ALAP-ALAPAN SRIKANDI

Setelah dibujuk dan disemangati Patih Sengkuni, baru Pendita Durna berani mendekati Srikandi.

WAYANG paling apes di negeri Ngastina mungkin hanya Pendita Durna seorang. Bayangkan, dalam usia 70 tahun, tak juga menikah. Bukannya dia tak punya selera pada wanita, perempuannya saja yang selalu menolak. Mayoritas cewek memprediksi, lelaki tua biasanya sudah loyo dalam urusan ranjang. Ibarat bikin perapian orang mau masak, kayu susah “menyala” karena habis kehujanan. Dipaksakan masuk ke dalam tungku pun, hanya asepnya saja yang keluar. Mblebessss terus……

Hanya sekali Pendita Durna merasakan “surga”-nya kaum wanita, ketika dia “kumpul kuda” dengan Dewi Wilutama. Tapi setelah punya anak Aswatama, bidadari kahyangan itu dipulangkan ke rumah orangtuanya lantaran kasus KDRT. Selebihnya, Durna selalu gagal dan batal sewaktu memimpikan Setyaboma,  Rukmini. Dianya yang capek berjuang, malah Kresna raja Dwarawati yang berhasil nunggang.

“Wakne Gondel, ini ada putri cantik dari Pancala, mau nggak?” Patih Sengkuni membangkitkan semangat asmara Resi Kumbayana.

“Sudahlah, aku tak mau lagi menambah luka lama. Memang begini nasibku, mau apa? Di masa muda nggak bahagia, di hari tua banyak biaya….,” keluh Pendita Durna jadi puitis sekali.

Memang, belakangan Pendita Durna sering sakit vertigo, macam Ketua DPR. Untung saja biaya perawatan ditanggung negara lewat KNS (Kartu Ngastina Sehat). Karena itulah Patih Sengkuni menduga, penyakit Begawan Durna hanya sekedar dampak rasa kesepian yang mendalam. Maka dia berteori, bila Durna sudah punya istri kembali, niscaya akan kembali sehat, rosa-rosa macam Mbah Maridjan almarhum. Bagaimana nggak sehat? Lapar, ada yang masak. Kedinginan, selimut hidup sudah siap pakai.

Lantaran dimotivasi  terus oleh Sengkuni, lama-lama bangkit juga selera Durna. Di samping Srikandi ini cantiknya jaminan mutu lantaran mantan Putri Pancala 2015, dia juga kenal baik dengan ayahnya, Prabu Drupada. Dus karena itu, jika merujuk ilmu pendekatan kekerabatan, lamaran Pendita Durna ada peluang 99 %  untuk diterima. Prabu Drupada pasti tahu betapa karakter lurus Bambang Kumbayana di kala muda, karena dulu mereka sama-sama kuliah di Universitas Ngatasangin Beragama.

“Terima kasih atas saran-saranmu Di Cuni. Kali ini aku pasti sukses melamar Dewi Srikandi. Misalkan ceweknya menolak, dengan intervensi sang ayah, niscaya Srikandi bisa diintervensi sampai ke ranjang”, he he he…..,” ujar Durna berandai-andai.

“Woo, pendita rusak. Belum apa-apa kok mbayangin yang ngeres melulu.”

Pendita Durna segera melengkapi segala persyaratan melamar. Selain fotokopi ijazah terakhir, keterangan kelakuan baik dari Polres, foto diri 4 X 6 rangkap 5, juga bukti lunas PBB tahun 2017. Tiba di Pancala, langsung bertemu dengan Prabu Drupada. Namun ternyata tak ada fasilitas dan prioritas apa-apa. Durna tetap diminta menyerahkan berkas lamaran itu ke petugas Pansel Calman (Panitia Seleksi Calon Mantu).

“Kok foto wayangnya kali ini beda sekali?” panitia iseng-iseng bertanya.

“Oo, ini asli bikinan Kasidi, Jatisrono (Wonogiri), lebih antik,” jawab Durna.

Paling bikin Durna malu dan keki, ternyata Harjuna seorang anak muridnya, juga ikut dalam antrian memperebutkan Wara Srikandi. Melihat track record Permadi selama ini, Durna diam-diam juga merasa khawatir bila dirinya bakal hanya menjadi runer up saja, atau malah mungkin sekedar juara harapan.

“Permadi, sebaiknya kamu mundur saja ya. Silakan cari bini lewat situs nikahsiri.com saja. Nanti kamu saya kasih nilai bagus, biar bisa naik kelas.” Bujuk Pendita Durna berbisik-bisik.

“Ogah ah. Bapa Durna, saya rela tak naik kelas, yang penting naik Srikandi,” jawab Permadi seenaknya.

Ternyata, murid dan guru sama rusaknya. Tapi Durna hanya bisa mangkel saja, wong  sesama mitra koalisi kok susah diajak kompromi. Kenapa ya kelakuan murid satu ini kok jadi seperti PAN dalam kabinet Jokowi-JK di Indonesia? Mestinya dia nurut dan manut pada guru, kok malah selalu melawan dan berseberangan?

