ASWATAMA LAIR

0
1007
Mentang-mentang teman lama, Kumbayana ketemu Prabu Drupada langsung panggil nama kecilnya, Sucitraaaa!

KALAU mau, sebenarnya Bambang Kumbayana sudah hi­dup enak di Kerajaan Ngatasangin. Betapa tidak? Meskipun cuma lulusan SMEA partikelir, sebagai anak Prabu Baratmadya secara otomatis kelak akan menggantikan kedudukan sang ayah menjadi raja Ngatasangin.

Tapi rupanya Bambang Kumbayana memang berjiwa petualang. Dia ingin menemukan dirinya sendiri, dia ingin menjadi besar bukan karena figur bapaknya. Maka meskipun dilarang oleh Prabu Baratmadya, tetap saja Bambang Kumbayana ingin merantau ke Cempalareja. Ini setelah coba-coba jualan martabak niru putra Presiden Jokowi, tapi tidak laku karena rasanya ngalor ngidul nggak keruan.

“Jangankan cuma dilarang, dihalang-halangi pakai kawat berduri pun tetap gue terjang. Luka dan bisa kubawa berlari, hingga hilang pedih peri,” begitu Bambang Kumbayana mendadak berdeklamasi.

“Tapi jangan minta hidup seribu tahun lagi, Nak. Nanti kamu malah mati muda macam Chairil Anwar.” Tegur Prabu Drupada.

Dengan modal kartu kuning Kemnaker, surat jalan yang distempel Pak Lurah, kesatria muda berambut panjang macam penyair pencipta 2-3 puisi itu jadi juga pergi meninggalkan Istana Ngatasangin. Agar praktis di perjalanan dia sengaja membawa ransel saja, sementara uang bekal rantauannya juga cuma secukupnya. Tak lupa HP androide selalu siap di kantongnya.

Kenapa Bambang Kumbayana mau menyiksa diri seperti itu? Dia ingat betul, Sucitra sobat kentalnya yang kini menjadi raja di Cempalareja, waktu berangkat dari Ngatasangin dulu juga cuma bawa kantong bekas terigu saja. Tapi kini, boleh diacungin jempol. Sucitra berkat keuletannya berhasil usaha rumah petak seribu pintu. Bahkan menurut buku “Pokok & Tokoh” terbitan Bale Poestaka Batavia Centrum, Sucitra yang kini kawin dengan Dewi Gandawati itu telah menjadi raja Cempalareja bergelar Prabu Drupada.

Sekitar pukul 02.30 malam. Bambang Kumbayana baru turun dari KA Senja Utama Yogyakarta- Gambir. Dia buru-buru berangkat ke pelabuhan pakai ojek online untuk cari tiket Pelni ke Cempalareja. Celaka, karcis telah habis. Bambang Kum­bayana memang datang terlambat.

“Sialan, gara-gara  kehabisan tiket, perjalanan gua jadi kaco nih. Mau naik pesawat harganya masih mencekik leher….!” keluhnya sambil mengusap peluh di jidatnya.

“Daripada bengong, mari “mojok” dulu, murah Oom, cuma Rp 100.000,- kata salah seorang wayang tuna susila, membuyarkan lamunan Kumbayana.

Ini lagi, orang lagi pusing begini malah ditawari begituan. Kesal dan gondok benar-benar tumplek menjadi satu. Ah, seandainya kemarin dia naik KA Taksaka rasanya tak akan mengalami kejadian seperti ini. Tapi bagaimana lagi, di Ngatasangin KA tersebut tidak berhenti, sehingga mau tak mau Bambang Kumbayana naik KA  Senja Utama yang legendaris, karena dari tahun 1970-an sudah ada.

Bambang Kumbayana tertunduk lesu. Kalau malam itu juga tak bisa berangkat ke Cempalareja, berarti rencana pertemuannya dengan Prabu Drupada bisa berantakan. Raja mantan sahabat akrabnya itu sudah menjanjikan pertemuan besok siang pukul 12.00. “Saya cuma bisa menerimamu pukul 12.00. Sebab pukul 13.00 saya harus mimpin Gerakan Prona, bagi-bagi sertipikat untuk rakyat miskin,” kata Prabu Drupada dalam balasan suratnya tempo hari.

