Zakat : Antara Syahwat dan Kewajiban

ilustrasi/ist

Berzakat ke lembaga itu berat. Berat di kepentingan. Ini diksi halus dari ‘syahwat’. Kenapa? Karena setelah Zakat ditunaikan ke lembaga, sangat kecil intervensi antara Muzakki ke Mustahik. Bahasa santunnya, kecil kemungkinan “merusaknya hati”. Atas apa? Atas niat.

Kami tergelak saat mendengar kisah seorang senior. Piawai benar beliau menceritakan. Mimik wajah mendukung. Kalimat yang dipilih deskriptif. Klop! Seakan hadir rasanya saat peristiwa dipentaskan.

“Ujang!” demikian cerita ini dimulai waktu itu. Kalimat sapaan dari seseorang ke seseorang. Sebut saja yang satu Muz dan yang satu lagi Mus. Pada cerita ini Muz yang memulai sapaannya. Kebetulan Mus yang biasa dipanggil ujang sedang melewati rumah Muz.

“Ya, Pak..” jawab Mus spontan. Ia susul segera asal suara itu. Melewati pagar tinggi besi. Membelah taman luas disesaki bermacam bunga indah. Tergesa ia berlari kecil. Seperti reaksi pegawai rendah dipanggil direktur. Ya, begitulah kira-kira.

“Ayo, masuklah ke dalam rumah sebentar. Ada hal penting yang harus saya sampaikan,” lanjut Muz dengan wajah serius. Mus semakin spontan bereaksi. Diksi “penting” menghela Ruhnya lebih antusias. Penasaran. Bersicepat kakinya melangkah masuk. Meski tetap menjaga kehati-hatian. Takut kakinya mengotori karpet mahal yang diinjaknya. Juga khawatir ‘malando’ perabotan mewah yang ada di rumah itu. Setelah itu dia diam terpaku. Bak seorang budak menunggu titah sang Prabu.

“Alhamdulillah, sudah tiba pula masanya pak,” tutur Muz memecah kesunyian. Demikian kalimat indah itu dimulai. Dengan pujian kepada sang pemilik segala kuasa. “Saya hendak menyampaikan Zakat keluarga kami ke Bapak. Sudah kami rundingkan, Zakat ini akan kami serahkan ke bapak sekeluarga,” lanjut Muz penuh keyakinan.

Demi mendengar kalimat itu, wajah Mus langsung berbinar. Senang hati bukan kepalang. Teringat keluarga di rumah yang akan menyambutnya. Si pono anak sulungnya tengah mempersiapkan penelitian kuliah S1 nya. Berserak utangnya selama ini demi kuliah sang anak. Belum lagi adiknya si Upik yang tengah Praktek Lapangan di sekolah kejuruannya.

Si bungsu tak mau ketinggalan. Tahun ini selesai SD nya. Hendak lanjutkan pula ke jenjang selanjutnya. Selama ini, dengan kerja kuli becak, Mus hadang semuanya. Istri sakit-sakitan usai pengobatan 6 bulan TBC-nya.

Mus menyadari. Sampai pecah pun betisnya mengayuh becak, tak kan mungkin ia penuhi semua kebutuhan keluarganya secara layak. Yang ada hanya tangis meruyak. Menyesakkan dada. Meski pinta kepada Allah tak pernah reda. Husndzon benar-benar ia jaga atas takdir yang ditulis-Nya. Dan hari ini seakan berbuah husnudzon itu saat ‘Pak Muz’ memanggilnya. Demikian sapaan hormat Muz kepada orang yang tengah berada tepat di depannya saat ini.

“Ya Allah,,, Alhamdulillah, terimakasih pak..terimakasih banyak. Saya sekeluarga memang sedang butuh uang saat ini. Utang sedang banyak berkumpul,” curhat Mus dengan wajah ‘sabak’. Tak bisa ia bendung haru di hatinya. Tumpah juga akhirnya di gurat wajahnya yang mulai menua. Umurnya 47 tahun, tapi nasib mempercepatnya seperti 57 tahun.

Zakat itu pun diserahkan langsung. Muz menyerahkan dalam amplop. Disebutkan jumlahnya. Mus menerimanya dengan rasa syukur. Pembicaraan pun mengarah ke akhir. Mus beranjak pamit pulang. Tak lupa ucapkan terima kasihnya berulang kali kepada Muz.

“Oya, sore nanti, pak ujang ada kerjaan Ndak?” Tanya Muz di bibir pintu saat Mus sedang menyalaminya hendak pamit pulang. “Tidak ada pak,” jawab Mus spontan.

“Saya mau minta tolong, kalau tidak keberatan,” lanjut Muz. Mendengar kalimat seperti itu Mus langsung semangat. Orang yang baru saja memberinya uang untuk membantunya kini hendak bertanya tentang keberatannya dimintai tolong. Hal yang tak mungkin ia tolak. Justeru ia akan sangat senang bisa menolong.

“Ada apa gerangan pak? Sampaikan saja. Saya akan sangat senang untuk bantu,” ujar Mus antusias.

“Begini pak. Kebetulan sore ini saya dan keluarga akan pergi berlibur. Nah, taman di rumah kami sudah tinggi-tinggi rumputnya. Bunga-bunganya pun sudah awut-awutan tumbuhnya. Saya mau minta tolong seperti tahun lalu untuk merapikannya sedikit. Sedikit saja kok, gak banyak-banyak. Ya, sekedar nya saja,” jelas Muz basa-basi. “Iya pak..iya.. InsyaAllah..” sambut Mus menimpali. Dibayangkannya taman itu akan dirapikannya sehebat mungkin. Tak mungkin sekedarnya. Segan dengan pak Muz, jika hasilnya ala kadar.

“Wah, syukurlah klo begitu. Nanti pak ujang minta kunci pagar dengan bi Inah ya. Panggil saja dengan bel yang ada di depan pagar,” tutup Muz mengakhiri pembicaraan. Mus pun mengangguk paham. Sembari bergegas menuju pulang, setelah pamitan basa-basi tadi. Tak ada tambahan kata-kata lagi setelah itu..

Demikianlah peristiwa di atas. Jamak terjadi di masyarakat kita. Andaikan berbeda bentuk, substansinya tetap saja sama. Terlepas ada yang berbeda pendapat, kita berharap bisa menjadi pembelajaran penting di kemudian hari. Semoga.

Berzakat bukanlah kedermawanan. Juga bukan kepentingan, apalagi sarana kesemenan-menaan. Ia adalah kewajiban yang tertulis jelas dalam syariat Islam. Pondasi penting atas pendistribusian kekayaan secara Ahsan dan elegan. Rukun ke 3 dari pilar Islam. Jangan sampai kita mengotorinya dengan kepentingan sesaat. Jangan sampai syahwat kita merusak value-nya yang indah lagi memuliakan. Karena setiap amal kita tengah dihadapkan kepada Allah. Sang pemilik alam semesta. Pemilik dan menggenggam jiwa-jiwa kita. Pastikan tak ada yang sumbing dari amal-amal kita atas niat yang rusak.

Semoga bermanfaat bagi kita semua. Kepada Allah kita mohonkan, agar Allah berkahi setiap rezeki yang tercurah. aamiin. – Akmal Ahmad

NB : Muzakki : orang yang diwajibkan secara syar’i untuk menunaikan zakat
Mustahik : orang yang berhak secara syar’i menerima zakat.(*)