Wakil Rakyat yang Nirempati

Wartawan Senior Arif Supriyono (Foto: Ist)

Dalam pelbagai literatur ada  tiga fungsi utama Dewan Perwakilan Rayat (DPR). Pertama adalah fungsi legislasi (membuat undang-undang). Kedua, bersama pemerintah menyusun anggaran (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/APBN). Kemudian ketiga, melakukan pengawasan terhadap eksekutif atau jalannya roda pemerintahan.

Karena DPR merupakan wakil rakyat, maka segala fungsi yang dijalankan haruslah bermuara untuk kepentingan rakyat. Rakyat harus menjadi pertimbangan utama dalam membuat kebijakan di legislatif.

Pandangan itu senapas dengan pemikiran filsuf ternama Jean-Jacques Rousseau dari Swiss. Menurut Rousseau, rakyatlah yang punya kuasa dan rakyat pulalah yang berdaulat. Melalui kekuasaan itu, rakyat tentu memiliki keinginan-keinginan.

Keinginan atau kemauan rakyat itu selanjutnya dirumuskan oleh legislatif dan menjadi sebuah keputusan yang mengikat masyarakat luas. Undang-undang yang lahir dari rahim DPR harus juga dirumuskan dan mencerminkan kebijakan-kebijakan umum yang berlaku untuk kepentingan masyarakat luas.

Sebagai wakil rakyat, DPR harus senantiasa bisa merasakan apa yang menjadi kebutuhan yang diwakili. DPR harus bisa menangkap suasana hati yang merebak di tengah kehidupan masyarakat. Ibaratnya, denyut nadi masyarakat juga dirasakan dan berada dalam frekuensi yang sama dengan DPR. Jika masyarakat diliputi suasana keprihatinan, itu pula yang mestinya terwujud dalam kebijakan maupun aktivitas anggota dewan.

Hampir semua orang tahu, napas perekonomian kita masih tersengal-sengal. Roda ekonomi masyarakat belum bisa berputar lancar dan ajeg. Secara umum pendapatan masyarakat menurun dan belum pulih. Beban hidup dirasakan masih berat. Ada kenaikan harga barang, pajak pertambahan nilai (PPN) untuk komoditas tertentu juga terkerek naik dari 11% menjadi 12%.

Di banyak daerah, pemerintah setempat secara serempak membuat paduan suara nyaring berupa kenaikan pajak bumi dan bangunan perkotaan dan perdesaan (PBB P2). Kondisi ini sempat memicu unjuk rasa besar-besaran di Pati, Jawa Tengah. Belum lagi terjadinya pemutusan hubungan kerja yang tak terelakkan di banyak perusahaan.

Gejolak kepedihan masyarakat ternyata tidak linier dengan apa yang terjadi di lingkungan Gedung DPR. Justru yang terjadi adalah suasana yang amat kontras. Pendapatan anggota DPR naik lantaran ada peningkatan tunjangan rumah yang mencapai Rp50 juta per bulan. Dalam sebulan, anggota DPR mendapat pemasukan sekitar Rp230 juta. Angka itu sudah tergolong fantastis lantaran besarnya 43 kali lipat dari upah minimum regional (UMR) di Jakarta yang sekitar Rp5,3 juta.

Namun angka lebih mencengangkan diungkap Mahfud Md (mantan menko hukum dan perundang-undangan). Menurut Mahfud, pendapatan seorang anggota DPR bukan lagi Rp230 juta per bulan atau sekitar Rp2,8 mliar per tahun. Ia mendengar justru miliaran rupiah per bulan pendapatan yang masuk kocek anggota DPR.

