JUDUL tulisan ini tentunya cukup mengagetkan. Masak iya, seorang Ketua DPR di Indonesia mampu beli pesawat. Jangan-jangan cuma pesawat telepon, ngkali? Atau ini sekedar berita hoax, karena judulnya saja sudah pakai tanda tanya. Tapi suwerrrr, berita pembelian pesawat terbang itu ada –di detikcom– meskipun kemudian diralat nama pemiliknya. Kata Sudikerta Ketua DPD Golkar Bali, ternyata yang empunya barang bukan Ketua DPR RI Setya Novanto, melainkan wakil Bendahara Umum Partai Golkar.
Siapa wakil Bendum Golkar itu, Sudikerta tidak menjelaskan. Jangan-jangan ini sekedar pengalihan isyu belaka. Tapi yang jelas, pemilik pesawat jet itu pastilah orang kaya, sebab sebagaimana kata Sudikerta, pesawat berbadan kecil untuk 15 penumpang itu harganya 50 juta USD (Rp 666 miliar). Mereka yang berani beli pesawat seharga itu harus punya penghasilan minimal Rp 60 miliar setahun. Soalnya, untuk sewa parkir saja berjuta-juta dalam sebulan. Belum ongkos avtur (BBM) dan gaji pilotnya. Jauh lebih murah dan praktis pakai pesawat Garuda.
Seorang Ketua DPR Setya Novanto yang bergaji sekitar Rp 55 juta sebulan dan punya kekayaan Rp 115 miliar (sesuai LHKPN), masih tidak masuk akal bila mampu memiliki pesawat jet sehaga ratusan miliar tersebut. Kecuali, apa yang terungkap dalam sidang Tipikor soal kasus korupsi e-KTP Rp 2,3 triliun itu benar adanya. Sebab sebagaimana kata para saksi, Setya Novanto menerima 7 % dari nilai proyek sebesar Rp 5,9 triliun.
Kesaksian sejumlah orang yang terlibat e-KTP sudah dibantah Setya Novanto dengan senjata pamungkas dua kata: tidak tahu! Ketika pekabaran menghebohkan itu belum sampai masuk sidang Tipikor, Ketua DPR itu juga mengatakan, “Punya uang Rp 500 miliar lebih itu bagaimana menyimpannya?” Kalimat ini terkesan membodohi publik. Di jaman tehnologi perbankan yang serba canggih ini, memangnya semua transaksi harus dengan uang tunai?
Kebenaran Setya Novanto memiliki pesawat jet di Bali itu, akhirnya yang tahu pasti hanyalah Yang Di Atas, Allah Swt. Yang pasti, mereka yang memiliki pesawat pribadi semacam itu tentulah orang yang sudah bingung memanfaatkan uang miliknya. Sebab memiliki pesawat pribadi itu harus siap dengan pemborosan. Naik pesawat komersil jauh lebih ekonomis. Tinggal suruhan ajudan beli tiket online, diantar ke Bandara, nunggu sebentar di ruang VIP, di pesawat duduk di kelas eksekutif dan bisa cuci mata, menikmati kecantikan para pramugari.
Kisah Setya Novanto yang kaya raya mengingatkan kita pada dongeng Jaka Kendil. Dia sekedar anak desa yang miskin anak seorang janda yang dikenal sebagai Mbok Randa Dadapan. Tampangnya begitu jelek bahkan nyaris mirip kendil (tempat menanak nasi dari tanah liat). Sampai banyak orang salah sangka, disangkanya kendil beneran, ketika ada orang hajatan Jaka Kendil justru dijadikan tempat menyimpan gulai ikan. Tahu-tahu “kendil” yang penuh masakan lezat itu pulang tanpa diketahui yang punya hajatan.
Meski jelek semacam itu, ternyata Jaka Kendil berselera tinggi, ingin menikahi putri raja nan jelita. Tentu saja Mbok Randa Dadapan terkaget-kaget, karena mustakhil bin tak masuk akal. Tapi berkat pertolongan dewa, wajah jelek Jaka Kendil bisa dipermak dan tampil sebagai pemuda nan tampan. Jadilah Jaka Kendil mempersunting putri raja, bahkan kemudian dinobatkan menjadi raja di negeri itu.
Begitu pula dengan Setya Novanto. Di masa mudanya juga pernah jadi penjual madu keliling, kemudian meningkat jadi sopir Menpora Hayono Isman. Dari sinilah dia mulai kenal politik dan masuk Golkar dari level bawah. Dasar winongwong jawata (dimanjakan Tuhan), posisinya terus naik sehingga kemudian menjadi anggota DPR, naik lagi jadi Ketua Fraksi dan kemudian menjadi Ketua DPR bahkan Ketum Golkar. Begitulah kisah “Jaka Kendil” di era gombalisasi. (Cantrik Metaram)