Warga AS juga menentang kebijakan Presiden Trump

Demo di 50 negara bagian di AS, Sabtu (5/4) menentang kebijakan tarif yang diberlakukan Presiden Trump terhadap puluhan negara mitranya. (foto: liputan 6)

TIDAK hanya sejumlah negara yang dirugikan oleh kebijakan tarif impor baru Presiden Amerika Serikat  Donald Trump (2/4), ribuan warga di 50 negara bagian di Amerika Serikat turun ke jalan, Sabtu (5/4) menentangnya.

Reuters mengutip penyelenggara unjuk rasa melaporkan, sekitar 1.200 aksi demonstrasi digelar di seluruh AS, menjadikannya sebagai salah satu aksi massa terbesar dalam satu hari sejak Trump kembali menjabat pada 20 Januari lalu.

Aksi ini diorganisir oleh sekitar 150 kelompok aktivis dan dijadwalkan berlangsung di seluruh 50 negara bagian, serta di beberapa kota besar seperti London, Paris, Berlin, Meksiko City, hingga Lisbon.

“Ini adalah demonstrasi besar-besaran dengan pesan sangat jelas kepada Musk dan Trump serta anggota Kongres dari Partai Republik dan segenp sekutu MAGA, bahwa kami tidak ingin mereka campur tangan dalam demokrasi kami, pada komunitas kami, pada sekolah kami, teman-teman kami, dan tetangga kami,” ujar Ezra Levin, salah satu pendiri kelompok Indivisible.

MAGA (Make America Great Again) adalah kelompok pendukung yang mengusung semboyan Trump dalam kampanye Pilpres November tahun lalu, termasuk bos Tesla dan Space X, Elon Musk.

Sementara Indivisible adalah satu dari banyak organisasi progresif yang menggagas aksi ini. Kelompok ini dibentuk setelah pemilihan pertama Trump pada 2016, dan kini bekerja sama dengan jaringan liberal lainnya seperti MoveOn dan Working Families Party.

Demo di kawasan National Mall

Demonstrasi terbesar berlangsung di kawasan National Mall, Washington DC dilakukan oleh kelompok pro-Palestina yang juga turut bergabung menyuarakan penolakan atas dukungan AS terhadap tindakan militer Israel di Gaza, serta mengkritik penanganan protes kampus oleh pemerintahan Trump.

Kritik terhadap Trump muncul menyusul rangkaian perintah eksekutif yang dikeluarkan sejak ia kembali menjabat.

Pengumuman tarif perdagangan terbaru yang diumumkan oleh Presiden AS, Donald Trump, baru-baru ini memunculkan kebingungan global.

Selain membingungkan, rumus tarif Trump tersebut ternyata juga berisiko memberatkan negara-negara miskin di dunia.

Penerapan tarif ini mengikuti rumus yang cukup sederhana. Pertama, defisit perdagangan barang AS dengan negara tertentu dihitung, kemudian dibagi dengan nilai ekspor negara tersebut ke AS.

Angka yang dihasilkan diubah menjadi persentase, lalu dipotong setengahnya untuk menentukan tarif “timbal balik” yang dikenakan AS, dengan batas bawah 10 persen. Anehnya, rumus ini justru membuat wilayah seperti Pulau Heard dan Kepulauan McDonald di Antartika yang secara geografis sangat jauh dari AS, dikenakan tarif sebesar 10 persen.

Lebih memprihatinkan lagi, negara-negara dengan ekonomi lemah, seperti Madagaskar, turut terdampak.

Negara dengan PDB per kapita rendah – sedikit di atas 500 dolar AS (Rp 8,2 juta) ini – dikenai tarif tinggi 47 persen atas ekspor vanili, logam, dan pakaian jadi senilai 733 juta dolar AS yang dikirimkan ke AS tahun lalu, ungkap Kepala Kamar Dagang Internasional (ICC) John Denton.

“Agaknya tidak ada yang membeli Tesla di sana,” demikian  sebuah komentar yang menunjukkan kemustahilan bagi negara dengan ekonomi lemah seperti Madagaskar untuk membeli produk-produk AS yang mahal sebagai bentuk timbal balik.

Madagaskar bukan satu-satunya negara yang terjebak dalam rumus ini. Negara-negara lain dengan ekonomi terbatas, seperti Lesotho di Afrika Selatan dan Kamboja di Asia Tenggara, juga menghadapi tarif tinggi, masing-masing sebesar 50 persen dan 49 persen.

“Negara-negara di Afrika dan Asia Tenggara yang paling dirugikan,” kata Denton, sebagaimana diberitakan Reuters pada Jumat (4/4).

Ia menambahkan, langkah ini berisiko merusak prospek pembangunan di negara-negara yang sudah menghadapi kesulitan dalam perdagangan global. Namun, rumus ini tidak hanya membingungkan negara-negara miskin, tetapi juga negara-negara kaya.

Uni Eropa, misalnya, menghadapi tarif hukuman sebesar 20 persen, empat kali lipat lebih tinggi dari tarif rata-rata 5 persen yang dihitung oleh Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) untuk UE.

Stefano Berni, Manajer Umum konsorsium pembuat keju Grana Padano di Italia, mengungkapkan kekecewaannya.

“Bagi kami, ini adalah ketidakakuratan yang sangat besar. Biaya yang kami keluarkan untuk memasuki pasar AS tiga kali lipat lebih besar dibandingkan biaya yang dikeluarkan keju AS untuk memasuki pasar kami,” ungkap dia.

Metodologi penghitungan

Sebaliknya, Wakil Sekretaris Pers Gedung Putih Kush Desai menjelaskan metodologi yang digunakan dalam rumus tersebut yakni dengan menghitung hambatan tarif dan non-tarif.

Sebuah dokumen Gedung Putih yang menyertakan rumus aljabar dibagikan sebagai bukti. Namun, ketika Menteri Perdagangan AS, Howard Lutnick, ditanya mengenai asal-usul rumus tersebut, ia tidak merincinya.

Ia hanya menjelaskan, para ekonom Perwakilan Dagang AS (USTR) telah bekerja bertahun-tahun untuk menyusun metrik yang mencerminkan hambatan perdagangan yang diterapkan oleh negara-negara, sehingga para ekonom di seluruh dunia pun mengritik rumus ini.

Mary Lovely, Peneliti Senior di Peterson Institute, menilai rumus tersebut tidak masuk akal. “Tidak ada metodologi yang jelas di sana. Ini seperti mengetahui Anda mengidap kanker dan menentukan pengobatan berdasarkan berat badan Anda dibagi usia Anda. Kata ‘timbal balik’ sangat menyesatkan,” ujarnya.

Karena itu, kebingungan yang ditimbulkan oleh rumus tarif Trump memperlihatkan ketidaksesuaian dengan tujuan awal kebijakan perdagangan AS, dan berisiko menambah ketegangan ekonomi di tingkat global.

Dampak dan reaksi atas kebijakan “ugal-ugalan” yang dilakukan Trump agaknya bakal terus bergulir (Reuters/ns)

Advertisement div class="td-visible-desktop">

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here