Tahun Baru Kelakuan Lama

Ilustrasi

HARI ini kita memasuki tahun baru 2017. Telinga warga Ibukota semalam kenyang oleh suara dar der dor mercon yang dibakar di seluruh penjuru kota. Pajabat dan pemimpin selalu mengatakan di tahun baru semangat harus baru, demi manatap masa depan yang gemilang. Tapi bila diperhatikan, dari tahun ke tahun yang baru hanya tahunnya. Sedangkan mental atau kelakuan anak bangsa masih buanyak yang lama! Yang korupsi jalan terus, yang demen menghujat di medsos juga tidak berubah.

Menapaki waktu selama 365 hari terasa cepat sekali, lebih-lebih bagi mereka yang tinggal di rumah kontrakan. Tahu-tahu wush….., sudah harus bayar kontrak tahun berikutnya. Itu jika boleh diperpanjang. Jika tidak, harus berpikir lagi untuk mencari kontrakan yang baru, dengan tetangga baru dan tentunya dengan tarif yang baru pula.

Menjelang masuk tahun baru 2017, banyak orang yang terpaksa masuk “alam baru” karena bencana alam seperti gempa di Pidie, Aceh. Paling sadis adalah kejadian di Pulomas, Jakarta Timur, beberapa hari lalu. Enam orang tewas disekap oleh perampok biadab tidak punya prikemanusiaan. Ketika para penjahat itu nantinya dihukum mati oleh hakim, semoga Komnas dan aktivis HAM punya pemikiran baru, tidak perlu mencak-mencak bahwa itu pelanggaran HAM.

Penjahat memang tidak pernah punya pemikiran baru, mereka merampas harta orang secara paksa maupun diam-diam, dengan target jadi orang kaya baru. Tapi politisi, pejabat, rakyat bahkan mubaligh pun masih banyak yang menggunakan semangat lama. Akhirnya yang begitulah, bangsa Indonesia dari tahun ke tahun tetap begini-begini saja.

Semua ingin jadi Orang Kaya Baru (OKB). Yang pejabat, sudah begitu banyak contoh kasus, yang memanfaatkan kekuasaan untuk untuk memperkaya diri sendiri (korupsi) cepat atau lambat bakal ditangkap KPK, masih banyak yang melakukan. Misalnya, Walikota Cimahi Etty Suharti dan kemarin dulu Bupati Klaten Sri Hartini. Ini bupati cap apa, terima sogok untuk komersialisasi jabatan kok dibilang: uang syukuran! Apa yang terjadi sekarang? Gara-gara “uang syukuran” rakyat Klaten malah nyukurin.

Politisinya sami mawon, nasib para politisi pendahulunya tak dijadikan sebagai yurisprodensi. Dipercaya duduk di Senayan sebagai wakil rakyat, tapi di kursi DPR malah memeras otak bagaimana dapat sumber keungan baru. Caranya macam-macam, dari yang memperjual-belikan pasal dalam pembahasan RUU, hingga “mengawal” proyek untuk kementrian yang jadi mitra kerjanya. Paling gres adalah kasus proyek infrastruktur di Maluku, sejumlah anggota DPR tumbang gara-gara nggrecokin proyeknya Kementrian PUPR.

Kalangan mubaligh ternyata juga masih banyak yang asyik dengan pola-pola lama. Ini setidaknya menurut Prof. Dr. Ir. Ika Rochdjatun Sastrahidajat dari pengajian Bhima Sakti di Malang. Di Indonesia yang sedang dalam incaran ISIS, malah terus sibuk dakwah dengan penekanan tentang “asesoris” seperti jenggot lebat, jidat hitam, wajah bergordin (cadar), ibu-ibu harus berpakaian hitam-hitam. “Daerah panas seperti Indonesia, kan kasihan ibu-ibu,” kata sang profesor.

Kalangan rakyatnya sama saja. Dari kalangan buruh misalnya, setelah 1 Mei dijadikan sebagai Hari Buruh, saban tahun rajin demontrasi. Mereka selalu menekan pemerintah lewat aksi menutup jalan tol. Pemerintah yang sudah memperbaiki pengupahan lewat UU, tidak dipercayai karena jumlahnya tak sesuai dengan harapan mereka. Padahal banyak kejadian, meski mereka berhasil menuntut upah tinggi, akhirnya perusahan bangkrut dan dia jadi pengangguran.

Apalagi di jagad maya, meski pemerintah sudah mengancam penebar ujaran kebencian bisa ditangkap berdasarkan UU ITE, masih saja jagad medsos padat dengan hujatan-hujatan yang hanya memancing musuh baru. Padahal orang bijak bilang, seribu sahabat itu kurang dan satu musuh baru itu kebanyakan. (Cantrik Metaram).