MEMANG begitulah karakter Patih Sengkuni, panas-panas tahi ayam, tapi ngakunya antitesa raja Dwarawati, Prabu Kresna. Awalnya semangat 45, belakangan lembek bin mleketrek. Dia ingin mendapatkan segala sesuatu secara instan tanpa melalui perjuangan. Contohnya, dia berhasil jadi patih Ngastina bukan karena prestasi, tapi lewat “koalisi perubahan” yang melibatkan Dewi Gendari, dan Prabu Destarata.
Namun demikian otak Haryo Suman –nama di kala muda– lumayan cerdas. Dia punya banyak akal, sehingga cenderung menjadi licik. Berani menghalalkan segala cara dan lari dari etika. Misalnya dengan Prabu Duryudana pernah bersepakat untuk besanan, yakni mengawinkan Sarjokesuma dengan anak Patih Sengkuni Dewi Antiwati. Meski ada perjanjian tertulis, eh…..tahu-tahu Antiwati malah dikawinkan dengan Patih Udawa. Ini setidaknya versi kidalang Hadi Sugito.
“Kalau Dhi Cuni sayang jabatan, ceraikan mantumu itu, sehingga janda Antiwati biar dikawin Sarjokesuma.” Saran Begawan Durna kala itu.
“Saya mendingan dipecat, ketimbang mengorbankan anakku.” Jawab Sengkuni.
Dan sebagaimana lakon “Sengkuni Tundung” sanggit (kreasi) Ki Hadi Sugito, pada akhirnya Patih Sengkuni dicopot dari jabatan patih Ngastina, dan pergi meninggalkan istana Plasajenar sebagai rumah dinasnya. Tapi itu hanya beberapa minggu, karena kemudian Gendari mengintervensi Prabu Duryudana dan Sengkuni pun kembali pada posisinya. Adapun Sarjokesuma belakangan malah mencoba mendekati Vena Melinda yang berpotensi cerai dengan Very Irawan.
Dan kini, Begawan Durna yang pernah memprovokasi Sengkuni untuk mundur dari jabatan patih Ngastina, justru sama-sama bersaing untuk memperebutkan Wara Srikandi. Tapi resign Sengkuni dalam revitalisasi Taman Maerakaca ini sangat menguntungkan dirinya, karena setidaknya pesaing makin berkurang. Maksudnya, tinggal Harjuna mantan muridnya dulu.
“Selamat Wakne Gondel, terus semangat berjuang demi Wara Srikandi.” Ujar Patih Sengkuni sambil menyalami Begawan Durna.
“Ini ikhlas dan tulus kan ya? Soalnya omongan politisi susah ditebak. Ngomong A, tujuannya B. Sedangkan ngomong B yang ditarget malah Z.” sindir Begawan Durna.
Patih Sengkuni tidak menjawab, pilih menghindar dan berteduh di bawah pohon asem. Sambil ngopi sasetan dia memperhatikan bagaimana Begawan Durna akan melancarkan jurus-jurusnya demi memenangkan sayembara mbangun Taman Maerakaca. Soalnya Patih Sengkuni kan tahu, sebagai pendidik atau guru di Perguruan Sokalima Beragama, Begawan Durna kebanyakan teori saja, praktek di lapangan nol. Persis Gubernur DKI yang sudah mantan.
Terlihat Begawan Durna kemudian pergi menuju ke pohon beringin growong yang banyak hantunya tersebut. Dia duduk lesehan seperti di Malioboro Yogya. Beda dengan Sengkuni, di tempat ini sama sekali dia tak dapat gangguan. Kena desir angin lembut sepoi-sepoi basah, Begawan Durna langsung tertidur. Padahal nawaitunya tadi untuk bersemedi, memanggil dewa koneksinya di kahyangan. Siapa tahu ada yang bisa bantu memenangkan sayembara.
“Diancuk! Wakne Gondel malah tidur. Bener-bener dia demit ora ndulit setan ora doyan.” Kata batin Patih Sengkuni.
Untuk ngetest Begawan Durna tidur atau sekedar rebahan, Patih Sengkuni melemparkan kerikil. Klothak……, tapi yang tengah tidur sama sekali tak terganggu, apa lagi sampai bangun. Akhirnya Patih Sengkuni keluar dari kompleks Taman Maerakaca dan melapor ke panitia bahwa mundur dari proyek revitalisasi Taman Maerakaca.
Sementara itu di negeri Cedi Prabu Supala menasihati adiknya, Supeli, yang berminat ikut sayembara Mbangun Taman Maerakaca. Usia sudah kepala empat, tak usah muluk-muluk nggayuh (bercita-cita) mempersunting Wara Srikandi. Mending kawin dengan bakul jamu gendong Yu Ngatemi saja, pasti langsung diterima. Beda dengan Wara Srikandi, di samping sudah telat, juga banyak pesaingnya yang lebih jago.
“Kalau kawin sama bakul jamu gendongan, dimas Supeli pasti langsung diterima. Mau pesta di gedung mana, saya siap jadi sponsornya.” Ujar Prabu Supala.
“Ogah! Saya tetap memilih Wara Srikandi melalui jalur independen.” Jawab Supeli yang tentu saja bikin kaget sang kakak. (Ki Guna Watoncarita).
