Tumbuh Terlalu Cepat: Ketika Anak Harus Menjadi Penopang Keluarga

Direktur Pelayanan Kesehatan Kelompok Rentan Kementerian Ksehatan RI, dr. Imran Pambudi (Foto: 3rd)

Baru-baru ini ada video yang cukup viral dari KDM menemukan beberapa anak yang berasal dari sebuah keluarga berjualan di pinggir jalan. Ketika ditelusuri berasal dari sebuah keluarga dengan 11 orang anak di mana ayahnya tidak bekerja.

Sang ayah menyatakan masih pikir-pikir saat diminta ber-KB oleh Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi. Berita lain yang cukup menghebohkan adalah ada 4 orang balita yang terbakar saat ditinggal pergi oleh ibunya, dan dari video lanjutannya terlihat salah seorang anak yang juga masih balita terlihat sedang “mengasuh” adiknya yang masih bayi.

Kedua peristiwa ini mengulas bagaimana anak-anak yang memikul beban orang tua semakin sering muncul dalam perbincangan publik. Laporan-laporan ini mengungkapkan kasus nyata di tengah kondisi ekonomi yang menekan, disfungsi keluarga, dan krisis kesehatan mental.

Parentifikasi adalah kondisi di mana seorang anak diharuskan mengambil peran atau tanggung jawab orang tua, baik secara emosional maupun praktis. Dalam situasi ini, anak seringkali harus mengurus adik, mengelola pekerjaan rumah tangga, bahkan mendampingi orang tua yang sedang mengalami kesulitan—meskipun hal itu belum tentu sesuai dengan tahap perkembangan mereka.

Istilah ini mulai dikenal dalam literatur psikologi sejak diperkenalkannya konsep tersebut oleh Boszormenyi-Nagy dan Spark pada tahun 1973. Parentifikasi muncul sebagai respons terhadap dinamika keluarga yang tidak seimbang, di mana peran orang tua tidak terpenuhi karena berbagai kendala, sehingga beban tugas berpindah ke tangan anak.

Sampai saat ini, belum ada data statistik resmi atau angka pasti yang menggambarkan jumlah kejadian parentifikasi—baik di Indonesia maupun di tingkat global. Banyak penelitian yang mengidentifikasi bahwa parentifikasi cukup sering terjadi, terutama dalam konteks keluarga yang mengalami tekanan ekonomi, disfungsi internal, atau krisis kesehatan mental, namun angka pastinya sangat bervariasi tergantung pada metode penelitian, kriteria operasionalisasi parentifikasi, serta karakteristik sampel yang diteliti.

Sebagian penelitian kualitatif dan sistematis, menunjukkan bahwa dalam keluarga dengan dinamika disfungsi, prevalensi parentifikasi pada anak bisa saja berkisar antara 10% hingga 30%. Namun, angka-angka tersebut hanyalah estimasi berdasarkan konteks dan kelompok studi tertentu, bukan representasi dari populasi umum secara luas.

Di Indonesia sendiri, data empiris yang mengukur luasnya fenomena ini belum tersusun secara komprehensif, sehingga laporan tentang parentifikasi sering didasarkan pada studi kasus dan laporan media yang mengindikasikan adanya kecenderungan yang serupa, tanpa memberikan angka pasti. Di negara-negara dengan ketidakstabilan sosial-ekonomi, parentifikasi cenderung muncul lebih dominan.

Parentifikasi memiliki bentuk dan penerimaan yang berbeda di berbagai budaya. Di beberapa tempat, hal ini dianggap sebagai bagian dari kewajiban keluarga, sementara di tempat lain, lebih sering dikaitkan dengan disfungsi keluarga.

Meskipun dalam beberapa kasus parentifikasi dapat membantu anak mengembangkan keterampilan tanggung jawab, dampak negatifnya tetap perlu diperhatikan, terutama dalam konteks kesehatan mental dan kesejahteraan anak.

Dalam budaya Asia Timur (China, Jepang, Korea), parentifikasi dianggap sebagai penterjemahan dari konsep filial piety (kesetiaan anak kepada orang tua) sangat kuat, terutama dalam budaya Konfusianisme. Anak sering merasa bertanggung jawab untuk merawat orang tua mereka sejak usia muda, bahkan setelah dewasa.

Parentifikasi dalam bentuk dukungan finansial dan emosional terhadap orang tua sering dianggap sebagai kewajiban moral, bukan sebagai beban. Sedangkan dalam Budaya Barat (Eropa dan Amerika Utara), parentifikasi lebih sering dikaitkan dengan disfungsi keluarga, seperti perceraian, kecanduan, atau gangguan kesehatan mental orang tua, karena dalam budaya yang lebih individualistik, anak-anak yang mengalami parentifikasi sering dianggap mengalami childhood emotional neglect, yang dapat berdampak negatif pada kesehatan mental mereka di masa dewasa. Hal ini membuat kesadaran akan dampak negatif parentifikasi lebih tinggi, sehingga banyak program intervensi dan dukungan psikologis tersedia.

Berbagai faktor dapat mendorong terjadinya parentifikasi, antara lain:

Masalah Ekonomi dan Ketidakstabilan Finansial: Keterbatasan ekonomi dapat membuat orang tua tidak mampu memenuhi semua kebutuhan keluarga secara optimal, sehingga anak harus membantu mencari nafkah atau mengurus kebutuhan sehari-hari.

