WALAU relatif tenang dari hiruk pikuk konflik di kawasan Timur Tengah, Arab Saudi dalam pekan terakhir ini cukup terganggu oleh serangan drone oleh kelompok baru yang mengaku beroperasi di Irak.
Semula terutama ibukota, Riyadh dijadikan bulan-bulan sasaran rudal, roket atau drone kelompok Houthi di Yaman yang berperang melawan pasukan rezim Presiden Abdurabuh Mansur Hadi dukungan Saudi yang mereka tumbangkan.
Beberapa kali rudal-rudal tua Scud buatan eks-Uni Soviet ditembakkan ke wilayah Saudi, namun sebagian jatuh ke ruang kosong atau disergap sistem pertahanan udara Saudi yang mengandalkan rudal-rudal anti rudal Patriot buatan AS.
Saudi yang memiliki segudang alusista canggih yang dipasok AS, selain terlibat konflik Yaman, tidak terlibat langsung dalam konflik melawan Israel, musuh bersama negara-negara Arab, bahkan secara diam-diam diduga menjalin hubungan dengan negara Yahudi tersebut.
Namun demikian, sebagai negara kaya yang bergelimang petro dolar, juga dengan militer yang kuat, Saudi paling tidak juga terlibat perebutan hegemoni atau pengaruh di kawasan itu, bersaing dengan Iran.
Beberapa kali serangan drone terhadap kota Riyadh yang terjadi dalam pekan ini, diklaim oleh kelompok paramiliter berbasis di Irak yang menyebutkan dirinya Alwiya Alwaad Alhaq (atau dikenal sebagai PMF).
Drone semakin sering digunakan oleh pihak-pihak yang bertikai selain murah ketimbang rudal, juga terbukti efektif dalam perang antara Armenia dan Azerbaijan di kawasan Kaukasus, Asia Tengah memperebutkan wilayah Nagorno Karabakh pada Sept. 2019.
Saat itu pasukan Azerbaijan yang mengandalkan drone-drone tempur Bayrakhtar, Turki dan kamikaze Israel dengan mudah menghancurkan situs-situs rudal, pangkalan militer, tank-tank dan konsentrasi pasukan Armenia.
Dalam pesan berbahasa Inggeris yang disampaikan oleh kelompok tersebut, mereka menjadikan Saudi sebagai sasaran seranga pesawat tanpa awak (drone) sebagai balas dendam atas aksi bunuh diri di pasar di Baghdad yang menewasknlebih 30 orang beberapa waktu lalu.
Kelompok tersebut menuduh Saudi mensponsori kelompok ekstremis ISIS yang mengaku bertanggung jawab atas serangan mematikan pada i di Baghdad, 21 Januari lalu.
Sebagian besar kelompok PMF di Irak adalah muslim Syiah, dan beberapa diantaranya berkomplot dengan Iran yang mayoritas berhaluan Syiah, berbeda dengan Saudi yang menganut aliran Sunni.
“Arab Saudi adalah lapangan bermain baru untuk serangan drone dan rudal,” lanjut pesan itu. ” MBS ( Pangeran Mohammed bin Salman) harus tidur dengan satu mata terbuka mulai sekarang,” demikian anara lain isi pesan tersebut.
Sementara itu, peneliti Washington Institute for Near East Policy berbasis di London, Hamdi Malik mengemukakan, setahun terakhir ini makin banyak sempalan baru grup PMF, terutama di Irak.
Sedangkan pakar politik, Michael Knights dalam laporan untuk Pusat Pemberantasan Terorisme di Akmil AS West Point menyebutkan, untuk menyarukan pelaku sebenarnya, mereka membentuk kelompok palsu, lalu menggunakan indentitasnya mengklaim serangan.
“Meskipun seluruh kelompok tersebut berikrar setia kepada Iran, mereka memiliki tujuan politik yang berbeda, “ujarnya.
Konflik di Timur Tengah tak pernah sepi, terkait isu Palestina dan perseteruan panjang dunia Arab melawan musuh bebuyutan mereka, Israel.
Selain itu, di kalangan intern negara Arab, terjadi friksi, perbedaan aliran keyakinan atau persaingan kekuasaan, belum lagi terkait orientasi terhadap negara berpengaruh di level kawasan, juga terhadap penguasa global, AS dan Rusia.
