BANJARAN DURNA (40)

Harjuna menuduh Jungkung Mardeya suka meraba-raba macam oknum kiyai di Jember.

ANDAIKAN bukan di negeri orang, Pendita Durna ingin nyampluk (tampar) mulut Patih Sengkuni yang selalu menyakitkan macam getah ingas (pohon beracun). Sadar posisisinya sebagai peserta sayembara, Begawan Durna mencoba diam meski dalam hati bilang, “Hiyoh, hiyoh. Tunggu besok setelah selesai sayembara dan aku jadi pemenang.”

Ya, Begawan Durna memang merasa dalam posisi strategis. Pertama, Prabu Drupada itu sahabatnya sejak di Ngatasangin dulu. Dua, keahliannya ilmu memanah nanti bisa terus diajarkan pada Srikandi yang hobi memanah, tapi tak pernah ikut PON. Walhasil, Prabu Drupada takkan rugi punya mantu Begawan Durna. Selain punya banyak ilmu, Begawan Durna ini meski sudah tua masih rosa-rosa macam Mbah Marijan.

“Tempel terus Bleh! Asyiiikkk….” Celetuk sepotong suara di pojok alun-alun., suaranya kecil melengking.

“Diem Lung, bikin kacau saja kamu!” suara lain lagi mengingatkan, nadanya berat dan suaranya besar.

Para penonton Srikandi belajar memanah pun kaget. Begawan Durna, Patih Sengkuni dan Harjuna sangat kenal dua suara tersebut. Ternyata mereka adalah Togog dan Bilung yang dikenal sebagai punakawan ratu sabrangan dari luar negeri. Karena di forum sayembara ini ratu sabrangannya adalah Prabu Jungkung Mardeya, patut diduga bahwa yang bawa ya Prabu Jungkung Mardeya sendiri.

Ibarat supporter bola, ternyata raja Parang Gubarjo ini membawa bonek (bondo nekad) sekelas Togog-Bilung. Berdasarkan jejak rekam selama ini, siapapun yang membawa punakawan Togog-Bilung pastilah ada niat yang tidak baik, punya agenda politik tersendiri. Bisa saja Prabu Jungkung Mardeya berbuat curang. Misalnya tahu-tahu Wara Srikandi dibawa kabur sebelum hari H sayembara. Kan bikin rugi para peserta yang lain.

“Harjuna, sini kau!” kata Pendita Durna memanggil Harjuna mantan muridnya.

“Ya bapa guru, ada apa gerangan?” jawab Harjuna sambil mendekat.

Selama melihat Wara Srikandi belajar memanah di alun-alun, sengaja Harjuna mengambil posisi jauh dari Begawan Durna. Soalnya dia merasa sungkan dengan pendita dari Sokalima ini. Bagaimana mungkin, dulunya mentor kok sekarang jadi competitor gara-gara nafsu yang ngodor (nafsu banget). Publik pun akan mempertanyakan, sebetulnya mantan si murid yang kebangetan, atau gurunya yang tidak tahu diri? Masa sudah bukan lagi remaja kok pada rebutan cewek.

Begawan Durna lalu memberi petunjuk pada Harjuna, bilamana terjadi sesuatu hal yang tak diinginkan oleh tindakan raja Parang Gubarjo, diminta Harjuna segera bertindak. Sebab dari sekian peserta sayembara, hanya Harjuna seorang yang paling muda. Lainnya sudah berusia oversek (lebih dari 50 tahun), sedangkan Harjuna baru 40 tahunan, usia yang sedang doyan-doyannya perempuan di masa puber kedua.

“Ya ini sekedar berjaga-jaga dalam kondisi darurat. Jangan sampai hal ini bikin malu calon mertua.” Kata Begawan Durna menasihati Harjuna.

“Bapa Durna kok main positip saja, seakan-akan bapa yang akan jadi pemenangnya.” Sindir Harjuna.

Begawan Durna tersipu-sipu, ketahuan aslinya, hanya mau enaknya saja, tapi ogah untuk berjuang. Namun demikian karena masih menghormati mantan gurunya, dia hanya bisa menyatakan: siap boss! Dan baginya, membereskan tokoh-tokoh macam Prabu Jungkung Mardeya terlalu mudah. Diyakini dia takkan macem-macem macam Gubernur Papua Lukas Enembe, mau ditangkap KPK masih banyak lagu. Padahal akhirnya berhasil juga diseret ke gedung Merah Putih, Jakarta.

Bukan hanya Pendita Durna Cs yang terkaget-kaget, Prabu Jungkung Mardeya malah kaget dua kali atas teriakan Bilung, punakawannya. Kenapa Togog-Bilung bisa masuk arena, padahal sudah diwanti-wanti jangan ke mana-mana, cukup ngendon di hotel saja. Ini kan bisa menggagalkan misi dan agenda tersembunyinya. Walhasil, ulah Bilung-Togog ini bikin raja Parang Gubarjo ini salting dan gagal fokus.

“Dasar bego! Suruh diam saja nggak bisa…!” omel Prabu Jungkung Mardeya.

“Bego gimana sih, namanya belajar memanah masa harus diam saja.” Protes Srikandi dengan masih pegang busur.

Rupanya terjadi salah paham! Prabu Jungkung Mardeya maksudnya sedang ngomeli Togog-Bilung, tapi Wara Srikandi yang tak tahu siapa itu punakawan pelatihnya, menganggap sedang mengomeli dirinya. Dia jadi tersinggung berat! Ayahnya sendiri Prabu Drupada yang kasih makan dari kecil tidak pernah mengomeli dirinya, lha kok ini orang baru kenal kok sudah kuwanen (terlalu berani) membully anak raja.

“Ya sudah, saya nggak mau belajar memanah sama sampeyan. Nggak belajar maneh juga nggak patheken….!” Jawab Wara Srikandi ketus.

“Bukan begitu maksudku adinda. Ini kesalahpahaman.” Kata raja Parang Gubarjo.

Busyet dah, sombong amat! Baru mengajari memanah saja, sudah berani menyebut adinda, macam doinya saja. Wara Srikandi segera membuang panah dan busurnya dan meninggalkan pelatihnya. Tapi Prabu Jungkung Mardeya terus mengejarnya. Terjadilah tarik menarik, mirip berantemnya Venna Melinda dengan Fery Irawan, tapi ini belum kelasnya KDRT.

Di mata penonton, terutama Begawan Durna dan Harjuna, mereka menduga raja Parang Gubarjo ini hendak kurang ajar pada Wara Srikandi. Katanya jadi instruktur panahan, tapi tangannya geratakan ke mana-mana, meraba-raba murid yang cantik nan seksi.

“Hayo Harjuna, cepat bertindak. Jangan sampai terjadi seperti kiyai cabul dari Jember!”

“Oke boss, Begawan Durna!” jawab Harjuna cepat dam sigap.

Dia segera menghambur ke tengah arena. Prabu Jungkung Mardeya yang sedang memburu Wara Srikandi langsung dijegal kakinya dan jatuh terjungkal. Baru mau bangun segera dihajar habis-habisan oleh Harjuna, sementara Wara Srikandi sudah kabur dan menyelinap kembali ke dalam istana.

“Sabar, sabar! Ini salah paham!” kata Prabu Jungkung Mardeya, mulutnya sudah berkecap cap bango.

“Salah paham apaan! Salah pegang-pegang memang iya. Dasar raja cabul….” omel Harjuna yang sebetulnya tidak tahu duduk dan berdirinya masalah.

(Ki Guna Watoncarita)