
PEMERINTAH RI mengamati dengan seksama perjanjian pertahanan antara Australia dan Papua Nugini dan berharap agar kedua negara itu menjunjung tinggi kedaulatan dan kemerdekaan Indonesia.
Helena Souisa dari ABC News seperti dikutip Kompas.id (10/10) melaporkan, Jubir Kemenlu RI, Vahd Nabyl mengatakan bahwa pihaknya memperhatikan dengan saksama penguatan kerja sama pertahanan antara kedua negara tetangga ini.
Perjanjian Pukpuk yang ditandatangani, Senin (6/10) menandai aliansi baru pertama Australia dalam lebih dari 70 tahun, dan bersama Papua Nugini, berkomitmen menghadapi ancaman bersama, sesuai konstitusional masing-masing.
Perjanjian Aussie – PNG itu memunculkan pertanyaan tentang konflik dan ketegangan yang berkelanjutan di Papua.
Beberapa tahun terakhir ini , desakan gerakan Papua Merdeka di Indonesia makin intensif, bahkan seringkali memakan korban jiwa di mana perbatasan Indonesia-Papua Nugini menjadi titik fokus konflik.
Sejumlah warga Papua yang terusir mencari perlindungan ke Papua Nugini, semntara Indonesia memperketat kontrol di perbatasan dan mengerahkan pasukan dalam upaya untuk meredam gerakan separatis.
Sebagai negara yang memiliki perbatasan darat langsung dengan Papua Nugini, Nabyl menyebut Indonesia selama ini memiliki hubungan kerja sama, komunikasi, dan koordinasi yang baik dengan Papua Nugini untuk menjaga keamanan dan ketertiban di sepanjang wilayah perbatasan kedua negara.
“Indonesia juga mencatat komitmen Australia dan Papua Nugini untuk menghormati kedaulatan, kemerdekaan, dan integritas wilayah negara-negara tetangga sebagaimana yang ditegaskan dalam treaty (perjanjian) tersebut,” ujarya.
Menurut Nabyl, RI juga memiliki mekanisme dialog bilateral di level yang paling tinggi, yakni Annual Leaders Dialogue yang membahas isu-isu bilateral, termasuk isu-isu keamanan bersama, baik keamanan yang tradisional maupun yang non-tradisional,” papar Nabyl.
“Sebagai catatan, Papua Nugini juga dalam berbagai kesempatan senantiasa menegaskan penghormatannya terhadap kedaulatan dan integritas negara Indonesia,” tambahnya.
Sementara itu Pakar militer dari Verve Research, Sambhi mengatakan kepada ABC jika dia yakin pemerintah Indonesia dan Papua Nugini akan berupaya meminimalkan ketegangan disebabkan oleh kelompok separatis Papua Merdeka yang bergerak melintasi perbatasan.
“Kecuali jika terjadi pelanggaran HAM berat yang dapat memicu sentimen anti-Indonesia di antara masyarakat perbatasan, status quo akan tetap berlaku,” ujarnya.
Jika terjadi serangan bersenjata terhadap salah satu negara, perjanjian pertahanan yang baru mewajibkan kedua negara untuk menghadapi ancaman bersama, yang menurut Sambhi membuka peluang berbagai interpretasi.
“Tentu saja, ada kemungkinan skenario di masa mendatang di mana Australia mungkin “terpaksa “berpihak pada Papua Nugini,” ujar Sambhi.
“Keputusan semacam itu harus dipertimbangkan dengan mempertimbangkan sejarah panjang hubungan pertahanan dengan Indonesia, kepercayaan yang telah dibangun dengan susah payah antara kedua negara, dan konsekuensi jangka panjang dari putusnya hubungan dengan Jakarta,” lanjutnya.
“Namun, kehadiran fisik pasukan Australia yang lebih dekat dengan wilayah Indonesia dapat mengkhawatirkan, terutama di kalangan elemen-elemen militer yang masih menyimpan ketidakpercayaan terhadap Australia setelah kemerdekaan Timor Leste,” tambahnya.
Berbicara kepada program 7.30 awal pekan ini, PM Papua Nugini James Marape mengatakan perjanjian Pukpuk tidak mewajibkan Australia untuk membantu negaranya jika terjadi konflik di perbatasan Indonesia.
Marape mengatakan, negaranya telah melakukan dialog yang sehat dengan Indonesia dan mengatakan 100 persen yakin Indonesia tidak akan tersinggung dengan penandatanganan perjanjian tersebut. (ABC Helena Souisa/Kompas.id/ns)