SEBAGAI raja baru di Ngamarta, status Puntadewa memang masih perjaka tulen. Dibutuhkan segera seorang ibu negara, untuk menjadi pendamping sang raja, sekaligus menjadi Ketua Darma Wanita. Memangnya saat masih bernama Wijakangka, raja muda ini tak punya pacar? Pacar dari Hongkong, wong putra sulung almarhum Prabu Pandu ini takut perempuan. Dia memang susah bergaul dengan wanita, tapi pengin menggauli juga.
Bratasena dan Permadi kini sedang sibuk mencarikan jodoh buat kakaknya.. Berita koran yang menyebut bahwa putri Pancalaradya bernama Drupadi jadi rebutan sejumlah pelamar, menarik perhatian mereka. Ditilik dari fotonya yang banyak muncul di sampul majalah, perempuan idola para raja ini memang cantik dan seksi macam Syahrini, layak untuk pemuas syahwat.
”Kayaknya cocok ini buat kakak kita.” kata Harjuna sambil menyodorkan majalah itu pada Bratasena.
”Tapi selera nggak kangmas Puntadewa. Jangan sampai kewer-kewer mlaku ngalor, sudah diler gak disosor.” jawab Bratasena serius.
Harjuna dan Bratasena segera menghadap Prabu Puntadewa, sambil membawa contoh wajah perempuan idola yang jadi sampul majalah. Raja Amarta ini rupanya berminat juga. Tapi jika untuk mendapatkannya harus bertempur dan bertaruh nyawa melawan Patih Gandamana, rupanya dia trima prei. Maklum, seumur-umur tak pernah berkelahi, apa lagi berperang. Saat remaja Wijakangka memang anak rumahan.
”Yang ikut sayembara nanti kangmas Bratasena. Ibarat motor, STNK dan BPKB sudah kami persiapkan, kangmas tinggal nyemplak doang.” kata Permadi membujuk.
”Tapi sudah mencapai seribu kilometer sekalipun, tak boleh dibuat boncengan lho ya,” tambah Bratasena.
Aturan sayembara alap-alapan Drupadi memang lumayan lunak, karena peserta boleh mewakilkan pada pihak kedua. Yang penting melengkapi foto diri 4 X 6 sebanyak 3 lembar (warna), menyertakan uang jaminan Rp 50 juta dan SKCK rangkap tiga. Bila menang, langsung dinikahkan dengan Drupadi dan boleh diboyong. Tapi jika kalah, peserta resikonya bisa mati dan uang jaminan tak dikembalikan.
Begitu ringannya persyaratan sayembara, lumayan banyak pesertanya. Dari raja-raja muda, politisi Senayan, banyak yang ikut. Tapi karena Gandamana sebagai jago Pancala sangat sakti, banyak peserta yang tewas, banyak pula yang langsung resign begitu melihat tongkrongan si jago. Terpaksa uang jaminan hilang percuma.
”Nggak jadi maju Mas, gagal dapat Drupadi dong.” ledek para wartawan.
”Ah bodo amat, memangnya perempuan cuma Drupadi? Cewek-cewek SPG juga cakep kok,” kata sejumlah raja yang masih sayang umur.
Demikianlah, Patih Gandamana sebagai jago Pancala selalu di atas angin. Dia memang sakti luar biasa. Ajian miliknya lumayan banyak, dari Wungkal Bener, Blabak Pengantol-antol hingga Bandung Bondowoso lewat Pasuruan. Tak mengherankan Gandamana ini tahan bacokan, meski pakai sepatu mlecet.
”Kenapa Anda tak memiliki ajian Lembu Sekilan?” tanya pers sekali waktu.
”Takut nggak punya anak. Habis perasaan sudah masuk, nggak tahunya masih berjarak sekilan (sejengkal),” kata Patih Gandamana serius.
Demikianlah, sampai pada hari ke-7 sayembara, belum ada satupun yang mampu mengalahkan Gandamana, sehingga sayembara mau ditutup dengan resiko Drupadi bakal jadi perawan tua. Tapi di saat panggung sewaan untuk pertarungan mau dibongkar, unclug-unclug Permadi dan Bima datang untuk mendaftar dan menyerahkan uang jaminan Rp 50 juta.
