternyata korban Covid-19 terus menurun, barulah Presiden Jokowi mencabut PPKM.
Bagi pemerintah, itu kelamaan, sebab rakyat sudah capek diatur ini itu gara-gara Covid-19. Disiplin Prokes kini sudah mengendur. Ketika Presiden Jokowi mantu Kaesang – Erina Gudono misalnya, tuan rumah dan para undangan sudah tak ada jaga jarak lagi. Yang pakai masker tinggal satu-dua, ini termasuk di mesjid-mesjid. Bila mash ada yang pakai masker, kemungkinan karena sudah kadung terbiasa, bisa juga demi menutupi giginya yang ompong.
Semoga pencabutan PPKM di akhir 2022 ini benar-benar terjadi, dari pandemi menjadi endemi. Dengan demikian ekonomi semakin bergairah. Para korban PHK yang sampai diceraikan oleh istrinya bisa rujuk kembali. Sebab selama pandemi Corona banyak istri yang minta cerai. Mereka tidak kuat punya suami yang hanya kuat di ranjang tapi tidak kuat berjuang untuk mencari uang. (Cantrik Metaram)