Bela Bangsa, Perangi Korupsi

0
285
Ilustrasi/Ist

Mumpung belum tampak tanda-tanda adanya potensi ancaman serangan militer dari luar, Indonesia bisa fokus untuk memerangi musuh besar bangsa dan negara. Apa itu? praktek korupsi yang sudah merasuki seluruh sendi kehidupan negeri ini.

Kementerian Pertahanan telah mulai melaksanakan pembentukan kader bela negara dengan menyasar 100 juta kader dalam waktu 10 tahun. Pada tahun ini, setelah 200 kader pembina bela bangsa usai mengikuti latihan sebulan penuh, akan dibentuk 4.500 kader inti pelatih di 45 kabupaten dan kota.

Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu mengemukakan, program bela bangsa diamanatkan dalam Pasal 27 ayat 3 UUD 1945 yang menyebutkan, warga negara berhak dan wajib ikut dalam upaya pembelaan negara.
Kader bela negara, seperti disampaikan oleh Kepala Badan Pendidikan dan Pelatihan Kemenhan Mayjen TNI Hartind Asrin, saat mengikuti program latihan, akan memperoleh materi utama yakni dasar, inti dan tambahan.

Materi dasar berupa sejarah kebangsaan, kepemimpinan, sistem pertahanan semesta, penulisan laporan dan penyampaian instruksi. Materi inti berupa upaya meningkatkan cinta Tanah Air, kerelaan berkorban, sadar berbangsa dan bernegara serta meyakini Pancasila sebagai ideologi bangsa. Materi tambahan terkait kearifan lokal akan diisi sesuai kebutuhan setiap daerah.

“Tidak ada materi terkait kegiatan militer sama sekali. Cuma baris-berbaris,” ujarnya untuk meyakinkan munculnya kecurigaan, program bela negara merupakan metamorfosa bangkitnya militerisme.

Menurut catatan, Indonesia menganut konsep Perang Rakyat Semesta dengan melibatkan segenap komponen bangsa untuk membela dan mempertahankan tanah air dari ancaman dan serangan musuh.

Rujukan Perang Rakyat semesta adalah buku karangan Jenderal Abdul Haris Nasution berjudul Pokok-Pokok Perang Gerilya yang juga menjadi acuan sejumlah negara. Tentu saja konsep ini perlu direvisi penuh agar cocok dengan dinamika ancaman baru. Perang Rakyat Semesta yang lebih menitik beratkan pada perlawanan atau pertahanan secara fisik (simetris, konvensional) terhadap ancaman lawan agaknya sudah tidak relevan lagi. Ancaman saat ini bisa menjelma dalam berbagai bentuk serangan nonmiliter seperti serangan asyimetris, softpower, smartpower, proxy war, cyber warfare atau perang hybrida yang merupakan gabungannya.

Ancaman militer tentu saja masih ada, dan telah ditanggapi leh TNI dengan terus memodernisasi kekuatan perangnya menjadi Minimum Essential Forces, peningkatan profesionalitas prajurit, alih teknologi persenjataan dan perubahan doktrin pertempuran dari pasif menjadi aktif (Pre Emptive Strike).

Kehadiran teknologi mau tidak mau juga telah mengubah fungsi manusia sebagai kekuatan utama. Dalam Perang Korea dulu, Tiongkok memanfaatkan gelombang manusia untuk menyerang pasukan AS yang jumlahnya lebih kecil. Pasukan Vietkong tanpa memperhitungkan korban nyawa di pihaknya, berhasil mengalahkan AS yang memiliki persenjataan jauh lebih mutakhir, tetapi kalah dalam jumlah personil.

Sebaliknya, dari sejumah palagan pasca era-era tersebut, mulai dari Perang Enam Hari Arab-Israel (1967), Perang Teluk (1990 dan 2003) atau konflik di Suriah yang masih berlangsung, tampak keunggulan teknologi lebih berperan ketimbang jumlah pasukan.

Intinya, jika saja dalam kurun 10 tahun mendatang tercetak 100 juta kader bela bangsa yang dibekali materi dan kesadaran untuk memerangi praktek korupsi, diharapkan mereka, saat menekuni profesi apapun, menjadi garda terdepan dalam front pertempuran melawan korupsi.

Dicari, kader-kader bela bangsa untuk berperang melawan korupsi!

 

Advertisement div class="td-visible-desktop">