Rakyat Malaysia Lelah Berpolitik

Negara jiran Malaysia menggelar pemilu untuk memilih 222 anggota parlemen dari 945 kandidat. Rakyat sudah jenuh kemelut politik yang terjadi dua tahun terakhir dimana sudah dua PM diangkat di negara itu.

SEKITAR 21 juta warga negeri jiran Malaysia yang memiliki hak pilih mengikuti pemungutan suara Pemilu, hari ini, Sabtu (18/11) untuk memilih 222 anggota parlemen dari 945 calon yang berkontestasi.

Pemilu kali ini digelar saat masyarakat merasa lelah menyaksikan pertarungan sengit para elite politik yang tak kunjung reda sejak dua tahun terakhir ini dimana negara jiran tersebut sudah berganti PM dua kali.

Para pakar memprediksi, pemilu kali ini akan berlangsung ketat dan sukar diprediksi siapa pemenangnya. Koalisi Barisan Nasional yang sempat berkuasa berpeluang untuk merebut kekuasaan kembali.

Penguasa selama beberapa dekade tersebut kalah secara menyakitkan dari koalisi Pakatan Harapan (PH) pada Pemilu 2018, sayangnya kemenangan koalisi dipimpin Anwar Ibrahim itu tidak bertahan lama.

Ketua PH sekaligus PM Mahathir Mohammad memutuskan untuk lengser pada 24 Feb.2020 setelah 22 bulan menjabat, sementara PM berikutnya Muhyiddin mengakhiri 17 bulan kepemimpinannya,  juga mengundurkan diri pada 16 Agustus 2021, sehingga selama dua tahun Malaysia memiiliki dua PM.

Pertikaian internal dan penghianatan berujung runtuhnya pemerintahan PH dan kemudian mendorong percepatan pemilu oleh otoritas setempat dari 2023 ke 2022.

Rakyat sendiri menilai, perebutan kekuasaan oleh para elite politik telah mengakibatkan peralihan fokus para politisi dari persoalan rill yang dialami mereka terutama kesulitan ekonomi.

Nilai tukar mata uang ringgit Malaysia anjlok ke tingkat terendah dalam 24 tahun terakhir ini, sementara pertumbuhan ekonomi juga melamban di tengah pandemi ekonomi menjadi 4 sampai 5 persen saja.

Dari jajak pendapat yang digelar harian New Straight Times, 27,4 persen dari 2.074 responden menilai kenaikan biaya hidup yang paling menjadi keprihatinan mereka, 14,3 persen terkait upah yang tidak naik-naik, 13,3 persen persoalan pendidikan dan 9,5 persen persoalan transportasi.

Mungkin kondisi di negeri jiran Malaysia mirip dengan di sini, dimana rakyat juga selain lelah juga muak dengan manuver para politisi yang dalam orasi mereka berkoar-koar mengatasnamakan negara dan bangsa, padahal cuma pencitraan di balik ambisi para politisi mengejar kekuasaan.