spot_img

1 Oktober 58 Tahun Lalu

TANGGAL 1 Oktober 58 tahun lalu, jatuh hari Jumat. Tapi pada malam sebelumnya yang bertepatan dengan 30 September 1965, telah terjadi tragedi nasional yang mampu mengubah perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Malam itu untuk kedua kalinya PKI berkhianat dan memberontak pada pemerintahan RI yang sah. Yang pertama 18 September 1948 di Madiun dengan tokohnya Muso, dan yang 30 September 1965 di Jakarta dengan tokoh utamanya Letkol Untung.

Tapi keduanya sudah wasalam menikmati peluru kematian. Muso ditembak mati 31 Oktober 1948 selepas pelariannya di atas andong di Desa Semanding Ponorogo, sedangkan Letkol Untung dieksekusi setelah divonis mati oleh pengadilan Mahmilub pada Maret 1966. Muso adalah teman kos-kosan Bung Karno di rumah HOS Tjokroaminoto Surabaya, sementara Letkol Untung adalah bekas anak buah Pak Harto.

Pada 1 Oktober 1965 itu penulis masih duduk di kelas II PGA Muhammadiyah, Gedong Tengen Yogyakarta. Dalam perjalanan menuju sekolah orang sudah ramai membicarakan soal penculikan para jendral TNI-AD tersebut. Ceritanya masih sepotong-sepotong, karena di rumah kos-kosan tak ada radio. Dan ketika tiba di sekolahku, beritanya semakin jelas. Semua teman membicarakan peristiwa itu, yang kemudian dikenal sebagai Gerakan 30 September. Lalu kejadian aneh yang kulihat, koran Keda- ulatan Rakyat yang terbit hari itu, 1 Oktober 1965, banyak yang ditarik kembali oleh loper pengecernya. Apa maksudnya, sebagai anak usia 14 tahun kala itu, penulis sama sekali tidak mengerti.

Hari Sabtu 2 Oktober berikutnya menjadi semakin nyata. Diberitakan ada 7 jendral di Jakarta yang diculik pasukan Tjakrabirawa yang pro PKI/Dewan Revolusi. Jendral Soeharto selaku Pangkostrad telah berhasil mengamankan Ibukota. Lalu pada 4 Oktober berikutnya berita itu bertambah jelas. Jendral Ahmad Yani Cs ditemukan tewas di sumur Lobang Buaya. Hari selanjutnya, pas peringatan Hari Angkatan Perang 5 Oktober terdengar di radio Jendral Nasution terisak-isak dan tersendat-sendat suaranya saat melepas 7 Pahlawan Revolusi itu untuk dimakamkan di TMP Kalibata.

Tragedi nasional yang memakan banyak korban jiwa tersebut, sepertinya berkaitan dengan pengarahan dari guruku Sejarah di PGA Muhammadiyah, Pak Sardjono. Pada pra pemberontakan PKI tersebut, di depan kelas beliau pernah menganjurkan, jangan baca koran KR karena beritanya selalu menguntungkan PKI. “Baca saja Obor Revolusi (Jakarta) atau Mertju Suar dan Duta Masyarakat,” kata Pak Sardjono kala itu. Mungkin itu benar, karena setelah peristiwa itu saya pernah baca KR polemik dengan koran Api Islam terbitan Jakarta. Koran itu menuduh KR pro komunis, karena pada 1 Oktober 1965 tidak terbit. Padahal yang saya tahu, koran edisi hari itu memang banyak yang ditarik kembali.

Bapak di rumah membakari majalah Waspada koleksinya, karena isinya belakangan memang condong pro komunis. Bahkan pernah memuat sebuah geguritan (puisi Jawa) yang ada kalimatnya  begini: komunis pilihanku. Dan  sejak  peristiwa itu, majalah milik MI (Muhammad Ibnu) Sayuti (Melik)  tersebut tidak terbit  lagi.  Beberapa tahun kemudian saat saya mencarinya di Perpustakaan Negara Hatta  Foundation  Jl. Malioboro,  ternyata Waspada termasuk pustaka terlarang.

Gara-gara peristiwa itu, semua sekolah diliburkan seminggu, yang dikenalnya sebagai Libur Panas. Nasir dan Amroji dua teman sekolahku yang berasal dari Banyuwangi, selama Libur Panas di kampungnya ikut rame-rame menjagal orang-orang komunis. “Di bibir jurang itu mereka bergantian takbacok lehernya, dan tewaslah dia masuk jurang,” katanya tanpa ekspresi. Padahal saya bergidik mendengarnya.

