REZIM Bashar al-Assad tumbang, Minggu (8/12) setelah kubu aliansi pemberontak dimotori lasykar Hayat Tahrir al-Sham (HTS) yang sebelumnya menguasai kota terbesar kedua, Aleppo (29 /11) merangsek ke Damaskus sehingga presiden dan keluarganya kabur.
Pimpinan HTS Muhammad al-Julani yang mengaku akan mencalonkan diri sebagai presiden menyatakan tekadnya untuk menciptakan perdamaian dan melanjutkan pembangunan di negerinya yang mandek akibat konflik berkepanjangan di Suriah sejak gejolak desakan perubahan dalam gerakan Arab Spring pada 2011.
“Rakyat sudah jemu dengan perang dan negara ini tidak siap untuk (melanjutkan) perang dan tidak ingin terlibat dalam perang berikutnya,” ujarnya saat menyambangi masjid Damaskus seperti dilaporkan Sky News (10/12).
HTS sendiri sudah sejak lama ditetapkan sebagai organisasi teroris oleh AS dan PBB, tercermin dari pemunculan pemimpinnya saat itu, Abu Mohammed al-Golani, sebagai pimpinan al-Qaeda Suriah pada 2011, di bulan-bulan awal perang saudara di Suriah.
Kejatuhan rezim Bashar al-Assad sekaligus menandai akhir “dinasti” al-Assad yang menguasai panggung politik Suriah selama lebih lima dekade, diawali dari Presiden Hafez al-Assad (ayah Bashar al-Assad) sejak 1971 hingga kematiannya pada 2020.
Bashar menggantikan mendiang ayahnya di era kepemimpinannya di Suriah yang diwarnai sejumlah konflik, dijadikan basis Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) di Racca, aktivitas al Qaeda dan imbas gejolak gerakan Arab Spring di Timur Tengah pada 2011.
Suriah juga menjadi ajang perebutan pengaruh atau hegemoni di kawasan, terutama Iran dan Turki dan Arab Saudi serta pemain global yakni AS dan Rusia.
Iran mengggunakan Suriah sebagai front terdepan poros perlawanan terhadap Israel dengan menempatkan unit khusus satuan khusus Quds, Korps Garda Revolusi Iran (IRGC).
Berbagai fraksi militer beroperasi di Suriah, misalnya milisi Partai Buruh Kurdistan (PKK) yang beroperasi di sepanjang tapal batas Suriah dengan Turki tenggara, Irak barat laut dan di Suriah timur laut.
PKK yang dibentuk pada 1999 adalah kelompok berideologi Marxisme – Leninisme dan nasionalisme Kurdi yang berjuang untuk melepaskan diri dari Irak dan Turki serta Suriah.
Sementara YPG (Unit Perlindungan Rakyat) yang berdiri pada 2011 adalah kelompok bersenjata etnis Kurdi berbasis di Suriah yang didukung AS dalam memerangi NIIS, namun dicap teroris oleh Turki dan Qatar.
YPG mendominasi Rojaya, wilayah otonom etnis Kurdi di timur laut Suriah yang mendapat dukungan militer dari AS dalam menghadapi NIIS dan bersama fraksi-fraksi Kurdi lainnya, YPG pada 2016 mengumumkan pembentukan sistem federal negara Kurdistan di wilayah yang dikuasainya di Suriah.
Sementara AS menganggap posisi Suriah strategis untuk menanamkan pengaruhnya di Timur Tengah, sedangkan Rusia di era kepemimpinan “dinasti” al-Assad sejak 1971 memperoleh privilege dan pijakan kaki cukup kuat.
Rusia menempatkan satu-satunya pangkalan militer di luar negeri yakni pangkalan AL di Tartus untuk mengimbangi kehadiran armada NATO pimpinan AS di L. Medieteranea dan pangkalan AU di Khemeimim untuk mendukung rezim Bashar menghadapi lawan-lawannya.
Berkat bombardemen pesawat-pesawat tempur Rusia, pasukan pemerintah Suriah yang sudah keteteran menghadapi pembrontak, berhasil mengusir kelompok pemberontak dari kota Aleppo pada akhir 2016.
Semua tidak menentu
Kejatuhan rezim Presiden Bashar belum bisa memastikan apakah konflik di Suriah akan berakhir karena berbagai faksi, baik beraliran agama mau pun kelompok-kelompok proksi Rusia dan Iran pasti juga akan mencoba bangkit lagi.
Rusia sendiri saat ini tidak begitu bisa diharapkan banyak misalnya untuk membantu pendukung Bashar bangkit lagi karena sedang disibukkan oleh perang di Ukraina, begitu juga Iran yang di ambang perang dengan Israel.
AS agaknya berada di “atas angin” pasca jatuhnya rezim Bashar, sehingga diharapkan dapat memainkan kartunya untuk mendorong terbentuknya pemerintahan inklusif di Suriah dan dalam perspektif lebih luas mendorong perdamaian di kawasan ini.
Ke depannya, apakah Suriah akan terpuruk lebih dalam akibat perebutan pengaruh oleh parapihak yang berkepentingan atau terbentuk pemerintah inklusif sehingga bisa bangkit lagi menata perekonomian yang porak-poranda akibat konflik berkepanjangan sejak 2011?
Kekhawatiran muncul, a.l. dari pemerintah Turki yang mendukung kubu HTS seperti disampaikan Menlunya, Hakan Fidan (CNN, 14/12/’24) yang mengingatkan Iran dan Rusia untuk tidak mengintervensi Suriah.
Alasannya, Iran dan Rusia yang terpukul akibat perubahan cepat di Suriah ditandai runtuhnya rezim Bashar al-Assad akan mencoba mendukung Bashar kembali ke tampuk kekuasaannya.
Semua bisa terjadi. Wait and see, dunia menanti!.