SEBAGAI perusahaan BUMD (Badan Usaha Milik Daerah), PT Jakpro memang harus mencari keuntungan sebanyak-banyaknya untuk disetor ke Pemprov DKI. Namun demikian jaman Gubernur Ahok dia paling tidak suka pejabatnya berotak proyek. Tapi mau bagaimana lagi, lain koki kan lain masakan, maka lain gubernur ya lain kebijakan.
Maka beginilah yang terjadi di DKI Jakarta sekarang. Dulu Gubernur Ahok capek-capek membebaskan lahan di Muara Karang (Jakut) untuk RTH (Ruang Terbuka Hijau), tapi tiba-tiba oleh Gubernur Anies Baswedan disulap menjadi lokasi Sentra Kuliner. Bagaimana ini, Jakarta yang sumpek karena lahan RTH-nya hanya 10 persen, kok tega-teganya mau dikurangi lagi? Pertanyaannya, benarkah ini ide Gubernur, atau sang penggagas Dirut Jakpro, lalu Gubernur Anies tinggal mengiyakan dan teken saja?
Jakarta yang luas wilayahnya sebanyak 661 Km2 membutuhkan RTH idealnya sampai 30 persen. Jaman Gubernur Sumarno atau Ali Sadikin, masih bisa sebab masih banyak ruang kosong, sampai-sampai wilayah pinggiran Ibukota digelari: tempat jin buang anak. Ancol misalnya, tahun 1960-an masih sepi, benar-benar nyaris tanpa penghuni. Tapi sejak ada TIJA (Taman Impian Jaya Ancol) di tahun 1966, dari tempat jin buang anak kini telah berubah menjadi jin bikin anak. Tentu saja jinnya kepala item dan doyan gado-gado maupun ketoprak.
Tapi sayangnya, makin ke sini Ruang Terbuka Hijau justru bikin orang mata hijau melihat duwit. Banyak pembangunan di berbagai wilayah dengan sengaja melanggar RUTR (Rencana Umum Tata Ruang). Baik itu pribadi maupun badan usaha. Maklumlah, oknum Dinas Tata Kota dan Dinas Pengawas Bangunan bisa diajak bermain. Yang abu-abu (industri) dijadikan kuning (pemukiman), yang hijau pun disulap pula jadi kuning. Maka tak mengherankan RTH di jaman Gubernur Jokowi dan Ahok sudah kurang dari 10 persen. Meski untuk mengembalikan ke 30 persen sangat susah, Ahok mencoba mempertahankan yang ada lewat pembangunan RPTRA (Ruang Publik Terpadu Ramah Anak) di berbagai tempat, juga membebaskan sejumlah lahan untuk RTH sekaligus resapan air.
Misalnya saja di Muara Karang, RTH seluas 2,3 Ha itu tepatnya di Jalan Pluit Karang Indah Timur, Penjaringan. Dulu RTH ini dimanfaatkan pedagang tanaman hias. Sebagaimana aturan Tata Kota, lahan RTH tak bisa dibangun dan dikeluarkan IMB-nya. Tapi ternyata di era Gubernur Anies sekarang, tiba-tiba saja bisa dikeluarkan IMB-nya dan kini dibangun untuk Sentra Kuliner.
Dilihat dari plang IMB yang sudah lecek dan usang, sepertinya rencana pembangunannya sudah lama, setidaknya dari tahun 2018 sesuai nomer perijinannya. Pembangunnya adalah PT Jakarta Utilitas Propertindo, anak usaha PT Jakpro. Sedangkan rencana pemanfaatan ruangan itu adalah untuk: PKL, bazar, taman, parkir, plaza area dan premium. Apa pula premium? Apa untuk jualan bensin eceran juga (Pertamini)? Karena ada penolakan warga maka maka di situ dipasang pula spanduk bertuliskan: Kami UKM Penjaringan Mendukung Penuh Pembangunan Pluit Culinery Park.
Ketua Fraksi PDIP DPRD Gembong Warsono tentu saja kaget. Tahun 2018 pernah mau dilakukan pembangunan, ketika DPRD protes, terus berhenti. Ee sekarang, diam-diam kembali dilanjutkan. Kok bisa ya, BUMD main kucing-kucingan dengan DPRD. Apa orang-orang Kebon Sirih ini direkan Satpol PP atau Kamtib jaman Orba dulu?
Alasan Sentra Kuliner itu untuk kepentingan UKM (Usaha Kecil Menengah), tak bisa diterima akal Gembong Warsono. Ditilik dari brosur promosi, apa mampu pedagang kecil menyewa lahan Rp 24 juta sampai Rp 60 juta permeternya? Oleh karenanya, proyek yang tengah dikerjakan oleh anak usaha PT Jakpro itu harus distop.
Paling aneh, pembangunan proyek di RTH itu jelas tak sesuai dengan pemahaman Gubernur Anies tentang tata kelola air selama ini. Bukankah beliaunya selalu mengatakan, air masuk ke bumi itu sunatullah. Lha kalau lahan RTH untuk air masuk bumi terhalang oleh bangunan, bagaimana air hujan bisa diserap bumi? Tambah aneh lagi, Gubernur Anies diem seribu bahasa mendengar gejolak di lapangan, persis ketika menghadapi kehebohan revitalisasi Monas. (Cantrik Metaram)
