SELURUH DUNIA ANTI KORUPSI

0
219
ilustrasi: kera menjadi hakim yang korup.

TERNYATA korupsi itu sudah menjadi milik bangsa sedunia. Semua negara merasakan dampak buruk praktek korupsi oleh pejabat negara. Hari ini, 9 Desember 2016, negara-negara sedunia kembali memperingati “Hari anti korupsi sedunia” (International Anti-Corruption Day). Sayangnya, meskipun setiap tahun diperingati dan diingatkan, tokoh-tokoh dunia kelas Presiden dan Perdana Mentri masih banyak juga yang melakukannya. Lalu apa kata dunia?

Dunia memang tak bisa berkata apa-apa, ketika pertengahan Nopember lalu PM Malaysia Najib Razak dituntut mundur oleh rakyatnya, atas dugaan korupsi US$700 juta. Demikian juga Presiden Korea Selatan Park Geun-hye, juga pilih mundur karena capek didemo rakyatnya atas tuduhan korupsi. Pemimpin dunia memang tidak enak mengomentari praktek dugaan korupsi pemimpin negara yang lain. Paling aman hanya jadi “Pak Prihatin” alias ikut berprihatin saja.

Banyak pemimpin dunia yang jatuh dari kekuasaannya karena mencuri harta negara. Misalnya, Ferdinand Marcos dari Filipina, Mobutu Sese Seko (Zaire), Sani Abacha (Nigeria), Slobodan Milosevic (Serbia Yugoslavia), Jean-Claude Duvalier (Haiti) Alberto Fujimori (Peru), Pavlo Lazarenko (Ukraina), Arnoldo Aleman (Nicaragua), dan Joseph Estrada (Filipina). Akan halnya Pak Harto, sampai meninggal tak pernah bisa dibuktikan. Di samping tak pernah diadili, belia sempat mengatakan, “Satu sen pun saya tak punya uang di luar negeri.”

Korupsi yang dilakukan pemimpin negara, tak sekedar membuat negara gagal mensejahterakan rakyat, tapi juga menjadi contoh buruk atas semangat keteladanan. Rakyat akan berfikir, pemimpinnya saja korupsi, apa salahnya rakyatnya ikut-ikutan?. Seorang pemimpin itu harus punya sense of belonging atas aset negara, atau melu handarbeni, bukan malah “melu hanggrogoti”.

Setiap negara punya cara memberantas korupsi. Paling tegas mungkin baru RRT. Presiden Zhu Rongji (1998) pernah bilang, “Siapkan 100 peti mati koruptor, salah satunya untuk saya.” Maknanya, biar presiden jika korupsi harus ditembak mati juga. Dan ternyata itu sangat efektif. Ketika pejabat korupsi dan ditembak mati, pejabat RRT tak berani ambil resiko. Kini RRT termasuk negara macan Asia setelah Jepang.

Bagaimana Indonesia? Kapan menjadi macan Asia, sepertinya masih jauh. Yang terjadi bukan macan, tapi “babi ngepet” senusantara! Soalnya masih saja ada pejabatnya yang ditangkap KPK. Dari anggota DPR, bupati, walikota, gubernur, menteri, ketua MK; semuanya “berpartisipasi” memberi pekerjaan pada KPK, agar tidak sampai nganggur.

Mengapa tidak meniru gaya RRT itu, yang berani tembak mati koruptor? Oo, jangan! Nanti Komnas HAM mencak-mencak. Alasan mereka selalu klasik, tembak mati tidak menyelesaikan masalah, korupsi terus terjadi. Padahal logikanya adalah: didor saja masih ada korupsi, bagaimana jika koruptor hanya dihukum ringan?

Maka pemberantasan korupsi tak cukup hanya dengan penyadapan, OTT dan pemenjaraan. Perlu juga penyadaran rakyat lewat kearifan lokal, misalnya murid SD didongengi Pak Guru tentang kancil nyolong timun. Meskipun cerita sepele dan kuno, itu sebetulnya kisah pembrantasan gratifikasi. Bagaimana tidak? Anjing berani membuka kurungan penyekap kancil, karena dijanjikan akan diambil menantu Pak Tani.

Juga dongeng tentang dua ekor kucing yang menemukan sepotong keju. Karena saling berebut, kera pun diminta menjadi hakimnya. Proses peradilan itu sangat sederhana tapi sarat dengan korupsi. Setelah keju dibelah dua, lalu ditimbang. Bila lebih besar sebelah kera mengurangi dengan cara digigit dan dimakannya sendiri. Begitulah selalu, dua potong keju itu digigit sana-digigit sini hingga pada akhirnya habis masuk perut kera itu sendiri. (Cantrik Metaram).

Advertisement div class="td-visible-desktop">