Kesehatan Mental dan Fisik Orang Tua: Gangguan kesehatan, baik mental maupun fisik, seringkali membuat orang tua tidak mampu menjalankan peran mereka secara penuh. Ketika seorang orang tua mengalami depresi, kecanduan, atau penyakit kronis, anak pun dipaksa untuk mengambil alih peran sebagai pengasuh dan pendukung emosional.

Perceraian dan Disfungsi Keluarga: Konflik rumah tangga atau perpecahan keluarga juga dapat memicu parentifikasi. Di tengah ketidakharmonisan, anak merasa harus “menyelamatkan” situasi dengan memikul beban tanggung jawab ekstra.

Dari perspektif psikologi, parentifikasi berpotensi mengganggu perkembangan emosional dan kognitif anak. Teknologi dan tuntutan zaman yang semakin tinggi membuat anak yang dipaksa mengambil peran dewasa rentan mengalami:

Trauma Emosional dan Cedera Psikologis: Anak sering merasa terbebani dengan harapan yang berat, menyebabkan kecemasan, ketakutan berlebihan, dan perasaan tidak aman yang berkepanjangan.

Gangguan Identitas: Tekanan untuk ‘menjadi dewasa’ terlalu dini menghambat proses pembentukan identitas diri yang sehat, sehingga anak kesulitan mencari jati diri dan menetapkan batasan emosional yang diperlukan dalam hubungan interpersonal.

Risiko Kesehatan Mental: Beban emosional yang berlebihan meningkatkan risiko munculnya depresi, gangguan kecemasan, dan masalah perilaku yang berpotensi mengganggu produktivitas dan hubungan sosial di kemudian hari.

Selain dampak negatif yang langsung dirasakan, parentifikasi juga membawa konsekuensi jangka panjang yang mendalam, antara lain:

Trauma Berkepanjangan: Anak yang mengalami parentifikasi cenderung membawa luka emosional yang bisa berlarut-larut hingga dewasa. Trauma ini dapat muncul dalam bentuk perasaan tidak aman, rendahnya harga diri, dan kesulitan mengelola emosi.

Gangguan Identitas dan Hubungan Interpersonal: Proses pembentukan identitas anak terganggu karena harus mengambil peran yang tidak sesuai dengan usia dan perkembangan psikologis. Hal ini berdampak pada kesulitan dalam membangun hubungan interpersonal yang sehat di masa dewasa serta kecenderungan mengulangi pola hubungan yang tidak seimbang.

Risiko Kesehatan Mental dan Fisik di Masa Depan: Beban emosional yang terus menerus dapat meningkatkan risiko depresi, kecemasan, dan gangguan stres pasca-trauma. Di samping itu, stres berkepanjangan juga berpotensi memicu masalah kesehatan fisik seperti gangguan tidur, penurunan sistem imun, dan penyakit kronis lainnya.

 

Pola Asuh pada Generasi Berikutnya: Anak yang terjebak dalam peran dewasa lebih awal mungkin sulit memisahkan antara peran sebagai anak dan sebagai orang dewasa, sehingga berpotensi meneruskan pola parentifikasi pada generasi berikutnya, yang menyebabkan siklus disfungsi keluarga terus berlanjut.

Implikasi dari parentifikasi tidak hanya dirasakan oleh anak, tetapi juga menimbulkan dampak negatif pada keseluruhan dinamika keluarga:

Pada Anak: Beban yang terlalu berat secara emosional dan fisik seringkali mengakibatkan stres kronis, kecemasan, dan bahkan risiko depresi. Anak yang harus “dewasa sebelum waktunya” mungkin kesulitan dalam mengembangkan keterampilan sosial, memiliki prestasi akademik yang menurun, serta kehilangan kesempatan menikmati masa kecil yang seharusnya penuh keceriaan.

Pada Keluarga: Pergeseran peran ini mengganggu dinamika keluarga yang ideal. Terjadinya pembalikan peran antara orang tua dan anak dapat menurunkan fungsi keibuan/paternitas yang ideal, menciptakan hubungan yang tidak seimbang, dan berdampak pada kualitas interaksi serta komunikasi dalam keluarga.

Parentifikasi merupakan fenomena kompleks yang melibatkan pergeseran peran dari orang tua kepada anak. Penyebab utamanya meliputi masalah ekonomi, gangguan kesehatan mental dan fisik orang tua, serta disfungsi internal keluarga. Dampak negatifnya terasa tidak hanya pada kesejahteraan emosional anak dan dinamika keluarga, tetapi juga berpotensi menciptakan trauma jangka panjang yang mengganggu identitas, hubungan interpersonal, dan kesehatan mental di masa depan.

Dalam menghadapi fenomena ini, pemerintah memiliki peran yang sangat krusial. Dengan menyediakan layanan kesehatan mental yang mudah diakses, meluncurkan program dukungan sosial dan ekonomi yang menyeluruh, serta melakukan kampanye edukasi untuk mengubah persepsi publik mengenai peran anak dalam keluarga, pemerintah dapat membantu memutus siklus parentifikasi dan mendukung perkembangan anak secara optimal. Langkah-langkah tersebut harus didukung oleh penelitian yang berkelanjutan serta kolaborasi lintas sektoral guna menciptakan lingkungan keluarga yang sehat dan seimbang.

 

*Direktur Kesehatan Jiwa Kementerian Kesehatan, Imran Pambudi

Advertisement div class="td-visible-desktop">

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here