Penangkapan orang-orang yang dianggap terlibat Gerakan 30 September (Gestapu) dilakukan oleh pihak Pepekuper (Pelaksana Pengawas Kuasa Perang). Di kampung asalku, 3 orang diciduk karena dianggap terlibat gerakan itu, meski mereka hanya petani yang tak tahu politik. Yang lucu di sekolahku PGA Gedongtengen. Sebagai sekolah Muhammadiyah, sangat ironis rasanya Pak Radjiman    guru Aljabar juga diciduk. Tapi bagi saya yang membenci mata pelajaran Aljabar, justru “bersyukur”. Karena sejak kepergian Pak Radjiman, berminggu-minggu selanjutnya saya bebas tak perlu lagi mengutak-atik hitungan: a + b = ab, atau a x b = a x b. Pusing aku, karena tak masuk benak dan logikaku.

Di sekolahku, Pak Sardjono guru sejarah kembali menerangkan bahwa untuk saat itu jika mau golek pipa (cari pipa), tinggal pergi saja ke kali Wedhi Klaten. Sebab saat itu orang-orang PKI yang dibantai banyak dibuang dan di kubur di kali tersebut. Di daerah Yogyakarta saat itu, para orang PKI kabarnya dicemplungkan di luweng Nggrubuk, yang terletak di dukuh Jetis Kel. Pacarejo Kec. Semanu Kab. Gunung Kidul.

Dalam kesempatan  lain Pak Sardjono  kembali  berkisah, jika kala itu PKI yang menang, niscaya kita-kita ini yang terbunuh dan bisa saja jadi satu lobang dengan Letkol Djimin Dandim Yogyakarta kala itu. Memang, waktu itu Danrem 072 Pamungkas Kol. Katamso dan Letkol Sugiyono Kasremnya, juga menjadi korban kekejaman PKI. Mereka dibunuh di Kentungan, oleh pasukan Mayor Mulyono.

Tak lama setelah Gestapu, Presiden Sukarno jatuh dan pada 27 Maret 1968 Menpangad Jendral Soeharto lewat sidang MPRS ditunjuk menjadi Pjs presiden RI. Gambar Pak Harto pun mulai menghiasi dinding-dinding setiap rumah. Sebaliknya gambar Presiden Sukarno yang tampak gagah   dalam  berbagai posisi menghilang dari rumah-rumah penduduk.

Ketika para tokoh PKI dan petinggi negara diadili dalam sidang Mahmilub (Mahkamah Militer Luar Biasa), saya suka mengikuti persidangan itu lewat siaran langsung RRI Jakarta dan Yogyakarta. Sidang berlangsung hingga larut malam. Di Yogyakarta baik Mayor Mulyono maupun tokoh PKI Wiryomartono, divonis hukuman mati. Biro khusus  PKI DIY itu menangis mendengar vonis hakim. Kapan mereka dieksekusi tidak jelas. Tapi yang pasti di Jakarta, bekas Menlu Subandrio dan bekas KSAU Omar Dhani pada akhirnya tak sampai dieksekusi, karena vonis matinya diubah menjadi hukuman seumur hidup berkat campur tangan Ratu Elizabeth dari Inggris.

Subandrio  oleh para mahasiswa  dijuluki juga Durna. Begitu pula Walikota Yogya Sudarisman Purwokusuma, juga memperoleh gelar yang sama. Maka bersamaan dengan populernya lagu Minah Gadis Dusun milik Titik Puspa kala itu, orang Yogya pun memplesetkanya menjadi: Inginkah kawan tahu siapa Durna, Walikota Yogya Purwokusuma……dst.

Demikianlah, peristiwa Gerakan 30 September yang kemudian dikenal sebagai G.30.S/PKI itu tanpa terasa telah berlangsung 58 tahun lalu. Dan seperti biasanya, setiap menjelang 1 Oktober isyu PKI bermunculan kembali. Beberapa hari ini berita lama diangkat oleh sejumlah media online bahwa keluarga Jendral Ahmad Yani menggugat pemerintah lewat MA, karena Presiden Jokowi minta maaf pada PKI.

Padahal pada penghujung Mei 2023 lalu Menko Polhukam Mahfud MD telah menegaskan, pemerintah tidak pernah minta maaf kepada PKI. Mahfud menjelaskan, yang dikatakan Presiden Jokowi dalam pidatonya adalah menyesal adanya pelanggaran HAM yang dilakukan PKI, dan bukan permintaan maaf. Itu saja. Hanya pers sekarang banyak yang hanya mengejer view meski harus membodohi rakyat. (Cantrik Metaram).

spot_img

Related Articles

spot_img

Latest Articles