MUJUR benar nasib Pendita Durna, Sanghyang Temboro ternayata ada di rumah kluster Sela Mangumpeng. Heran juga dewa yang suka ngelawak kadang-kadang jorok itu. Soalnya baru sebulan lalu ke kahyangan kok sekarang sudah datang lagi. Mau minta senjata pitulung (bantuan) lagi nih? Paling-paling juga aji-aji lagi sebagaimana kunjungan tempo hari.
“Minta aji-aji lagi ya? Sudah kehabisan stok, yang ada tinggal aji mumpung. Itupun sudah banyak dipesan politisi ngercapada.” Ujar Sanghyang Tenmboro sebelum Begawan Durna mengutarakan maksud kedatangannya.
“Bukan itu Pukulun. Tapi ini saya dapat amanat dari anak Prabu Duryudana, menyampaikan undangan untuk Pukulun SBG, dalam acara TMK-100 minggu depan. Mohon diterima Pukulun…..” jawab Begawan Durna takzim.
“Jeneng kita itu Begawan, tapi kok ngobyek melulu. Tempo hari atas nama Pendawa lima, sekarang membantu Kurawa-100. Gede dong cuannya?”
“Ah pukulun bisa aja. Namanya jadi Begawan, pasti siap bantu siapa saja yang membutuhkan pertolongan.” Jawab Begawan Durna tersipu-sipu.
Dengan berbisik Sanghyang Temboro lalu bertanya, Capres Nasdem Tumenggung Anies Baswedan sudah ke Sokalima belum? Sambil tertawa kecil Begawan Durna menjawab bahwa sang Tumenggungnya baru muhibah ke Solo, ketemu Walikota Gibran Rakabuming yang sedang booming. Apa yang jadi topik pembicaraan tidak tahu, yang jelas belakangan Walikota muda itu banyak dikunjungi tokoh penting.
Demikianlah, berita perhelatan TMK-100 menjadi trending topic, tak terkecuali kubu Pendawa Lima. Mereka juga tengah menggelar pertemuan, persiapan mengikuti perhelatan akbar di negeri Ngastina. Tampak hadir pula Dewi Kunthi, ibu kandung Pendawa Lima. Tumben-tumbenan dilibatkan kali ini, padahal biasanya Dewi Kunthi jarang ditampilkan.
“Anak-anakku Pendawa Lima, kenapa aku harus ikut dalam perhelatan TMK-100. Bukankah itu acaranya Pendawa Lima dan Kurawa-100.” Ujar Dewi Kunthi.
“Untuk jaga-jaga saja, kanjeng ibu. Siapa tahu kehadiran ibu bisa memperberat timbangan keluarga Pendawa Lima. Kurawa 100 terdiri dari 100 wayang, sedangkan kita hanya 5 orang.” Jawab Prabu Puntadewa.
“Ealah, ceritanya pemain cadangan ta ini? Kok kayak sepak bola saja.”
Memang begitulah, sekedar untuk cadangan belaka. Jika mereka main urik-urikan (licik), kubu Pendawa juga siap mengimbanginya. Istilahnya Betawi, ente jual gue beli! Kelicikan dan kejahatan harus dilawan. Sebab jika dibiarkan mengikuti falsafah kuno wani ngalah luhur wekasane, ya bakal kalah beneran. Dalam arti negri Ngastina yang merupakan haknya akan hilang selamanya dengan cara yang sangat konyol.
Hari perhelatan akbar TMK-100 pun tiba. Alun-alun Tegal Kurusetra yang biasanya sepi, hanya menjadi tempat menggembalakan kerbau dan kambing, kini penuh ribuan orang. Yang pegang undangan selain dapat tempat duduk, juga dapat snack termasuk Akua gelasan. Adapun hidangan makan prasmanan khusus untuk para peserta TMK-100. Penonton yang tak bisa masuk alun-alun bisa lihat lewat tayangan video.
“Gila bener, masak yang jadi MC-nya Najwa Shihab. Top markotop deh.” Komentar penonton akar rumput yang tak dapat tempat duduk.