Sudah pendapatan wakil rakyat begitu selangit, perilaku mereka juga tidak menunjukkan kepedulian terhadap atas situasi nestapa yang melingkupi masyarakat. Di sela-sela rapat, para anggota DPR malah  bergoyang bersama. Konyolnya, goyang serempak itu tersiar luas. Hal itu seolah sama sekali tidak mau tahu atas penderitaan rakyat yang menghimpit saat ini. Serta-merta, kritik pun meluap dari masyarakat atas kegembiraan tak semestinya yang dipertontonkan pada khalayak yang sejatinya justru sebagai juragan pemilik kuasa. Caci-maki mengarah  pada penampilan anggota dewan yang dilakukan saat bersidang tersebut.

Letupan kemarahan masyarakat tak bisa dicegah. Seruan agar DPR dibubarkan pun sempat mencuat. Tentu ini lebih bersifat spontanitas akibat kekesalan yang tak bisa ditahan. Bukannya meredakan kemarahan rakyat dengan pendekatan yang simpati,  tetapi justru menyambutnya dengan seruan yang seolah mengajak permusuhan.

Wakil Ketua Komisi III DPR, Ahmad Sahroni, dari Partai Nasdem menuding mereka yang mengusulkan DPR agar dibubarkan itu sebagai orang tolol sedunia. Amarah rakyat kian membara. Apalagi esoknya ada unjuk rasa besar di sekitar Gedung DPR yang diwarnai dengan meninggalnya seorang pengemudi ojeg akibat dilindas kendaraan taktis polisi. Pemintaan untuk membubarkan DPR terus menggema.  Buntutnya, Sahroni lengser dari Komisi III DPR dan bergeser ke Komisi I sebagai anggota biasa.

Peristiwa ini mestinya menjadi pelajaran berharga bagi anggota dewan. Peran substansial sebagai wakil rakyat harus benar-benar dihayati. Mereka bukan juragan bagi rakyat tetapi justru mengabdi pada rakyat, membela kepentingan rakyat, dan menciptakan kondisi agar rakyat mudah mendapatkan keadilan, kecerdasan, dan kesejahteraan.

Jangan anggota DPR malah mencari kesejahteraan untuk dirinya sendiri. Gema efisiensi yang lantang diteriakkan Presiden Prabowo Subianto seolah tak bisa masuk ke ruang bangunan Gedung DPR sehingga terkesan Gedung itu kedap suara dari luar.

Anggota DPR juga harus terbuka pada rakyat. Suasana Gedung DPR yang kini tertutup rapat bagi masyarakat luas seolah mencerminkan ketertutupan mereka terhadap pemberi kuasa, yakni rakyat. Sebagai anggota dewan, konsekuensi mereka adalah menemui masyarakat yang akan mengutarakan kehendaknya, bukan malah menutup diri dan mengunci rapat-rapat gerbang dan mungkin juga pintu hatinya.

Sudah selayaknya DPR juga mengevaluasi besaran gaji dan pendapatan mereka. Pendapatan 10x lipat UMR Jakarta per bulan sangatlah wajar. Besaran dana aspirasi yang Rp80 juta per bulan dan dana reses yang konon mencapai Rp2 miliar lebih harus juga dikoreksi. Dahulu pun tidak ada dana aspirasi bagi anggota dewan. Dengan adanya dana aspirasi, toh mayoritas aspirasi masyarakat juga tak terpenuhi dengan baik.

Bila itu ditempuh, saya yakin wakil rakyat yang masuk menjadi anggota DPR memang benar-benar mereka yang punya idealisme serta semata ingin membela dan menyalurkan kepentingan masyarakat luas. Bukan mereka yang tidak punya empati (nirempati) pada rakyat. Jangan sampai dewan menjadi tempat parade para selebritis yang kesehariannya berada jauh dari kehidupan nyata masyarakat akar rumput. Jangan pula DPR hanya sekadar jadi alat untuk mendukung pemerintah/eksekutif dan bukannya  mengoreksi kebijakan yang tidak tepat.

Saatnya anggota DPR bangun dari mimpi indahnya. Kemewahan dan aroma wewangian sejatinya bukanlah habitat yang tepat untuk para anggota dewan.

Advertisement

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here