AWALNYA perang sarung hanya ada di daerah tertentu, sebuah hiburan kaum ABG menjelang sahur atau setelah salat subuh. Tetapi karena pengaruh medsos, perang sarung telah meluas di berbagai daerah. Celakanya, hiburan itu telah berubah jadi tawuran. Sebab mereka tak sekedar gebuk-gebukan pakai sarung yang dipilin, tapi dalam sarung itu diisi pula dengan batu. Keruan saja sangat membahayakan, sehingga di Solo, Kediri, Tangerang dan Jagakarsa (Jaksel); polisi terpaksa turun tangan mengamankan ABG-ABG badung itu.
Kita selama ini hanya kenal istilah perang mulut, perang bintang, perang urat syaraf dan perang-ai buruk. Jika dikaitkan sejarah, paling populer adalah: Perang Diponegoro, Perang Aceh, Perang Padri, Perang Kemerdekaan, atau Perang Bubat yang menyebabkan orang Jawa dan Sunda “berseteru” hingga kini gara-gara peperangan Majapahit dengan Pajajaran masalah putri Diah Pitaloka. Padahal Rieke Diah Pitalokanya sendiri sudah tenang jadi anggota DPR dari PDIP.
Adapun sarung, kita kenal dengan Sarung Jagung, nama gending ciptaan Ki Narto Sabdho dalang kondang dari Semarang. Paling populer adalah sarung sebagai pakaian untuk beribadah kalangan santri maupun murid pesantren. Tapi jika disebut “kaum sarungan” yang dimasudkan adalah kaum nadlizin atau Nahdatul Ulama. Tokoh-tokoh atau ulamanya selalu mengenakan sarung dalam keseharian. KH Makruf Amin misalnya, baru tidak mengenakan sarung ketika terpilih menjadi Wapres-nya Jokowi.
Belakangan yang sedang ramai di medsos adalah soal perang sarung antar ABG di berbagai daerah selama bulan Ramadan. Ada yang dilakukan bakda subuhan, ada pula yang digelar menjelang makan sahur. Padahal Pemda di berbagai kota sudah melarang kegiatan yang konon untuk menyemarakkan Ramadan, tapi pada akhirnya berekses ke tawuran. Ini kan bikin repot polisi.
Misalnya perang sarung di Jalan Durian, Jagakarsa, Jakarta Selatan pada Jumat, 24 Maret 2023 pukul 21.45 WIB. Dua kelompok remaja sambil berteriak-teriak saling serang menggunakan sarung yang ujungnya diisi batu. Berdasarkan laporan RW dan RT setempat, polisi membubarkan tawuran dan menangkap sebanyak 15 remaja. Mereka masih duduk di bangku SMP. Telah disita 8 unit gawai, 1 buah sangkur, 6 kunci sepeda motor, 3 sarung yang ujungnya diikat batu dan 8 unit sepeda motor.
Pada 25 Maret berikutnya Polresta Solo menangkap 14 remaja yang hendak perang sarung di perempatan Gading, Sabtu dini hari. Para ABG itu hendak beraksi pada sekitar pukul 02.45 WIB. Penangkapan 14 remaja oleh Tim Sparta itu menindaklanjuti aduan masyarakat melalui call center bahwa ada sekelompok pemuda hendak perang sarung di perempatan Gading.
Aksi perang sarung juga dilakukan sekelompok remaja di Kecamatan Cibodas dan Periuk, Kota Tangerang. Sebanyak 17 remaja ditangkap Guantibmas (Gangguan Ketertiban Masyarakat) ketika akan melakukan aksi tawuran menjelang sahur. Petugas menemukan sejumlah barang bukti berupa sarung yang dimodifikasi dengan diikat simpul pada bagian ujung sarung para pelaku. Sejumlah barang bukti diamankan berupa 11 unit sepeda motor, sejumlah sarung yang sudah dimodifikasi.
Menyusul kemudian di Kediri (Jatim), tepatnya Lapangan Kelurahan Bandar Kidul, Mojoroto, sebanyak 20 remaja diamankan. Mereka berurusan dengan polisi karena melakukan perang sarung secara massal. Awalnya ada 80-an remaja yang berteriak-teriak sambil baku hantam pakai sarung. Ketika polisi datang hanya 20 orang yang berhasil diringkus. Barang buktinya yaitu kendaraan roda dua, sejumlah sarung dan 13 HP.
Awalnya Jakarta, Tangerang, Solo, Kediri, tidak kenal perang sarung itu. Adanya baru di daerah Banyumas, tepatnya di Kecamatan Kedungbanteng. Misalnya anak-anak Desa Beji dan Brobosan, sepulang salat subuh di bulan Ramadan saling tantang dengan melempar mercon kecil. Begitu bersambut, puluhan anak dari dua kubu telah siap dengan “senjata” masing-masing berupa sarung yang dipilin sedemikian rupa.
Mereka “berperang” dengan ketawa-ketiwi, kadang terdengar suara mengaduh karena pukulan sarung itu kena telinga dan pedes juga rasanya. Ketika peperangan telah selesai tanpa diketahui siapa pemenang dan siapa yang kalah, sebelum pulang mereka saling bermaafan. Kata mereka, permainan ini menambah semangat melakukan ibadah puasa Ramadan.
Tapi ketika mulai dikenal medsos, permainan perang sarung itu masuk juga ke jagad maya, bahkan ada yang sengaja bikin konten begituan. Nah, akhirnya menyebar ke mana-mana. Permainan ini memang mudah dilakukan tidak perlu pakai kursus dan masuk diklat segala. Di berbagai daerah kini marak menjelang sahur terjadi perang sarung. Celakanya ada yang iseng mengisinya dengan batu di ujung sarung. Jika kena kepala tentu saja membahayakan. Bukan saja benjut, bahkan gegar otak. (Cantrik Metaram).
