DI TENGAH kekhawatiran terjadinya lonjakan Covid-19 pada masa kampanye pilkada serentak mulai 26 September, kini berlangsung unjuk rasa di sejumlah daerah untuk menolak UU Cipta Kerja yang baru disahkan DPR.
Unjukrasa dilaporkan terjadi di sejumlah daerah sejak Selasa 6/10) melibatkan ribuan pekerja yang bernaung di bawah 32 federasi dan konfederasi serikat pekerja.
Di Jakarta, demo berlanjut di sekitar kawasan Ring I Monas, Kamis siang (8/10) dimana polisi bersenjatakan kanon air dan gas air mata berusaha menahan ribuan demo yang berupaya mendekati Istana Negara dan mulai melempari mereka dengan batu.
Sementara di Makassar, di tengah guyuran hujan, konsentrasi unjuk rasa terbesar berada di depan Gedung DPRD, diwarnai orasi-orasi yang a.l menilai UU Cipta Karya sebagai wujud persekongkolan jahat antara pemerintah, DPR dan pemilik modal.
Sedangkan di Yogyakarta, demo mahasiswa dan pekerja juga berujung rusuh dengan perusakan gedung DPRD, mobil dan sepeda motor yang diparkir serta pelemparan batu.
Aksi mogok nasional berlangsung di Bandung, Cianjur, Tangerang, DI Jogjakarta, Semarang, Malang, Surabaya, Banda Aceh, Medan, Palembang, Bandar lampung, Pekanbaru, Palangkaraya, Makassar, Ambon, Gorontalo, Sorong dan Jayapura dan sejumlah kota lainnya.
Sangat disayangkan, selain diikuti buruh dan mahasiswa, unjukrasa di sejumlah kota seperti di Bandung, Makassar dan Palembang diikuti oleh kelompok masa yang sengaja berbuat anarkis atau melakukan aksi vandalisme.
Pekerja gabungan dari kawasan industri di Bandung Raya semula melakukan unjukrasa dengan tertib di wilayah sekitar Gedung Sate (7/10), berubah anarkis pada malam hari ketika muncul orang-orang tak dikenal yang merusak taman dan pagar gedung-gedung.
Sementara di Palembang, dilaporkan aparat kepolisian menangkap 70- an perusuh yang mendompleng aksi unjukrasa yang membawa bom molotov dan senjata tajam diduga untuk berbuat onar.
RUU Cipta Karya yang disahkan oleh DPR, Selasa lalu (5/10) melalui mekanisme pembahasan omnibus (gabungan berbagai peraturan perundang-undangan) sejak semula memang mengundang pro-kontra.
Dorong Investasi
Pemerintah dan DPR yang mengajukan menganggap RUU Cipta Kerja penting untuk segera dibahas dalam upaya menciptakan iklim yang kondusif bagi investor, sekaligus juga memberikan kepastian dan jaminan perlindungan bagi pekerja.
Sebaliknya, para pekerja menganggap pasal-pasal pada UU Cipta Kerja misalnya terkait besaran pesangon, kerja alihdaya yang tanpa batas, masa cuti, jam kerja dan lainnya dinilai merugikan mereka.
Selain ditolak oleh dua dari sembilan fraksi di DPR yakni F-Partai Demokrat dan F-PKS, banyak pihak juga menganggap pembahasan RUU tidak transparan dan dikebut (rampung dalam enam bulan) sesuai kehendak pemerintah dan fraksi-fraksi pendukungnya di DPR.
Selain ancaman lonjakan pandemi Covid-19 di tengah masa kampanye pilkada saat ini, gunjang-ganjing politik dan terganggunya roda-roda ekonomi adalah hal yang sangat mengkhawatirkan jika unjuk rasa dan mogok kerja terus berlangsung.
Masih bisa dimaklumi, kekecewaan para pekerja terhadap pencegahan UU Cipta Kerja yang disalurkan dengan berunjuk rasa walau aksi tersebut tidak kondusif bagi upaya pencegahan pandemi Covid-19.
Masalahnya, berbagai kepentingan bisa saja menyusupi aksi-aksi murni para pekerja dan mahasiswa mulai dari para “barisan sakit hati”, petualang politik, rezim Orba, sampai pada anak-anak yang biasa tawuran, para preman dan pelaku kriminalitas.
Solusi UU Cipta Karya harus segera dicari, jangan sampai, aksi-aksi di berbagai kota berkembang menjadi klaster-klaster kerusuhan yang membuat situasi menjadi chaos dan tak terkendali.