AMMAN—Jika di Indonesia kita dengan mudah mendapatkan menu berbuka puasa, tidak dengan pengungsi Suriah di Yordania. Mereka harus berjuang dengan keras untuk sekedar mendapat takjil.
Biasanya Ramadhan adalah momentum yang menyenangkan bagi Jamal Hilal. Pria paruh baya itu bisa bercengkrama dengan keluarga jelang berbuka. Tapi itu bertahun-tahun lalu, sebelum ia terusir dari negerinya, Suriah. Kini, ia harus berpikir keras mencari sesuap nasi untuk bisa disantap bersama keluarganya.
Jamal beserta keluarganya menempati kamp di Azraq, Yordania. Ia tiba sekira satu tahun lalu. Tapi karena tak tahan dengan suasana di kamp, ia melarikan diri, dan kini tinggal di seuah lingkungan miskin di bagian timur Amman, ibukota Yordania.
“Saya lari dari Kamp Azraq karena tidak ada listrik, dan kami harus berjalan lama untuk mendapatkan air,” katanya, dikisahkan kepada Al Jazeera.
Berbeda ketika tinggal di kamp, Jamal beserta keluarga tidak mendapat bantuan dari PBB. Ia pun harus berjuang sendiri. Ia sangat kesulitan mendapat obat-obatan untuk penyakit diabetesnya. Anak-anaknya pun terpaksa tak bisa mengenyam pendidikan. Istrinya Jamal, Nawal, yang memiliki gangguan suara dan pendengaran terpaksa harus mencari pekerjaan di luar rumah.
“Saya bekerja agar kami mampu membeli air minum dan membeli kebutuhan anak-anak gadis kami,” katanya Nawal.
Melalui hari tanpa bantuan dan pekerjaan tentu saja sangat sulit bagi Jamal sekeluarga yang hidup di perantauan. “Saya berharap dapat kembali ke Suriah dan meninggal di sana karena hidup di sini terlalu sulit.”
Beruntung, Jamal memiliki tetangga yang dermawan. Mereka kerap memberikan daging dan makanan lainnya untuk berbuka bagi keluarga Jamal. “Kami meminta, dunia memperhatikan para pengungsi Suriah,” kata Jamal. “Ada begitu banyak orang seperti saya dan ada orang-orang yang lebih buruk kondisinya. Kami hanya perlu uang untuk makan dan minum, itu saja.”