
HASIL Indonesia National Adolescent Mental Health Survei (I-NAMHS) 2022 seharusnya membuat para pemangku kepentingan prihatin, karena terungkap satu dari tiga remaja memiliki masalah kesehatan mental.
Jadi berdasarkan hasil I-NAMHS tersebut, sekitar 34,9 persen atau 15,5 juta remaja berusia 17 sampai 20 tahun dari total 44,41 juta remaja mengidap masalah kesehatan mental.
I-NAMHS juga mengungkap, satu dari 20 remaja (17 – 20 20 tahun) mengalami gangguan mental dalam 12 bulan terakhir ini berupa kecemasan (26,7 persen), hyperaktivitas (10,6 persen), depresi 5,3 persen dan stres pasca trauma (1, persen).
Selain itu, dari hasil I-MANHS juga terungkap, 67 persen pelajar SMA lebih suka curhat pad teman sebaya, mencari informasi di medsos daripada mendaangi layanan konseling.
Mengutip I-NAMHS, kompas.com (11/5) juga menyebutkan, sekitar 15,5 juta remaja atau 34,9 persen dari total populasi remaja di Indonesia.
Sementara itu, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) seperti dikutip kompas.com (11/5) mencatat, satu dari tujuh anak usia 10–19 tahun di dunia juga menghadapi gangguan serupa.
Kesehatan Mental Remaja
Psikolog Klinis Alifia Noor Laily Fauziah, M.Psi, Psikolog, menekankan, menjaga kesehatan mental remaja sama pentingnya dengan menjaga kesehatan fisik.
Kondisi mental yang stabil akan memengaruhi cara berpikir, pengendalian emosi, serta pengambilan keputusan sehari-hari.
“Mental yang sehat membuat pikiran menjadi jernih, emosi lebih terkontrol, dan aktivitas belajar pun bisa berjalan lebih optimal,” ujar Alifia saat dihubungi Kompas.com, Minggu (11/5).
Tak hanya itu, psikolog pemilik Rumah Konsultasi Hear to Heal ini juga membagikan tiga faktor penyebab yang berpengaruh pada gangguan kesehatan mental remaja.
“Lingkungan sosial berperan besar membentuk mental remaja. Ketika seorang remaja tumbuh di lingkungan yang mendukung, aman, dan penuh apresiasi, risiko stres atau tekanan psikologis jauh lebih kecil, “ ujarnya.
Sebaliknya, berada di lingkungan toksik, seperti relasi pertemanan yang tidak sehat, konflik keluarga, atau paparan komentar negatif di media sosial, dapat menjadi pemicu gangguan emosional hingga mental jangka panjang.
“Remaja sangat sensitif terhadap penilaian orang lain. Bila lingkungannya cenderung menghakimi atau tidak memberi ruang berkembang, mereka bisa merasa tidak berharga, cemas, bahkan menarik diri dari pergaulan,” jelas Alifia.
Keluarga, teman sebaya, dan media sosial jadi faktor utama Tiga aspek lingkungan sosial yang disebut paling memengaruhi kesehatan mental remaja adalah keluarga, teman sebaya, dan media sosial.
Komunikasi keluarga
Sementara itu, Alifia mengemukakan, di dalam keluarga, komunikasi yang terbuka dan empatik membantu remaja merasa didukung dan diterima.
Sebaliknya, pola asuh yang terlalu menekan atau abai pada perubahan emosional anak bisa memperburuk kondisi mentalnya, sedangkan di lingkungan sekolah dan pertemanan, kehadiran teman yang suportif dan tidak menghakimi dapat membangun kepercayaan diri.
Namun, tekanan dari kelompok sebaya seperti bullying, body shaming, atau persaingan akademik juga bisa menyebabkan stres berkepanjangan.
Menurut Alifia, medso menjadi bagian dari realitas sosial remaja yang tak terhindarkan. Aktivitas seperti membandingkan diri dengan orang lain, melihat standar kecantikan yang tidak realistis, atau menerima komentar negatif, bisa mengganggu citra diri dan kestabilan emosi.
Meski pengaruh lingkungan sangat kuat, Alifia menilai, remaja tetap bisa membekali diri dengan kemampuan mengelola respon terhadap tekanan sosial mencakup kesadaran emosi, mengenali stres, hingga belajar menyaring pengaruh eksternal.
“Lingkungan memang di luar kendali kita, tapi cara kita merespons lingkungan adalah hal yang bisa kita atur. Self control jadi kunci menjaga kesehatan mental,” ujarnya.
Cari Bantuan
Alifia, pada bagian lain menganjurkan remaja untuk tidak ragu mencari bantuan ketika mulai merasa kewalahan secara emosional, karena saat ini, layanan konseling dengan psikolog dapat diakses di sekolah dan puskesmas, maupun secara daring melalui platform tepercaya.
Ia juga menilai, peran orang dewasa sangat penting Ia juga mengatakan, untuk menciptakan lingkungan yang suportif, peran orangtua, guru, dan orang dewasa lain sangat krusial.
Kebiasaan mendengarkan tanpa menghakimi, memberi apresiasi, serta membuka ruang diskusi soal emosi, lanjutnya, bisa membuat remaja merasa dihargai.
“Membangun kesehatan mental remaja bukan hanya tugas individu, melainkan tanggung jawab kolektif seluruh elemen sosial, “ tutur Alifia.
Lingkungan yang sehat dan suportif adalah fondasi penting bagi remaja untuk tumbuh menjadi pribadi yang tangguh secara mental dan emosional.
Aksi tawuran pelajar yang tidak habis-habisnya, bully-membully dan tindak kekerasan lainnya yang merupakan anomali di lingkungan pendidikan perlu dikaji, lalu dilakukan aksi preventif dan kongkret secara lebih terpola dan sistematis. (I-NAMHS 2022/kompas.com/ns)