BANGSA Indonesia memang bangsa yang sangat pemaaf. Saking pemaafnya, eks koruptor pun diberi ruang untuk berkarier di pemerintahan, dari menjadi Kepala Daerah sampai Komisaris BUMN. Sebaliknya eks napi karena fitnah penistaan agama, dibikin kartu mati untuk jabatan politik setingkat menteri dan presiden. Disadari atau tidak, sistem hukum seperti ini telah “mengedukasi” generasi muda bahwa tidak perlu malu untuk berbuat korupsi. Karenanya jika kelak dia punya kekuasaan akan ikutan korupsi pula!
Dalam sebuah podcastnya Deddy Corbuzier mengakui pernah disarankan warganet untuk terjun ke politik. Tapi dia tidak mau, sebab jika harus menjadi politisi, pasti akan ikut korupsi. Mantan pesulap ini seakan menegaskan bahwa politisi itu akan satu paket dengan korupsi. Ekstrimnya, politisi jika tak korupsi tidak afdol. Deddy rupanya melihat perilaku para politisi, jika tidak korupsi dalam bentuk uang, pastilah korupsi informasi dan data. Maksudnya, karena pertimbangan politiknya pula, dia tak pernah menyampaikan informasi dan data secara utuh. Punya sepuluh, yang disampaikan 7 atau malah cuma 5.
Deddy Corbuzier kelahiran 1976, sejak era Orde Baru sudah menyaksikan kisah-kisah korupsi pejabat dan politisi yang terus bersambung sampai era reformasi dan gombalisasi, di mana makin ke sini sepertinya makin seru saja bagaikan sinetron “Ikatan Cinta”. Ada politisi dipenjara karena korupsi, dan setelah bebas ganti partai, tapi ketika punya kuasa kembali lagi korupsi. Ada bupati dipenjara karena korupsi, setelah bebas dan berhasil kembali jadi politisi lewat Pilkada, korupsi lagi. Bahkan ada bupati sudah dinasihati presiden, jangan korupsi. Eh, esok harinya diudak-udak KPK karena korupsi.
Generasi angkatan Deddy masih menolak dan muak terhadap korupsi, meski banyak juga yang jadi praktisinya. Makin ke sini, generasi muda menjadi permisif saja terhadap perilaku korupsi, karena pemerintah sepertinya setengah hati memberantas korupsi, meski sudah ada KPK segala. Walhasil isyu korupsi muteeeer saja dari tahun ke tahun. Korupsi menyebab kemiskinan, tapi karena kemiskinan pula orang jadi korupsi.
Hasil survei LSI tahun 2018 menyebutkan, semakin muda usia semakin toleran pada korupsi. Misalnya, yang berumur 25 tahun ke bawah ada 28 persen, umur 26 hingga 40 tahun 23 persen, 41-55 tahun 22 persen, dan yang berumur 55 tahun ke atas 24 persen. Nah, kalau Fadlizon DPR menganggap korupsi itu olie pembangunan, kemungkinan dia bagian dari yang 22 persen itu (41-55), karena dia kelahiran 1971.
Bocah-bocah sebelum tahun 1975-an, bila disuruh orangtua belanja ke warung, uang kembalian atau sisanya harus dikembalikan. Jika dicatut untuk beli permen atau makanan kecil, pasti dimarahi orangtua bahkan dihajar. Ini merupakan pengajaran atau pendidikan karakter, sejak kecil diajari jangan korupsi meski kecil-kecilan. Sebab bila dibiarkan, akan semakin terpupuk dan ketika dewasa dan jadi pejabat berani mencatut uang negara.
Ketika jaman semakin makmur, cari uang lebih mudah, masih adakah orang tua yang mengurusi uang kembalian belanja di warung? Rasanya sudah tidak lagi. Secara tak sengaja hal itu menjadikan anak muda sekarang permisif saja melihat praktek korupsi kecil-kecilan, misalnya ketika kena tilang, memilih “lapan anem” alias kasih uang pada oknum Polantas.
Ketika masuk kerja harus nyogok, kini sudah dianggap biasa. Makanya setelah menjadi pegawai dan punya kekuasaan, gantian dia membalas ikut-ikutan pungli. Alasannya, aku dulu harus nyogok, apa salahnya sekarang gantian minta sogok? Mental korup kini sudah mencemari lembaga eksekutip, legislatip dan yudikatip. Trias-Koruptika! Yudikatip ada Pinangki (jaksa), legislatif ada Anas Urbaningrum (politisi Demokrat), eksekutip ada Zumi Zola (Gubernur Jambi). Jika sutradara Syuman Jaya masih hidup, pasti bikin film berjudul: Yang muda yang korupsi.
Sekarang lagi ramai, eks politisi PDIP yang pernah dipenjara karena korupsi, diangkat jadi komisaris BUMN, namanya Emir Muis. Kenapa Mentri BUMN Erick Tohir mengangkatnya. Padahal untuk menjadi komisaris BUMN itu salah satunya mensyaratkan, tidak pernah melakukan tindak pidana yang merugikan keuangan negara. Apakah Erick juga menteri anak muda yang permisif pada korupsi?
Ironisnya, politisi Senayan ada juga yang membelanya, dengan alasan yang bersangkutan telah menjalani hukuman. Mungkin dia senapas dan sedenyut Komnas HAM, bahwa hukuman mati tidak menyelesaikan masalah. Kalau begitu apakah terpidana korupsi harus diserahkan ke Kantor Pegadaian? Sebab hanya dia yang mampu menyelesaikan masalah tanpa masalah.
Padahal selama penjahat uang negara hanya dihukum 4-15 tahun penjara, selama itu pula koruptor baru terus bermunculan. Lihat tuh RRT, ketika para koruptor dihukum mati, tak ada lagi pejabat main-main dengan uang negara. Kapan Indonesia menirunya. Sekarang ini, jangankan menghukum mati koruptor, sekedar bikin orang merasa malu untuk korupsi, negara tidak mampu. (Cantrik Metaram).