Saudaraku, dalam temaram pagi, saya sarapan soto di bandara, dalam perjalanan menuju Padang, menjadi pembicara dalam seminar tentang Perlawanan terhadap Nepotisme dalam Perspektif Sejarah.
Perlu diingatkan bahwa nepotisme, perlakuan istimewa tanpa rasionalitas terhadap suatu keluarga, menistakan jatidiri bangsa dan nilai-nilai demokrasi.
Karakter keindonesiaan dibentuk oleh semangat anti-feodalisme dan anti-kolonialisme dengan memperjuangkan egalitarinisme dan meritokrasi dalam kehidupan publik-politik.
Arus balik nepotisme di Indonesia saat ini, baik di tingkat pemerintahan pusat maupun daerah, sebagian merupakan cerminan dari lemahnya penerapan prinsip demokrasi. Sebagain lain menggambarkan fenomena “puncak gunung es” dari meluasnya kesenjangan sosial dalam masyarakat.
Adam Bellow, dalam In Praise of Nepotism (2003), menengarai bahwa gejala nepotisme menurun ketika terjadi perluasan kelas menengah yang menciutkan kesenjangan sosial, sebagai ikutan dari kebijakan rezim negara kesejahteraan. Sebaliknya, nepotisme cenderung menguat ketika lapis kelas menengah menipis yang meluaskan kesenjangan sosial, sebagai ikutan dari kebijakan rezim neoliberalisme.
Temuan Bellow tersebut mendapatkan peneguhan dari Paul Krugman dalam The Conscience of A Liberal (2007). Bahwa kesenjangan sosial yang lebar, menyusul dominasi pemerintahan konservatif yang mengusung neoliberalisme, merupakan katalis bagi gelombang pasang politik partisan dan politik pengkultusan.
Alhasil, gelombang pasang nepotisme harus dibaca dalam bentuk symptomatic reading. Secara kultural, nepotisme merupakan gambaran bahwa perubahan pada perangkat keras (prosedur) demokrasi, belum diikuti oleh perubahan pada perangkat lunak (budaya) politik.
Secara struktural, nepotisme merupakan pertanda bahwa demokrasi yang kita kembangkan hanyalah sebatas fashion pencitraan, ketimbang membawa perubahan fundamental secara substantif. Nepotisme merupakan penampakan secara telanjang dari kegagalan kita mengembangkan demokrasi politik dan demokrasi ekonomi.