Teknologi F-16 Lawan SU-24

0
316
Ilustrasi Pesawat SU-24 milik Rusia

Jatuhnya sebuah pesawat tempur Sukhoi SU-24 “Fencer” Rusia akibat rudal yang dilepaskan pesawat F-16 “Fighting Falcon” Turki menambah keruwetan konflik Suriah yang sudah memasuki tahun kelima dan menyeret sejumlah negara serta kelompok bersama agenda dan misi mereka sendiri-sendiri.

Berdasarkan laporan kantor-kantor berita asing (AFP, AP, Reuters) , pesawat naas itu jatuh di wilayah perbatasan Suriah (24/11/2015). Pilot yang berhasil mendarat dengan kursi pelontar, ditembak mati oleh milisi oposisi Suriah, sedangkan copilot yang mendarat di wilayah Suriah yang dikuasai pasukan loyalis al-Assad berhasil diselamatkan.

Baik Rusia maupun Turki mengklaim, pihaknyalah yang benar. Menurut pihak Turki, pesawat Rusia itu sebelumnya sudah diperingatkan 10 kali dan baru dirudal saat sudah berada pada posisi 2,19 Km di dalam wilayah Turki.                                                                                                                    Sebaliknya Presiden Rusia, Vladimir Putin meyakini, pesawatnya ditembak pada posisi 1 Km di dalam wilayah Suriah.  Putin menganggap, Rusia yang tengah berupaya menghancurkan Negara Islam Irak dan Suriah (NIIS) sebagai musuh bersama,  “ditikam dari belakang oleh antek-antek teroris”

Rusia menempatkan pesawat-pesawat  tempurnya di Suriah sejak September 2015 dalam misi internasional untuk menggempur NIIS.   Pihak Barat sendiri  meragukan itikad baik Rusia dan   menilainya lebih banyak memberikan  dukungan bagi rezim Bashar al-Assad yang kewalahan menghadapi kelompok oposisi ketimbang memerangi NIIS.

Pertumpahan darah di  Suriah berawal  dari konflik sipil di dalam negeri antara rejim petahana pimpinan al-Assad melawan kelompok perlawanan.  Dalam perkembangannya kemudian, konflik meluas menjadi perang proksi yang melibatkan banyak pihak dan kepentingan. Diperkirakan sejauh ini sudah 200.000 korban tewas dan jutaan warga mengungsi ke luar Suriah.

AS menganggap rezim al-Assad harus disingkirkan karena menjadi ganjalan penyelesaian konflik dan bersama Turki, Arab Saudi, Bahrain, Jordania dan Qatar  berada satu front di belakang kelompok perlawanan Suriah, dan juga dalam memerangi NIIS.

Sebaliknya, Rusia – konco karib Suriah  terutama dalam menghadapi Israel – mendukung sepenuhnya rezim al-Assad untuk memerangi kelompok perlawanan. Di pihak lain, Iran bersama kelompok Hisbullah juga juga berada di belakang al-Assad. Keduanya,  ditambah kelompok Suku Kurdi yang berseberangan dengan Turki juga ikut memerangi NIIS.

Terlepas dari nuansa politiknya, insiden pesawat SU-24 Rusia dan F-16 Turki bisa dilihat dari dimensi lain.

F-16 adalah pesawat tempur multi peran buatan General Dynamics, Amerika Serikat  yang dibandrol dengan harga sekitar 19 juta dolar AS (tergantung asesori dan varian)  merupakan pesawat tempur paling laris saat ini dengan jumlah produksi sekitar 4.500 unit dan dioperasikan oleh 25 negara termasuk Indonesia.

Pesawat ini sudah teruji (combat proven) di berbagai palagan besar, misalnya dalam konflik antra Suriah dan Israel, Perang Teluk dan berbagai misi internasional.   F-16 yang berkecepatan dua kali kecepatan suara (2 Mach) bisa dipersenjatai dengan rudal Sparrow,  Sidewinder, Harpoon atau Pinguin dan berbagai  bom sesuai misinya.

F-16 dikenal memiliki keandalan  tempur di udara (dog fight) dan disebut-sebut sebagai pesawat tempur pertama yang mampu melakukan manuver pada kecepatan sembilan kali gravitasi (9G).  Dalam pusaran G9, awak pesawat bisa mengalami kehilangan kesadaran (loss of consciousness)

Varian F-16 ditandai oleh nomor blok yang yang menunjukkan tingkat perbaikan keandalannya. TNI -AU menurut catatan, semula mengoperasikan F-16 dari generasi terdahulu (Blok 15), dan baru kemudian dari Blok 52 untuk pengadaan baru. Turki sebagai salah satu negara anggota NATO memiliki 180 unit F-16 dari Blok  40,50 dan 52 dan 30 unit dari Blok 30.

Sebaliknya, pesawat tempur Sukhoi SU-24 dengan berbagai variannya digunakan oleh Rusia dalam berbagai konflik di negara bekas sempalan Soviet itu misalnya di Ukraina, Ossetia Selatan, Chechnya.

SU-24 merupakan pesawat tempur segala cuaca yang andal untuk menyerang sasaran di darat dan memiliki kemampuan mendarat dan mengudara di landasan pendek (Short Take-off and Landing – STOL), bisa  dilengkapi dengan rudal udara ke udara AA-Archer, bom tandan (cluster bomb)  dan konfigurasi persenjataan lain.   Sejak diperkenalkan pada 1974, sudah 1.400 unit SU-24 diproduksi dan dijual dengan kisaran harga antara 24 sampai 25 juta dolar AS per unit.

Pada saat Operasi Badai Gurun, sejumlah SU-24 milik AU Irak dilarikan ke Iran. Dalam konflik Suriah, selain dioperasikan oleh AU negara itu untuk menumpas kelompok oposisi, Rusia juga menggunakannya di wilayah Suriah untuk memerangi NIIS.

SU-24 dengan berbagai variannya digunakan oleh Rusia di sejumlah konflik internal di wilayahnya seperti Ossetia Selatan, Chechnya .  Di tengah Operasi Badai Gurun, sejumlah pesawat SU-24 Irak diselamatkan ke Iran, sementara dalam konflik Suriah, selain digunakan oleh rezim al-Assad untuk menumpas kelompok oposisi, Rusia juga menggunakan  SU-24 untuk memerangi NIIS.

Selain Rusia, SU-24  juga digunakan negara sempalan atau satelit Uni Soviet seperti Ukraina, Azerbaijan, Kazakstan, serta sejumlah negara di kawasan Timur Tengah seperti Alzeria, Irak, Iran, Libya dan Sudan.

Banyak faktor yang menentukan keunggulan pesawat tempur, mulai dari keandalan mesin dan sistem avioniknya agar mampu  bermanuver, sistem persenjataan termasuk alat pemandunya, pelacak lawan-kawan, pengecoh dan tentu saja kemampuan pilotnya.

Namun paling tidak, setiap peristiwa terkait pesawat bisa dijadikan referensi bagi para calon pembeli atau pengguna.

Advertisement div class="td-visible-desktop">