Timur Tengah yang Tak Pernah Sepi
WALAU relatif tenang dari hiruk pikuk konflik di kawasan Timur Tengah, Arab Saudi dalam pekan terakhir ini cukup terganggu oleh serangan drone oleh kelompok baru yang mengaku beroperasi di Irak.
Semula terutama ibukota, Riyadh dijadikan bulan-bulan sasaran kelompok Houthi di Yaman yang berperang melawan pasukan rezim Presiden Abdurabuh Mansur Hadi dukungan Saudi yang mereka tumbangkan.
Beberapa kali rudal-rudal tua Scud buatan eks-Uni Soviet ditembakkan ke wilayah Saudi, namun sebagian jatuh ke ruang kosong atau disergap sistem pertahanan udara Saudi yang mengandalkan rudal-rudal anti rudal Patriot buatan AS.
Saudi yang memiliki segudang alusista canggih yang dipasok AS, selain terlibat konflik Yaman, tidak terlibat dalam perang langsung melawan Israel, musuh bersama negara-negara Arab, bahkan secara diam-diam diduga menjalin hubungan dengan negara Yahudi tersebut.
Namun demikian, sebagai negara kaya yang bergelimang petro dolar, juga dengan militer yang kuat, Saudi paling tidk juga terlibat perebutan hegemoni atau pengaruh di kawasan itu, bersaing dengan Iran.
Beberapa kali serangan drone terhadap kota Riyadh yang terjadi dalam pekan ini, diklaim oleh kelompok paramiliter berbasis di Irak yang menyebutkan dirinya Alwiya ALwaad Alhaq (atau dikenal sebagai PMF).
Drone semakin sering digunakan oleh pihak-pihak yang bertikai selain murah ketimbang rudal, juga terbukti yang terakhir kali dalam perang antara Armenia dan Azerbaijan di kawasan Kaukasus, Asia Tengah memperebutkan wilayah Nagorno Karabakh pada Sept. 2019.
Saat itu pasukan Azerbaijan yang mengandalkan drone-drone tempur Bayrakhtar, Turki dan bomkamikaze Israel dengan mudah menghancurkan situs-situs rudal, pangkalan militer, tank-tank dan konsentrasi pasukan Armenia.
Dalam pesan berbahasa Inggeris yang disampaikan oleh kelompok tersebut, mereka menjadikan Saudi sebagai sasaran seranga pesawat tanpa awak (drone) sebagai balas dendam atas aksi bunuh diri di pasar di Baghdad yang menewasknlebih 30 orang beberapa waktu lalu.
Kelompok tersebut menuduh Saudi mensponsori kelompok ekstremis ISIS yang mengaku bertanggung jawab atas serangan mematikan pada i di Baghdad, 21 Januari lalu.
Sebagian besar kelompok PMF di Irak adalah muslim Syiah, dan beberapa diantaranya berkomplot dengan Iran yang mayoritas berhaluan Syiah, berbeda dengan Saudi yang menganut aliran Sunni.
“Arab Saudi adalah lapangan bermain baru untuk serangan drone dan rudal,” lanjut pesan itu. ” MBS ( Pangeran Mohammed bin Salman) harus tidur dengan satu mata terbuka mulai sekarang,” demikian anara lain isi pesan tersebut.
Sementara itu, peneliti Washington Institute for Near East Policy berbasis di London, Hamdi Malik mengemukakan, setahun terakhir ini makin banyak sempalan baru grup PMF, terutama di Irak.
Sedangkan pakar politik, Michael Knights dalam laporan untuk Pusat Pemberantasan Terorisme di Akmil AS West Point menyebutkan, untuk menyarukan pelaku sebenarnya, mereka membentuk kelompok palsu, lalu menggunakan indentitasnya mengklaim serangan.
“Meskipun seluruh kelompok tersebut berikrar setia kepada Iran, mereka memiliki tujuan politik yang berbeda, “ujarnya.
Konflik di Timur Tengah tak pernah sepi, terkait isu Palestina dan perseteruan panjang dunia Arab melawan musuh bebuyutan mereka, Israel.
Selain itu, di kalangan intern negara Arab, juga ada friksi, perbedaan
aliran keyakinan atau persaingan kekuasaan, belum lagi terkait kiblat
terhadap negara berpangaruh di level kawasan, juga terhadap penguasa global,AS dan Rusia.