Di tengah perkembangan zaman, remaja di Indonesia menghadapi berbagai masalah kompleks yang kian marak. Berbagai laporan berita dan survei nasional menunjukkan bahwa masalah kesehatan mental, kenakalan, dan kecanduan digital telah menjadi isu utama yang mengkhawatirkan.
Menurut survei I-NAMHS, dilaporkan sekitar 15,5 juta remaja Indonesia mengalami setidaknya satu masalah kesehatan mental. Data ini menunjukkan bahwa sekitar 34,9% remaja (usia 10–17 tahun) menghadapi gangguan seperti depresi, kecemasan, stres pasca-trauma, masalah perilaku, hingga gangguan perhatian dan hiperaktivitas (ADHD).
Data ini mengindikasikan adanya tekanan emosional yang cukup besar di kalangan remaja. Di antara jenis masalah tersebut, gangguan kecemasan memiliki prevalensi yang paling tinggi (sekitar 3,7%), diikuti oleh depresi mayor (sekitar 1%), serta gangguan perilaku, prevalensi depresi pada kelompok anak muda (15–24 tahun) di Indonesia mencapai angka yang lebih tinggi dibandingkan kelompok usia lain.
Misalnya, terdapat laporan bahwa secara nasional prevalensi depresi untuk anak muda mencapai sekitar 2% .
Selain masalah kesehatan mental, telah teridentifikasi beberapa bentuk kenakalan remaja yang paling umum dari berbagai informasi dan berita akhir-akhir ini:
Tawuran antar pelajar:
Ini merupakan salah satu bentuk kenakalan yang paling mencolok. Laporan menunjukkan bahwa di beberapa kota, terutama di Jawa Barat, terjadi aksi tawuran yang bahkan melibatkan penggunaan senjata tajam. Kasus-kasus seperti ini sering kali merefleksikan konflik antar kelompok atau geng remaja, yang sempat mendapat perhatian dari aparat kepolisian.
Bolos sekolah:
Merupakan bentuk kenakalan yang sering terjadi dan berdampak pada penurunan prestasi akademik. Meskipun terlihat sebagai pelanggaran ringan dari sudut pandang disiplin, bolos sekolah merupakan indikator masalah motivasi dan kurangnya pengawasan yang lebih luas.
Penyalahgunaan narkoba dan alkohol:
Remaja yang terlibat dalam penyalahgunaan zat berbahaya ini merupakan salah satu masalah serius karena berpotensi menimbulkan dampak jangka panjang pada kesehatan fisik dan mental, serta sering terkait dengan lingkungan pergaulan yang berisiko.
Bullying atau perundungan di lingkungan sekolah maupun melalui media sosial—juga termasuk kenakalan yang sering ditemui, yang dapat menimbulkan dampak psikologis berat bagi korban .
Dari segi geografis, beberapa wilayah di Indonesia nampak lebih rawan terhadap permasalahan ini. Berbagai laporan menyebutkan bahwa provinsi Jawa Barat, terutama wilayah perkotaan seperti Bandung, mencatat angka kenakalan remaja yang tinggi.
Di wilayah tersebut, kasus tawuran dan tindakan kriminal di kalangan pelajar seringkali menjadi sorotan media, sementara kota-kota seperti Sukabumi, Kupang, dan Bogor juga dilaporkan menyaksikan peningkatan insiden kenakalan.
Kondisi ini diperparah oleh maraknya penggunaan media digital yang menyebabkan isolasi sosial sekaligus meningkatkan dinamika konflik antar kelompok—hal yang mengindikasikan bahwa masalah remaja tidak hanya bersifat individu tetapi juga mencerminkan dinamika sosial yang lebih luas.
Beberapa studi dan laporan mengidentifikasi penyebab utama problematika ini. Tekanan emosional yang tinggi di kalangan remaja dipicu oleh berbagai faktor.
Pertama, intensitas penggunaan internet dan media sosial yang ekstrem—dengan rata-rata waktu akses digital mencapai lebih dari 7 jam per hari—memicu kecanduan pada konten negatif dan game online. Data dari Digital 2025 Global Overview Report dan Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa anak-anak dan remaja menjadi konsumen aktif dunia maya, sehingga rentan mengalami perbandingan sosial yang berujung pada kecemasan dan depresi.
Kedua, faktor lingkungan seperti kurangnya dukungan dan pengawasan di rumah, tekanan akademik yang tinggi, serta pergaulan yang kurang sehat turut mendukung munculnya perilaku menyimpang. Studi telah menekankan bahwa pengalaman masa kecil yang tidak optimal—mulai dari kurangnya perhatian orang tua hingga kondisi ekonomi yang sulit—sangat memengaruhi kesehatan mental dan perkembangan karakter remaja.