“Pakai kebaya Putri Solo lagi, jadi tambah cantik tuh. Biaya transver dari Trans-7 pasti mahal tuh.” Ujar penonton lainnya.
“Ya iyalah. Kalau mau murah MC-nya panggil saja Nunung Srimulat….”
Yang tak kalah menariknya, dewa dari kahyangan tampak pula hadir di panggung kehormatan, yakni patih Bethara Narada, dewa kahyangan yang bentuknya mirip Pulau Kalimantan itu. Sedianya yang diundang SBG alias Bethara Guru. Tapi beliaunya berhalangan hadir. Bukan karena sibuk di KTT G-20 Bali, melainkan setelah pandemi Corona mereda dia harus mengajar dengan system PTM (Pembelajaran Tatap Muka) seperti biasanya. Tak boleh lagi dengan PJJ (Pembelajaran Jarak Jauh). Yang nekad melanggar itu namanya bukan PJJ tapi pejajaran!
Tanpa harus memakai gerakan sejuta kebaya, atau sejuta surjan/beskapan, tampilan kongtingen Pendawa Lima dan Kurawa-100 sudah tampak njawani betul. Pendawa pakai surjan Yogyakarta dan Kurawa mengenakan beskapan Solo. Di dunia wayang yang berhak pakai jubah dan kethu hanyalah kalangan dewa dan begawan beserta resi.
MC Najwa Shihab pun mulai membuka acara dan menyampaikan jadwal acara yang disambung dengan sambutan pertama oleh Aswatama selaku Panpel TMK-100. Harap maklum, putra Sokalima ini tak pernah tampil bicara di depan umum, wong jadi Ketua RT saja belum pernah, sehingga sambutannya jadi pating pecotot.
“Para hadirin yang berbahaya…..!” kata Aswatama kali pertama, mau ngomong berbahagia jadi berbaya.
“Apanya yang berbahaya, memangnya ada kebakaran?” teriak penonton.
Makin grogi saja Aswatama, padahal sudah siapkan naskah. Tapi karena terus digiyaki (diolok-olok) penonton, tak semua teks dalam naskah terbaca. Banyak yang diloncati, intinya peserta timbangan terdapat 105 orang. Rinciannya Pendawa 5 orang dan Kurawa 100 orang.
Sambutan selanjutnya oleh Prabu Duryudana, yang sosoknya tinggi besar. Gaya pidatonya banyak dibumbui gerakan tangan, kadang-kadang ke dada. Pada intinya perhelatan TMK-100 itu adalah cara praktis dan ekonomis untuk menyelesaikan konflik negeri Ngastina. Ketimbang melalui Perang Baratayuda yang bakal mengorbankan banyak nyawa, ditempuhlah kebijakan yang bisa menyelamatkan peradaban.
“Jika sampai banyak anak bangsa tewas dalam peperangan, itu satu hal yang sangat memprihatinkan, Bapak dan Ibu sekalian….” Kata Prabu Duryudaana.
“Ah, dari tadi prihatin melulu. Tapi ya sudahlah, lanjutkan…..!” komentar salah seorang penonton. Dia langsung ngumpet ketika disamperi polisi.
Dan inilah sambutan paling ditunggu, wakil dari kahyangan Patih Bethara Narada atau Sanghyang Kanekaputra. Tapi nelum juga mulai ngomong, ada yang langsung nylekop (potong pembicaraan), “Brekencong, brekencong, waru doyong tegor nguwong.”
Tentu saja Patih Narada terkaget-kaget, itu gaya khas omongannya kok diambil penonton. Ternyata penonton di ngercapada itu banyak yang ndlodok tak tahu sopan santun.
“Tenang, tenang para hadirin dan jeneng kita sekalian. Ulun mau bicara sebentar. Harap tenang, jangan sampai ada wayang ngercapada ditangkap karena ujaran kebencian lho ya….!” Ujar Bethara Narada kesal, nadanya ancaman. (Ki Guna Watoncarita)