”Kok pesertanya tak jalan sendiri, kenapa?” kata panitia menyelidik.
”Baru jadi saksi memberatkan sidang Buni Yani di Bandung.” jawab Permadi sekenanya.
Patih Gandamana yang sedang tidur siang karena kecapekan, dibangunkan. Sebetulnya dia males untuk melayani, karena melihat tongkrongan lawannya kurang meyakinkan. Tapi panitia menjelaskan, lawannya bukan Permadi, tapi yang satunya lagi, Bratasena. Melihat penampilan dan tongkrongannya, kontan patih yang merupakan adik kandung Prabu Drupada ini langsung setuju. Ini baru macan, katanya.
Bratasena dan Gandamana segera naik ring yang banyak dihiasi iklan pabrik rokok dan real estate Junikarta. Penonton kembali berkumpul menyaksikannya. Ternyata ini pertempuran yang seimbang. Gandamana dan Bratasena sama kuatnya, sama saktinya. Tapi setelah berlangsung dua jam, lama-lama Bratasena terdesak juga. Meski badannya tinggi dan besar, begitu mudahnya dilemparkan Gandamana hingga di luar ring. Krusukkkkk…….
Untuk mempersingkat pertempuran, Gandamana segera mencekik Bratasena hingga kehabisan napas. Tiba-tiba Bratasena meratap, dengan menyebut nama leluhurnya. ”Aduh rama Pandu, matik aku……!” Kata-kata itu mengingatkan Gandamana saat mengabdi Prabu Pandu di Ngastina, dia jadi tak tega membunuh Bratasena.
”Kamu anak almarhum Prabu Pandu dari Ngastina?” kata Gandamana sambil mengendorkan cekikannya.
”Memang iya. Memangnya kenapa?”
”Bilang dari tadi dong!” potong Gandamana agak marah.
Karena hormat dan sungkan pada ayah Bratasena, Gandamana menjadi lengah. Hal ini dimanfaatkan oleh Bratasena. Dia segera keluarkan kuku Pancanaka-nya dan disutusukkan ke perut Gandamana. Kontan anak Prabu Gandabayu ini ambruk mandi darah, nyawanya tinggal nyenen kemis.
Tapi Patih Gandamana tak menyesal, dia justru bangga ponakannya kelak akan menjadi istri raja keturunan Pandu. Sadar bahwa ajalnya hampir tiba, dia pun bermaksud menyerahkan segala ajiannya kepada Bratasena, daripada hilang percuma.
”Bayar nggak?” kata Bratasena lugu sekali.
”Ya enggaklah, masak sudah mau mati Gandamana masih mikirin duit?.”
Sambil tiduran di kanvas ring Patih Gandamana menyerahkan tiga ajiannya sekaligus: Wungkalbener, Bandung Bandawasa dan Blabak Pengantol-antol. Begitu semua ajian telah ditransver, makless……Patih Pancalaradya ini meninggalkan alam yang fana, demi kehormatan keponakannya, Drupadi.
Setelah pemakaman Gandamana di Sandiego Hills, Puntedewa segera ditelepon, untuk menerima langsung Drupadi sebagai pemenang sayembara. Setelah dinikahkan di KUA dengan biaya Rp 600.000,- transver ke bank, keluarga Pendawa Lima segera memboyong putri sulung Prabu Drupada ini ke Ngamarta. Untuk menghemat ongkos rombongan cukup naik pesawat Blekok Airlines.
”Sampai Ngamarta kirim surat ya ndhuk….” pesan Prabu Drupada saat pelepasan.
Tapi sampai dua jam menunggu, pesawat tak kunjung berangkat. Alasannya ada pendaratan pesawat kahyangan yang dinaiki Betara Guru. Sedewa wayang paling bawel segera ngetwit di medsos: masak dewa kahyangan minta pelayanan istimewa? Sedangkan dalangnya saja, ketinggalan pesawat masih bisa bilang: aku ra papa! (Ki Guna Watoncarita)