
WAKIL Panglima TNI Jenderal Tandyo Budi Revita membantah, institusi yang dipimpinnya dianggap terlambat bereaksi sehingga terjadi sejumlah penjarahan pasca aksi unjuk rasa massa 28 dan 29 Agustus.
Tandyo menyebutkan, saat penjarahan terjadi, pihaknya menunggu permintaan kepolisian untuk membantu pengamanan sebagai bentuk ketaatan terhadap konstitusi.
“Kita taat konstitusi. Ada permintaan tidak?. Saya katakan, kami taat konstitusi. Konstitusi menyebutkan seperti itu. Kita kan perbantuan. Jelas ya!,” kata Tandyo di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Senin (1/9).
Ia menjelaskan, permintaan bantuan baru turun pada Sabtu (30/8) sore, setelah rumah salah satu anggota DPR RI, Ahmad Sahroni, dijarah. TNI kemudian menurunkan pasukan selang sehari kemudian, Minggu (31/8).
Tandyo, balik bertanya: “(Penjarahan) itu terjadi kapan? (Sabtu 30/8, kecuali rumah Menkeu, Miggu dinihari 31/8 -red). Kemudian, Pak Presiden memanggil Kapolri dan Panglima TNI tanggal berapa? (Sabtu, 30/8 sore). Tanggal 31/8 kita turun, “  tuturnya.
Tandyo  juga menolak anggapan, TNI melakukan pembiaran terhadap pembakaran obyek vital nasional, salah satunya Stasiun Moda Raya Terpadu (MRT).
“MRT kan fasilitas umum, pengamanan oleh siapa? (Kalaupun MRT) obyek vital nasional, lihat di UU, klausulnya apa? Ikuti itu, “ kata Tandyo.
 Aksi penjarahan
Sebelumnya diberitakan, sejumlah rumah pejabat dijarah massa pada Sabtu (30/8) malam usai terjadi demo berhari-hari menuntut penghapusan tunjangan DPR RI.
Penjarahan itu, terjadi di rumah empat anggota DPR yakni Ahmad Sahroni, Nafa Urbach, Eko Patrio, dan Uya Kuya, serta Menkeu Sri Mulyani Indrawati.
Rumah wakil Ketua Komisi III DPR Ahmad Sahroni di kawasan Tg. Priok, Jakarta Utara lebih dulu diserbu massa, Sabtu sore yang menjarah ludes prabotan dan harta benda lainnya sehingga tak bersisa.
Seluruh isi dan perabot rumah tangga termasuk hewan peliharaan milik anggota DPR yang juga pesohor Uya Kuya di Pondok Bambu, Duren Sawit ludes dijarah massa  Sabtu malam (30/8), begitu pula rumah Eko Satrio di kawasan Kuningan, Setiabudi, Jaksel.
Sementara rumah artis yang juga anggota DPR Nafa Urbah di Pondok Aren, Tengerang Selatan, Banten disatronin ratusan massa yang lalu menjarah seisi rumah, Minggu dini hari (31/8).
Tak hanya rumah artis kondang yang juga angggota DPR, rumah pribadi kediaman Menteri Keuangan Sri Mulyani di Jl. Mandar, Sektor 3A, Bintaro, Jaksel juga  dijarah massa Minggu pagi pukul 01.00 dan 03.00.
Aksi-aksi penjarahan itu kemudian dikritik masyarakat di medsos  karena TNI dan Polri dianggap membiarkan saja aksi masa brutal tersebut, dan baru berjaga di lokasi setelah aksi penjarahan selesai.
Jika institusi kepolisian dianggap paling bertanggungjawab terkait masalah keamanan, tentu dipertanyakan, kemana saja mereka sehingga para penjarah leluasa melakukan aksinya.
Mestinya, jika berjalan baik, aparat polisi yang ada mulai dari tingkat kelurahan yakni anggota babhinkamtibmas, ada pos polisi, polsek, polres dan juga anggota intel yang mestinya selalu pasang telinga. Kemana saja mereka?
Terus bagaimana dengan koordinasi antara Polri dan TNI jika, sehingga permintaan bantuan dari TNI bisa terlambat?
Jika mau diambil hikmahnya, tentu banyak pelajaran yang bisa ditimba oleh aksi-aksi demo pekan lalu, termasuk koordinasi di antara institusi terkait keamanan.