Bambang Kumbayana benar-benar ngeri. Bila gagal bertemu dengan Sucitra yang menjadi orang top di Cempalare­ja, pertanda bakal ngebelangsak nasibnya kelak di rantau orang. Memang, dengan koneksi temannya itu Kumbayana mengharapkan bisa memperoleh pekerjaan di rantau, sukur-sukur jadi staf khusus atau Jubir istana, nanti namanya ditambah jadi: Kumbayana Nyebelin.

Bambang Kumbayana tak melayani ajakan para WTS liar itu. Dia terus menghindar, karena-pikirannya memang tetap tertuju pada Sucitra sahabatnya di Cempalareja, termasuk segala program yang telah direncanakan. Sambil melamun itu perjalanan Kumbayana tanpa sengaja sampai ke Pantai Kalibaru!

“Wahai Dewa Yang Maha Agung. Tolong turunkan dong, makhluk yang bisa menyeberangkan saya ke Cempalareja. Kalau itu perempuan nanti akan saya peristri, bila lelaki akan saya jadikan kadang sinarawedi (saudarasejati)….!” kata Bambang Kumbayana pada akhirnya. Rupanya dia benar-benar sudah kepepet.

Para dewa yang sedang ngopi di Starbuck Kahyangan sana, rupanya mendengar keluh dan ratap sang kesatria muda. Terbukti tak lama kemudian dari angkasa, turunlah Kuda Sembrani (kuda bisa terbang) sambil terus meringkik. Jenis kelaminnya betina, dan tentu saja polos tidak pakai apa-apa!

“Wahai kuda terbang yang budiman.Kau ke sini atas sponsor pabrik cat, atau sengaja untuk menyeberangkan saya ke Cempalareja?” tanya Bambang Kumbayana menyelidik.

“Ssst! Jangan banyak tanya dulu, yang penting sekarang kita segera berangkat,” jawab Kuda Sembrani yang ternyata bisa tata jalma (berbicara) itu.

“Besok pagi dijamin sampai di Cempalareja, lho ya. Dan kamu nggak pakai argo kuda, kan?” tanya Kum­bayana lagi kelihatan bloonnya. Jaman taksi online kok tanya soal argo kuda.

“Beres. Biar cepat nanti kita nanti potong kompas saja,” jawab kuda sembrani kembali.

Dengan kecepatan 400 Km perjam, melesatlah Kuda Sembrani menuju Cempalareja. Kuatir terlepas di udara, sengaja Bambang Kumbayana berpegang leher kuda semakin erat. Tetapi lantaran pengaruh angin yang begitu kuat, lama-lama kedudukannya semakin mundur ke belakang, sehingga akhirnya Bambang Kumbayana bukan duduk pada punggung lagi, tetapi di daerah ekornya. Bersamaan dengan itu, kesadaran colon perantau muda ini juga mulai hilang. Di matanya yang dihadapi bukan lagi Kuda Sembra­ni, melainkan bidadari cantik dari Kahyangan.

Bambang Kumbayana menjadi demikian tergugah kelelakiannya. Merasa tak ada Hansip yang mengawasi, keduanya pun terbuai dalam rayuan asmara yang akhirnya dikunci dengan kegiatan lambangsari (komunikasi sambung raga). Walhasil, secara tak sadar Bambang Kumbayana dalam wisata udara itu terlibat kegiatan kumpul kuda.

Ketika mendarat di bumi Kerajaan Cempalareja esok paginya, ternyata Kuda Sembrani tersebut sudah dalam keadaan hamil tua. Sebelum sempat Bambang Kumbayana mengucapkan terima kasih, kuda itu melahirkan bayi wayang laki-laki. Bersamaan dengan itu Kuda Sembrani terus menghilang disusul oleh munculnya bidadari cantik dari Kahyangan.

