
RUMAH pusaka selalu menyimpan sejuta kenangan, dan sudah menjadi naluri manusia ingin selalu mengenang peristiwa-peristiwa di masa lalu, di masa kecilnya, baik yang menyenangkan maupun menggembirakan. Memang ada juga sih, orang yang sekali meninggalkan kampung halamannya, lalu pettt…….tak pernah mau ngambah (baca: nengok) desa tempat kelahirannya. Mungkin segala kenangan di bumi asalnya itu terlalu pahit bagaikan buah mahoni dijus sama pil kina.
Sudah menjadi naluri pula, ketika sukses di rantauan ingin pula memugar rumah pusaka peninggalan orangtuanya di kampung. Tentu ini merupakan sebuah kebanggaan tersendiri. Tadinya rumah pusaka itu nampak sederhana sekali, temboknya telanjang tanpa diplester, lantai tanah dan genting plentong biasa. Tapi begitu salah satu anak dari keluarga itu ada yang sukses secara materi, langsung rumah pusaka direhab bak istana ratu Bilqis.
Tapi sebaliknya jika sudah merantau tetap miskin juga, rumah pusaka itu menjadi ajang rebutan, minta segera dijual dan hasil penjualannya dibagi. Ada yang diwaris secara hukum Islam, di mana anak lelaki dua kali bagian anak perempuan. Tapi ada juga yang minta dibagi rata saja, dengan alasan biar adil. Uang hasil penjualan rumah pusaka dipakai menutup kebutuhan sehari-hari, sementara rumah pusaka sudah diratakan dengan tanah untuk dibangun oleh pemilik yang baru.
Paling mengenaskan adalah, ketika rumah pusaka itu kemudian dibiarkan lapuk dimakan usia akibat keterbatasan ekonomi para ahli warisnya. Yang di rantau hidup pas-pasan, apa lagi sudah pada pensiun, sementara yang di kampung juga hidup miskin. Gara-gara keluarga balung kere (baca: bakat miskin) rumah pusaka itu akhirnya ambruk sendiri atau dirobohkan. Kayu-kayunya dipakai kayu bakar, genting dijual kalau masih laku, dan yang tersisa tinggalah pondasi membisu lama-lama dimakan semak.
Berbeda dengan para mantan pejabat negara. Rumah pusaka akan dibangun bak istana, lha wong duitnya juga ada. Jangankan pejabat negara, sekelas politisi Senayan pun pasti akan melakukan hal yang sama. Sahabat penulis yang pernah jadi anggota DPR dan DPD, rumah pusakanya di daerah Tunjungan Kabupaten Blora (Jateng) sudah tampak menonjol bak istana di antara rumah warga sekitarnya yang sederhana.
Memang rata–rata pejabat tinggi itu kaya, setelah tak menjabat pun masih tetap kaya. Tapi banyak juga yang tetap hidup sederhana. Uniknya, boleh rumah pribadinya di Jakarta tempat mengembangkan kariernya dibangun cukup wah….., tapi rumah keluarga orangtuanya di kampung dibiarkan utuh seperti aslinya. Contohnya rumah Harmoko di Kertosono (Jatim), Wiranto di Solo dan Muldoko di Kediri, termasuk juga Maftuh Basyuni di Rembang (Jateng).
Rumah pusaka Harmoko di Patianrowo Kertosana Kabupaten Nganjuk, tetap sederhana saja meski pemiliknya pernah jadi Menpen 3 periode dan pernah pula jadi Ketua DPR-MPR. Penulis menyaksikan sekitar tahun 2007-an, rumah yang terletak persis di depan PG Lestari itu bagian samping sepertinya pernah dibuat toko. Padahal kalau mau, dipugar bak istana pasti juga bisa.
Rumah orangtua Wiranto Panglima TNI-nya Pak Harto dan Menko Polhukam era Jokowi juga sederhana, terletak di Jl. Bungur II, Kel. Punggawan Solo. Tahun 2000-an pernah hendak dipugar oleh Wiranto, tapi ibunda Ny. Suwarsiyah melarangnya. “Rasah didandani, ben kaya ngene wae, mengko tangga teparo ndak ora wani mrene (nggak usah diperbaiki, biarkan seperti ini saja, nanti para tetangga jadi takut ke sini).” Ujar sang ibu.
Berbeda lagi dengan mantan Menag Maftuh Basyuni (2004-2009). Dia tidak memugar rumah pusaka peninggalan orangtuanya, Basyuni Masykur, tetapi memboyongnya ke Jakarta. Nah, jika melintasi Jalan Raya Setu arah Mabes TNI Cilangkap, kemudian terlihat rumah joglo di pinggir jalan sebelah kanan, itulah rumah milik mantan Menag. Rumah yang terjadi dari kayu jati seluruhnya itu hanya dijadikan rumah singgah, sementara rumah pribadinya di Pengadegan Jakarta Selatan.
Paling sederhana mungkin adalah rumah pusaka KSP Muldoko yang pernah jadi Panglima TNI era SBY. Meski memiliki jam mewah Richard Mille yang berharga miliaran di pasaran, rumah peninggalan orangtuanya di Desa Pesing Kec. Purwoasri Kediri (Jatim) nampak sederhana. Meski memiliki harta sampai Rp 46 miliar berdasarkan LHKPN tahun 2020, rumah pusaka di kampungnya masih sesuai dengan aslinya. Seperti lazimnya rumah di kampung, gentingnya masih telanjang terlihat usuk dan rengnya, termasuk juga kaca genting.
Bagi orang-orang yang selalu berpola hidup sederhana memang tak tak mau terbius kemewahan duniawi, meskipun dia mampu. Dalam kacamata mereka, buat apa mobil bagus rumah mewah, karena saat mati juga takkan dibawa serta. Uang bukan segalanya. Menjadi orang yang hidup pas-pasan justru sebuah kebahagiaan tersendiri. Maksudnya mau makan enak, pas punya uang. Mau beli rumah pas ada duit. Mau kawin lagi juga pas saldo ATM-nya masih ada miliaran. (Cantrik Metaram)
