
ENTAH sampai kapan Mahkamah Agung dan badan-badan peradilan di bawahnya akan berkomitmen lebih tegas lagi membasmi ‘tikus-tikus’ yang berulang kali tanpa jera dan sudah “putus urat malunya” menggerogoti uang negara dan rakyat.
Para petinggi MA mestinya juga harus lebih paham, memberantas korupsi yang oleh Presiden Joko Widodo dinyatakan sebagai kejahatan luar biasa, harus all out dan “out of the box”, tidak bisa dilakukan dengan cara biasa-biasa saja.
Namun Juru Bicara MA Suhadi tetap berkilah dan mengaku institusinya sudah berupaya secara optimal mengawasi segenap jajaran, baik hakim mau pun panitera.
Jadi, menurut Suhadi, jika masih ada oknum hakim mau pun panitera pengadilan terlibat korupsi, itu adalah perbuatan perseorangan yang risikonya harus ditanggung sendiri.
Apa yang disampaikan Suhadi, secara normatif mungkin saja benar, tetapi jika semakin banyak oknum-oknum lembaga peradilan yang seharusnya berada di garda terdepan penegakan hukum malah terseret di pusaran arus korupsi, mau kemana negeri ini. Quo vadis!
Panitera yang terjerat korupsi: Plt Panitera Muda PN Bandung Ike Wijayanto divonis lima tahun (5/06/14) karena suap guna mempengaruhi gugatan Serikat Pekerja PT OI terkait PHK dan Panitera PTUN Medan Syamsir Yusfan (3/12/15) divonis tiga tahun karena menerima suap dari Gubernur Gatot Pujo Nugroho pada kasus pemenangan gugatan pengujian kewenangan Kejati Sumut.
Panitera PN Jakpus Edy Nasution divonis 5 tahun 6 bulan, menerima suap dari PT APA untuk pengurusan sejumlah perkara, sedangkan Panitera Pengganti PN Jakut Rohadi divonis tujuh tahun (8/12/16) , menerima suap pada kasus kesusilaan dan Panitera Pengganti PN Jakpus M Santoso divonis lima tahun, menerima suap pada kasus gugatan perdata, sementara Panitera Pengganti PN Jaksel Tarmizi (21/7/17) bersama dua advokat dan seorang Office Boy (OB) dicokok OTT KPK , diduga terlibat kasus rekayasa perkara .
Di bawah Ketua Pengadilan
Berdasarkan Peraturan MA No.7/2015, jabatan panitera yang langsung di bawah ketua pengadilan, baik di tingkat pertama, banding mau pun MA berfungsi sebagai pelaksana administratif perkara mulai dari pencatatan berkas dan pendaftaran, catatan pemeriksaan sidang sampai pengantaran berkas keputusan kepada pihak berperkara.
Panitera pengganti adalah jabatan fungsional yang diadakan mengingat hanya tersedia satu panitera di setiap pengadilan.
Liza Fahira, peneliti Lembaga Kajian dan Advokasi bagi Independensi Peradilan (LeIP) berpendapat, MA seharusnya tidak bisa menyederhanakan persoalan dengan menyebutkan, tertangkapnya sejumlah panitera pengadilan oleh KPK hanyalah kesalahan individu atau oknum.
“Pembenahan sistem diperlukan guna mencegah agar hal itu tidak terulang kembali, “ ujarnya.
Liza menilai, terjeratnya Tarmizi dalam OTT dalam kasus teranyar yang menimpa panitera Senin lalu bukan hanya karena menyangkut moral seseorang, tetapi karena banyaknya celah di dalam sistem pengadilan yang bisa dimanfaatkan aparat termasuk panitera.
Bahkan, menurut Liza, seorang OB atau pelayan antar berkas yang paham dengan lika-liku pengurusan perkara bisa memanfatkan celah yang ada.
Banyaknya kasus korupsi yang menimpa para penggawa hukum, seperti Ketua MA Akil Mochtar, anggota hakim agung MK Patrialis Akbar, sejumlah ketua pengadilan, hakim, jaksa dan panitera mestinya sudah cukup dijadikan alasan pembenahan total seluruh institusi pengadilan.
Tunggu apalagi lagi?
