
AUSTRALIA, Inggris, Kanada, dan Portugal, Minggu (21/9) resmi mengakui Negara Palestina yang 65.000 warganya tewas sejak bombardemen masif pada 8 Oktober 2023 hingga hari ini oleh Israel ke wilayah Gaza.
The New York Times dan AFP melaporkan, Senin (22/9), Perancis, Belgia, dan sejumlah negara lain diperkirakan segera menyusul pada Sidang Umum PBB pekan ini.
Langkah terbaru keempat negara tersebut menambah panjang daftar negara yang mengakui Palestina yang pertama kali diproklamasikan sepihak oleh pimpinan Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) pada 1988.
Namun, wilayah yang diklaim sebagai negara itu kini masih dikuasai Israel di Tepi Barat, sementara Gaza sebagian besar hancur akibat perang.
Saat ini, sekitar 3/4 anggota PBB atau sedikitnya 145 negara dari 193 anggota telah mengakui Palestina sebagai sebuah negara, termasuk dua negara anggota G-7 yang pertama kali melakukannya yakni Inggris dan Kanada.
Sejumlah negara: Perancis, Belgia, Luksemburg, dan Malta diperkirakan segera menyatakan pengakuan dalam pertemuan tingkat tinggi soal solusi dua negara yang dipimpin Perancis dan Arab Saudi di markas PBB, New York.
Selain itu, Rusia, seluruh negara Arab, hampir semua
negara Afrika dan Amerika Latin, serta sebagian besar negara Asia termasuk India dan China sudah lebih dulu masuk dalam daftar.
Aljazair yang pertama
Aljazair tercatat sebagai negara pertama yang mengakui Palestina pada 15 November 1988, hanya beberapa menit setelah Yasser Arafat memproklamasikan kemerdekaan Palestina.
Gelombang pengakuan kemudian mengalir pada akhir 1980-an, lalu kembali menguat pada 2010–2011. Sejak perang Gaza yang dipicu serangan Hamas ke Israel pada 7 Oktober 2023, tambahan 13 negara kembali menyatakan pengakuan.
Sebaliknya, menurut laporan AFP, sekitar 45 negara hingga kini masih menolak mengakui Palestina, termasuk Israel, Amerika Serikat, dan sekutu dekatnya.
Di Asia, Jepang, Korea Selatan, dan Singapura termasuk negara yang belum mengakui Negara Palestina. Begitu juga Kamerun di Afrika, Panama di Amerika Latin, serta sebagian besar negara Oseania.
Eropa menjadi kawasan yang paling terbelah, hampir 50:50 dalam isu ini. Hingga pertengahan 2010-an, pengakuan di Eropa umumnya terbatas pada Turkiye dan negara-negara bekas blok Soviet.
Sejumlah negara Eropa Timur seperti Hongaria dan Ceko bahkan tidak memberikan pengakuan bilateral, sementara Eropa Barat dan Utara sebelumnya kompak menolak, kecuali Swedia yang pada 2014 menjadi pelopor, berbalik badan.
Ubah peta diplomasi
Perang di Gaza mengubah peta diplomasi. Norwegia, Spanyol, Irlandia, dan Slovenia menyusul Swedia pada 2024. Inggris dan Portugal pun mengambil langkah sama pada September 2025.
Sementara Italia dan Jerman menegaskan tidak berencana mengakui Palestina.
Menurut pakar hukum internasional Universitas Aix-Marseille, Romain Le Boeuf, pengakuan Palestina adalah salah satu isu paling rumit dalam hukum internasional karena berada di antara ranah politik dan hukum.
Ia menjelaskan, setiap negara bebas menentukan waktu dan bentuk pengakuannya, baik secara eksplisit maupun implisit.
Namun, tidak ada lembaga resmi yang mencatat daftar negara pengaku. “Pengakuan tidak otomatis berarti sebuah negara tercipta, sama halnya dengan penolakan pengakuan yang tidak membatalkan keberadaan negara itu,” kata Le Boeuf kepada AFP.
Meski lebih banyak bermakna simbolis dan politis, 3/4 negara anggota PBB menilai Palestina sudah memenuhi semua syarat sebagai negara.
Profesor hukum internasional Philippe Sands dalam tulisannya di The New York Times pada Agustus 2025 menyebut, simbolisme ini justru punya dampak besar.
“Begitu Anda mengakui Palestina sebagai sebuah negara, maka Anda menempatkan Palestina dan Israel dalam kedudukan setara dalam perlakuan hukum internasional,” ujarnya.
Dengan kata lain, pengakuan negara bukan sekadar simbol politik, melainkan juga bisa menjadi titik balik dalam upaya menegakkan solusi dua negara yang sudah lama diperjuangkan di panggung diplomasi dunia.
Berpalingnya sebagian negara Barat yang sebelumnya berada di belakang Israel, membuat negara Yahudi itu terkuncil dari komunitas internaional. (NYT/AFP/kompas.com/ns)