Dalam menghadapi maraknya problematika tersebut, peran pemerintah, sekolah, dan orang tua sangat krusial. Pemerintah telah merespons dengan berbagai inisiatif, seperti peluncuran program Generasi Berencana (GenRe) yang bertujuan untuk membina remaja agar memiliki perencanaan hidup yang matang dan mengurangi tekanan emosional melalui layanan konseling serta hotline nasional. Di beberapa daerah, upaya intervensi melalui program pembinaan dan pendampingan juga terus ditingkatkan, meski masih menuai kontroversi apabila pendekatan yang diterapkan dianggap terlalu otoriter. Selain itu, sekolah dituntut untuk tidak semata-mata fokus pada aspek akademis saja, melainkan juga harus mampu memberikan dukungan psikososial melalui program pendidikan karakter, konseling, serta kerja sama dengan orang tua.
Kementerian Kesehatan sedang mempopulerkan Pertolongan Pertama Pada Luka Psikologis (P3LP) dengan cara memperbanyak First Aider di kalangan remaja agar mampu menagkap keresahan remaja yang mengalami pengalaman kejiwaan yang berat, diharapkan pada 2029 terbentuk minimal 10 juta First Aider di seluruh Indonesia dari berbagai kelompok, mulai dari pelajar, mahasiswa, lingkungan kerja maupun di lingkungan rumah.
Selain itu, Kemenkes juga sedang menggiatkan Program Pengasuhan Positif di kalangan orang tua dan pendidik agar mereka mempunyai kemampuan menyampaikan 6 pesan utama yaitu : bagaimana mengelola stress, mengelola emosi, komunikasi efektif, bersikap baik , pembagian peran dan disiplin positif.
Pendekatan yang bersifat otoriter—seperti mengirim remaja yang dianggap bermasalah ke barak militer—memang menuai kontroversi dan keberhasilannya tidaklah mutlak. Secara umum, pendekatan militeristik keras tanpa integrasi elemen pendukung—seperti konseling, rehabilitasi, dan keterlibatan keluarga—belum terbukti cukup efektif untuk mengatasi kenakalan remaja di Indonesia. Di sisi lain, jika dilakukan modifikasi yang membuat pendekatan tersebut lebih humanistik dan bersinergi dengan dukungan psikososial, maka ada potensi peningkatan keberhasilan.
Namun, secara keseluruhan, banyak ahli sepakat bahwa strategi intervensi yang bersifat holistik dan rehabilitatif lebih sesuai dengan konteks budaya dan dinamika perkembangan remaja di Indonesia.
Salah satu komponen kunci kebijakan pemerintah adalah memperkuat peran serta orang tua dalam menjaga kesehatan mental remaja, beberapa hal yang mereka perlu lakukan adalah:
Membangun Komunikasi Terbuka:
Orang tua diimbau untuk selalu membuka dialog dan menciptakan ruang yang aman bagi anak remaja mereka untuk mengekspresikan perasaan serta mengungkapkan masalah yang dialami.
Memantau Perilaku dan Penggunaan Teknologi:
Mengawasi kegiatan online, mengatur batasan waktu penggunaan internet dan game online, serta mengenali tanda-tanda kecanduan digital yang dapat memicu stres atau kecemasan.
Memberikan Dukungan Emosional:
Menjadi teladan dan memastikan anak remaja mereka mendapatkan dukungan emosional yang cukup, baik dari keluarga maupun lingkungan sekolah.
Komunikasi yang baik dengan para pendidik :
dengan komunikasi yang baik ini maka terjalin pertukaran informasi apa yang terjadi pada anak remaja mereka baik di sekolah maupun sekolah. Informasi yang sinkron antara orang tua dan guru kepada remaja sangat membantu.
Segera Mencari Bantuan Profesional:
Jika anak remaja mereka terdapat indikasi masalah seperti depresi, kecemasan, atau perubahan perilaku drastis, segera konsultasikan dengan psikolog atau tenaga kesehatan mental profesional.
Secara keseluruhan, masalah remaja di Indonesia merupakan cerminan dari tantangan zaman—mulai dari dampak digitalisasi, perubahan nilai sosial, hingga tekanan ekonomi dan akademis. Upaya kolaboratif antara pemerintah, institusi pendidikan, dan keluarga perlu terus ditingkatkan untuk mengidentifikasi akar permasalahan, menyediakan intervensi yang holistik, dan membangun lingkungan yang mendukung perkembangan serta kesehatan mental remaja agar mereka dapat tumbuh sebagai generasi penerus yang resilien dan produktif.