SEPUPU penulis kemarin kirim undangan perkawinan. Karena dia pihak pria, pembuat undangan tentu saja keluarga pengantin wanita. Kartu undangannya cukup bagus. Yang menarik sekaligus menggelikan, gambar ilustrasinya berupa wayang kulit Lesmana Mandrakumara atau Sarjokesuma (versi Yogyakarta). Padahal biasanya ilustrasi undangan pengantin, tidak jauh dari pasangan Kamajaya-Ratih atau Rama-Sinta. Sebab kedua tokoh wayang tersebut telah menjadi lambang cinta kasih dan kesetiaan suami istri.
Saking kepo-nya, seperti kurang kerjaan saja penulis mencoba bertanya priyayi mana calon besannya itu? Dijawab, dari Sukabumi! Lho, Sukabumi kan bagian dari bumi Pasundan? Padahal orang Sunda kan juga sangat paham wayang, karena wayang Jawa dan Sunda juga mirip alur ceritanya lantaran dari babon (induk) yang sama. Maka jika orang Jawa diplesetkan sebagai jago wayang, orang Sunda juga ada plesetannya sebagai: suka nonton dalang (saat memainkan wayang).
Penulis baru sadar bahwa manusia Jawa dan Sunda sekarang hidup di era milenial, yang lebih akrab dengan dunia digital dan tak kenal lagi tulisan di daun rontal. Teknologi dunia internet telah menggerus kecintaan generasi muda pada budaya lokal. Manusia Jawa-Sunda yang masih kenal wayang paling-paling tinggal mereka yang produk tahun 1960-an ke bawah. Generasi kelahiran tahun 2000-an ke atas lebih tahu tokoh-tokoh kartun dari TV dan Youtube.
Besan sepupu penulis memang generasi produk tahun 1960-an ke atas, sehingga tak tahu siapa tokoh wayang yang dicomotnya dan dipasang sebagai ilustrasi dalam kartu undangan. Dia adalah Lesmana Mandrakumara (gaya Surakarta) atau Sarjokesuma (gaya Yogyakarta). Beliaunya adalah putra Prabu Duryudana raja Ngastina yang tampangnya lholak-lholok (kekanak-kanakan). Omongannya pating pecothot, setiap muncul selalu ngomong, “Nyuwun dhaup rama (yah, minta kawin)….”
Dalam lakon carangan (cerita kreasi dalang), Sarjokesuma selalu diceritakan gagal melulu ketika hendak menikah. Naksir Siti Sendari, direbut oleh Abimanyu. Ngincer Jenakawati anak Harjuna, digaet Ontosena. Nembak Pragiwa, keburu sudah jadian dengan Gatutkaca. Bahkan mau kawin dengan anak tukang parkir saja, diserobot oleh anak tukang sayur dorong. Bagaimana Sarjokesuma tidak bengong dan nangis melolong-lolong!
Makin banyak manusia Jawa-Sunda masa kini yang tak ngerti wayang. Sampai-sampai di kompleks TNI-AU Halim dekat Pondok Gede, jalan lingkungan pakai nama wayang, sehingga ada Jalan Sengkuni, Jalan Kartomarmo. Padahal keduanya itu tokoh yang tak disukai di dunia perwayangan. Bahkan keluarga muda sekarang dengan pedenya beri nama anaknya Anjani, padahal itu kera perempuan ibu Anoman.
Tapi jangankan orang Jawa-Sunda produk sekarang, tokoh tempo dulu sekelas Ruslan Abdulgani, priyayi Surabaya yang berulangkali jadi menterinya Bung Karno, juga tak paham wayang. Maka Presiden Sukarno pernah mengritiknya, “Kamu ini bagaimana sih, orang Surabaya kok tidak mengerti wayang.” Jawan Cak Ruslan, “Memangnya salah Pak?” Bung Karno tentu saja tak mau kalah, “Ya nggak salah memang. Tapi karena kamu tak paham filosofi wayang, bisa salah dalam membuat kebijakan.”
Presiden Sukarno memang pecandu wayang. Selama berkuasa, sebulan sekali ada pagelaran wayang kulit, dengan lakon apa saja, yang penting Gatutkaca kesatria Pringgodani tampil. Di era Jokowi ini, sepertinya baru sekali Presiden nanggap wayang di Istana. Jika ada undangan dengan hiburan wayang, paling Jokowi hanya menyerahkan wayang kepada kidalang, habis itu nonton sebentar lalu pulang. Nggak ada ceritanya Jokowi nonton wayang semalam suntuk seperti Bung Karno. Tapi ya nggak apalah, karena keberhasilan memimpin negara tak ditentukan oleh perhatiannya pada budaya leluhur.
Untuk menarik generasi muda kembali menggemari wayang, sampai-sampai almarhum dalang Ki Manteb Sudarsono nyebal pakem, di mana adegan Limbukan dan Gara-gara makan waktu 4 jam sendiri, termasuk elektrisasi pakeliran. Ki Seno Nugroho (1972-2020) yang notabene murid Ki Manteb lebih hebat lagi. Dia berani meladeni lakon aneh-aneh permintaan penanggap seperti: Bagong mbangun desa, Petruk dadi dukun. Kemudian tokoh Bagong punakawan Pendawa dieksploitir dengan kostum training, pakai surjan. Bahkan punya pula wayang Werkudara, Kresna, Harjuna, dalam bentuk Bagong. Tapi sayang dalang muda yang digemari penonton itu meninggal –bukan wafat istilalah wartawan sekarang– dipanggil Sang Pencipta belum sampai usia 50 tahun. (Cantrik Metaram)