Kekecewaan Pendita Durna semakin lengkap, ketika segala persyaratan yang telah dipenuhi tersebut ternyata sekedar persyaratan awal. Masih ada yang lebih berat lagi. Kontestan calon nyoblos Srikandi harus mampu membangun Taman Maerakaca dalam tempo semalam. Proyek ini dulu pernah diserahkan pada M. Nazarudin. Tapi ternyata hanya diambil fee-nya, sedangkan pekerjaan tak diselesaikan alias mangkrak. Gara-gara kasus ini, Patih Gandamana terpaksa diskors karena dicurigai ikut makan “Apel Pancala”.

“Bagaimana Wakne Gondel? Masih berani ikut dalam sayembara? Siap jadi Sangkuriang?” tantang Patih Sengkuni.

“Siapa takut? Membangun Taman Maerakaca sih urusan kecil. Wong Taman Impian Jaya Ancol dulu juga hasil kerja saya,” jawab Durna asal-asalan. Namanya juga wayang abal-abal.

Demikian jumawanya Pendita Durna, meski belum pasti memboyong Srikandi, dia sudah mengerahkan petinggi Ngastina untuk hadir ke Pancala. Prabu Baladewa, Adipati Karno sudah didatangkan malam itu, karena asumsinya begitu proyek selesai pagi harinya langsung daup (menikah). Prabu Baladewa nantinya ditunjuk sebagai pemberi kata sambutan mewakili pengantin lelaki.

Pendita Durna dan Permadi berpacu dengan waktu. Durna yang terlalu pelit membayar buruh, pekerjaan menjadi demikian lelet. Mana ada, jaman sekarang kerja lembur malam hari hanya dibayar Rp 50.000,- Padahal mereka buruh dari RRT.

“Buruhnya pada mogok Pak, tak mau dibayar murah,” lapor Aswatama putra kandung begawan Sokalima.

“Duh, duh. Baru buruh Cina segitu mahalnya, apalagi seniman Buruh Sukarnoputra…..,” keluh Durna.

“Itu Guruh, Pak.”

Di kala Durna – Permadi bersaing memperebutkan Srikandi, munculah Prabu Supala oknum dari negeri Timbultaunan. Meski dia juga berminat pada sekar kedaton, tapi tak mau mengikuti prosedur resmi. Dia maunya main colong saja, dan kemudian dinikah siri di negerinya sana. Maka malam itu dia hanya mondar-mandir mencari-cari di mana tempat peraduan Srikandi tersebut.

Gagal menemukan tempat tidur Srikandi, dia malah menemukan lelaki tidur di kasur Palembang dengan menyanding pusaka Nenggala. Diam-diam diambilnya. Pindah kamar lain, kok malah menemukan Permadi juga tidur ngorok. Tahu bahwa dia adalah nominator pelamar Srikandi, langsung saja dibunuh dengan pusaka Nenggala, jusss! Prabu Supala langsung kabur. Dia kesal sekali, sudah jauh-jauh dari negerinya, kok gagal menemukan Srikandi.

Negeri Pancala di pagi hari geger, karena ditemukan Harjuna tewas dengan senjata Nenggala tertancap di dadanya. Werkudara marah besar. Langsung saja Prabu Baladewa pemilik Nenggala mau dieksekusi, karena berdasarkan bukti di lapangan, dialah pembunuhnya.

“Gila apa, aku mbunuh orang? Mbeleh pitik saja  nggak berani.” Protes Baladewa.

“Bodo amat. Yang jelas buktinya situ yang mbunuh adikku.”

Beruntung Prabu Kresna segera tiba. Werkudara diminta melepaskan Prabu Baladewa, dan dijamin Permadi hidup kembali lewat Kembang Cangkok Wijayamulya miliknya. Ketika Prabu Pancala hadir ke TKP untuk mengecek hasil sayembara, semuanya sudah rapi. Tak ada sama sekali bekas-bekas pembunuhan itu.

Dan ternyata, yang berhasil membangun Taman Maerakaca sesuai bestek hanya Harjuna. Sedangkan Durna gagal total karena buruhnya mogok kerja. Walhasil Dewi Srikandi diserahkan ke Permadi, dan Durna kembali ke Ngastrina dengan tangan hampa.

“Udah, kawin saja sama anak Pak RT, pasti dikasih,” ledek Sengkuni.

“Auah gelap……!” jawab Durna sewot.

Di Madukara Harjuna bersama para kawula merayakan keberhasilannya mempersunting Srikandi. Karena kondisi keuangan sedang nipis, bukan pesta-pesta sambil nanggap campursari, tapi cukup nonton bareng film lama “Pengkhianatan G.30.S/PKI”, atas izin dan pinjam kopinya dari Kodim. (Ki Guna Watoncarita)