“Ketahuilah Kakanda Kumbayana, adinda adalah Dewi Wilutama, penjelmaan Kuda Sembrani. Bayi itu adalah hasil cinta kasih kita bersama. Tolong dirawat baik-baik. Saya kembali ke Kahyangan….!” kata Dewi Wilutama sambil menghilang ke Kahyangan.

“Tunggu dulu! Ini bayi sudah diimunisasi apa saja?” Bambang Kumbayana mencoba bertanya tapi sudah tak ada jawaban.

Tinggal kini Bambang Kumbayana yang bengong seperti sapi ompong. Problim yang satu belum selesai, kini telah muncul pula persoalan berikutnya. Bagaimana tidak pusing, kerja belum dapat, sudah punya anak. Celaka tiga belas! Namun demikian Bambang Kumbayana semampunya merawat bayi yang terus menangis melengking-lengking itu.

Tapi masalahnva ini memang tak akan selesai dengan hanya disesali. Setelah bayi itu diberi nama Aswatama tanpa didaftar di Catatan Sipil, segera digendong dibawa pergi ke Cempalareja untuk menemui sahabatnya. Jam baru menunjukkan pukul 10.00 sehingga masih ada waktu cukup banyak untuk bertemu Prabu Drupada.

Kesialan lagi-lagi menghampiri Bambang Kumbayana. Dalam perjalanan menuju Istana Cempalareja, Metromini yang ditumpangi nyerempet becak. Kata penumpang, dulu becak sudah dihapus. Tapi gara-gara Prabu Drupada yang santun dan menjunjung tinggi keberpihakan, becak boleh beroperasi lagi. Akibatnya tiba di Istana Cempalareja, jam sudah menunjuk­kan pukul 12.30.

“Celaka, jadi terlambat nih gue kalau begini,” kata Kumbayana sambil buru-buru menghadap bagian resepsioinis.

Apa yang dicemaskan Bambang Kumbayana benar-benar terjadi. Bagian resepsionis menolak permintaannya menghadap Prabu Drupada, sebab sudah terlambat 30 menit dari waktu yang dijanjikan. Apalagi sang pendatang ini repot dengan bayi yang selalu menangis melengking-lengking.

“Maaf. Baginda sibuk, silakan Anda bikin permohonan untuk bertemu hari berikutnya. Dan segera bawa pergi itu bayi, sini bukan BKIA (Balai Kesehatan Ibu dan Anak)” ujar bagian resepsionis zaklek!

Bambang Kumbayana mati kutu. Walaupun dia telah mencoba menjelaskan masalahnya dengan berbagai cara, tetap saja ditolak. Dalam keputusasaannya itu, tiba-tiba dari jauh dia melihat Prabu Drupada keluar dari Istana dengan diiringi para pejabat. “Sucitra, Sucitra, saya datang nih….!” teriak Bambang Kumbayana lantang, dan tanpa sopan santun.

Prabu Drupada yang orang top itu, cuma dipanggil nama kecilnya saja. Memang, Kumbayana ingin menunjukkan betapa dia akrab dengan orang nomer satu di Cempalareja tersebut. Patih Gandamana, mendengar nama raja sesembahan-nya dijangkar begitu saja, jadi tersinggung dan marah sekali. Kumbayana dikejar dan dihajar, sampai-sampai bayi diam gendongannya terpental.

“Orang asing tak tahu sopan santun. Apa kau tak bisa memanggil dengan nama Prabu Drupada, haaaa?!” kata Patih Gandamana sengit sambil melepas swingnya.

“Athoooo….., mati gua!” teriak Kumbayana kesakitan.

Meskipun sudah berulangkali minta maaf, Patih Ganda­mana tetap menghajar Bambang Kumbayana tanpa ampun sampai babak belur. Tangan kiri kesatria muda itu dipatahkan, sementara hidung diputar sampai rusak. Ketika Prabu Drupada melerai penganiayaan itu, semuanya sudah terlambat. Tubuh Bambang Kumbayana yang dulu cakep seperti bintang film, sudah terlanjur berubah jadi pating pecothot.  (Ki Guna Watoncarita)

Advertisement div class="td-visible-desktop">