DI BENUA Amerika sendiri saat ini sedang berlangsung dua musim ekstrim di mana sebagian Amerika Utara dingin dan banjir, sebaliknya Amerika Selatan justeru panas, sedangkan di Asia Timur, Jepang dan China turun salju tebal.
Di Chili, Amerika Selatan, suhu tinggi sampai 40 derajat Celcius diiringi angin kencang memicu kebakaran hutan yang diduga disengaja di kota pelabuhan Vina del Mar dan Valparaiso menewaskan 123 orang dan 370 korban hilang (6/2).
Presiden Chili Gabrel Boric mengumumkan hari berkabung nasional, Senin dan Selalasa lalu (5 dan 6 Feb.), sementara kebakaran di Fina Del Mar menghanguskan kebun raya berusia hampir seabad yang berlokasi di resor pantai yang merupakan salah satu destinasi wisata dan 14.000 bangunan.
Sebaliknya, sejumlah kota di pesisir barat Negara Bagian California seperti St Barbara, Los Angeles dan Oxnard diterjang banjir akibat fenomena sungai atmosfir yakni kumpulan titik air berbentuk memanjang di angkaa bak sungai yang menyebabkan hujan deras disertai angin kancang.
Banjir, menurut laporan media, berda pada level 4 atau teringgi dalam skala penghitungan bencana dan begitu lebatnya hujan, menurut Walikota Los Angeles Karen Bass, tinggi curah hujan sehari sama dengan sebulan.
Ilmuwan Iklim Universitas California, John Abatazoglou kepada harian NYT menyebutkan, variabel iklim bersamaan dengan dampak El Nino menjadi instrument utama orkestrasi terjadinya situasi ekstrim berdampak makin seringnya perubahan iklim.
Banjir di California yang etrjadi bersamaan dengan kebakaran di Chili, menurut dia, merupakan pertanda cuaca ekstrim dan dampaknya.
Kacaukan Pemudik
Perjalanan mudik penduduk China menjelang Imlek (10 Feb.) terganggu dan sebagian pemudik terjebak di atas antrian kendaraan di ruas-ruas jalan utama menuju kampung halaman mereka.
Di sepuluh provinsi saja, menurut laporan Beijing News, ada 129 ruas jalan yang harus ditutup karena tumpukan salju, dan kondisi terparah terjadi di Provinsi Hunan dan Hubei, China Tengah. Cuaca buruk diramalkan terjadi sampai beberapa hari ke depan.
Di Wuhan, ibu kota Prov Hubei yang dikenal sebagai awal pandemi Covid-19, bandaranya terpaksa ditutup karena diselimuti salju, sehingga calon penumpang urung terbang.
Pemprov Beijing jua harus menggelontorkan dana sampai 141 juta yuan (Rp312 miliar) untuk membersihkan salju yang menumpuk di jalan-jalan kota agar lalu-lintas bisa berjalan normal.
Sementara di Tokyo, Jepang, hujan lebat mengguyur metropolitan tersebut sejak Senin lalu, sehingga menghambat perjalanan darat dan udara, sera membuat aliran listrik padam.
BMKG Jepang menyebutkan, puncak hujan salju dengan ketebalan sampai 55 cm terjadi Senin lalu (5/2) terutama di wilayah pegunungan di utara Tokyo, sedangkan di Tokyo tinggi tumpukan salju hanya beberapa cm.
Sekitar 550 penumpang KA di jalur Yurikamome dilaporkan oleh NHK terjebak di antara dua stasiun sehingga mereka harus berjalan di tengah cuaca beku, sementara 100 penerbangan dibatalkan.
Badai salju juga mengakibatkan 14.000 bangunan rumah di Tokyo dan lima perfektur di sekitarnya mengalami pemadaman listrik. Badai salju juga menyerang Asia Timur seperti Jepang, China dan Korsel tahun lalu.
Perlu kajian lebih dalam penyebab cuaca ekstrim yang melanda bnua Amerika dan Asia guna memitigasi agar risiko bencana bisa ditekan serendah mungkin. (NS/kompas)