Berkebaya Sehari-hari

0
120
Ibu-ibu para pejabat tinggi negara, tumplek di Jl. Slamet Riyadi Solo dalam rangka memasyarakatkan kembali kebaya ala Putri Solo.

MEMPERINGATI Hari Batik Nasional 2 Oktober lalu, 3.000 wanita berkebaya tumplek di Jl. Slamet Riyadi, Solo. Mereka tampak cantik-cantik, apa lagi mereka bukan orang sembarangan. Ada Ibu Negara dan istri Wapres, istri para menteri, para gubernur dan bupati/walikota. Ini mengingatkan pada iklan Pilkita tahun 1960-an yang katanya: dahulu Gatutkaca hanya  satu, sekarang ada seribu. Dan kini berbalik: dulu Putri Solo hanya ada satu, sekarang ada tiga ribu!

Ya, Putri Solo yang menjadi ikon kota Surakarta karena kecantikannya saat berkebaya, sempat mengindonesia. Tapi sejak tahun 2000-an, terdesak oleh populasi wanita berjilbab, yang di tahun 1970-an hanya dikenakan oleh murid Mualimat NU dan Mualimat Muhammadiyah. Dulu murid PGA (Pendidikan Guru Agama) Putri pun hanya pakai kerudung, belum berjilbab seperti MAN (Madrasah Aliyah Negeri) sekarang.

Dari Loji Gandrung Ibu Negara Iriana berpesan dalam kesempatan itu, hendaknya berkebaya menjadi pakaian sehari-hari. Apa jawab ibu-ibu era milinial dan digital sekarang, “Ah ribet, harus ke salon dulu, paling tidak bayar Rp 50 ribu sampai Rp 100 ribu. Mending pakai jilbab, sekali sret sret…..sudah siap kondangan apa arisan!”

Ya, pakaian jilbab menjadi massif ternyata bukan karena keyakinan agama semata, ada juga karena pertimbangan praktis dan ekonomis. Dan makin ke sini, jilbab hanya menjadi sekedar mode. Ada juga yang karena sekedar untuk menutupi rambutnya yang sudah beruban, keriting atau bahkan botak. Ini sama persis orang pakai masker belakangan ini. Bukan hanya untuk jaga-jaga Covid-19, tapi juga untuk menutupi giginya yang ompong!

Jika karena alasan syar’i, mestinya bawahannya pakai gamis, sehingga bisa menyembunyikan bentuk tubuhnya yang gersang alias seger merangsang. Yang terjadi justru bawahan pakai celana jins ketat, sehingga pantatnya nampak njedit. Dan naudzu billah mindzalik, jaringan cewek online yang terbongkar di Aceh beberapa tahun lalu, ternyata hampir semuanya pakai jilbab. Ini kan sama saja atas kerudung tapi bawah warung!

Kini pemerintah bersama sejumlah negara lain sedang mendaftarkan kebaya sebagai warisan budaya dunia tak benda ke Unesco. Peringatan Hari Batik Nasional di Solo, tentunya tak lepas dari usaha kita ke Unesco. Kini mulai banyak gerakan untuk memasyarakatkan kebaya, agar jangan sampai dilupakan oleh generasi sekarang sebagai pewaris bangsa.

Jika para wanita beralasan berkebaya ribet dan tak ekonomis, apa perlu Menko PMK mensubsidi ibu berdandan lewat salon? Jika BBM saja rakyat disubsidi, apa salahnya ibu-ibu terima subsidi untuk berkebaya? Cuma dikhawatirkan, nantinya ibu-ibu yang nenteng tas Hermes seharga Rp 500 juta pun, masuk juga ke salon bersubsidi.

Mungkin subsidi ke salon kebaya hanya ilusi karena terlalu mengada-ada, tetapi tak bisa dibantah bahwa wanita berkebaya menjadi nampak lebih anggun dan cantik. Lagu langgam Jawa “Putri Sala” yang sangat legendaries dan tak diketahui siapa penciptanya, sungguh menggambarkan bagaimana putri Indonesia yang ideal.  Seakan-akan tipikal wanita Solo menjadi standar kecantikan orang Jawa.

Perhatikan lirik lagunya: Putri Solo dhasare kepara nyata, pancen pinter alelewa, dhasar putri Sala. Nganggo selendhang pelangi, semampir ana pundhake, cundhuke kembang melathi, dadi lan pantese. Lakune kaya macan luwe, sandhal jinjit pangrakite, kiyet-kiyet suwarane kerlap-kerlip berleyane, dhasar puti Sala. Putri Sala, yen ngguyu dhekik pipine ireng manis kulitane, dhasar Putri Solo.

Seperti iklan jadul, wanita biasa jadi istimewa karena pakai kebaya. Ini mengingatkan cerita almarhum teman penulis. Karena mau kondangan mantenan, istrinya lalu pergi ke salon. Satu jam kemudian istri kembali dengan pakai kebaya putri Solo. Dia bukan saja pangling, tapi langsung bangkit pula gairahnya. Istri pun langsung ditarik ke  kamar untuk menjalankan “sunah rosul” di siang hari. Berantakanlah pakaian kebaya Putri Solo-nya. Suami istri ini jadi batal kondangan, uang sumbangan atau buwuh pada akhirnya hanya dititipkan pada tetangga. (Cantrik Metaram)

Advertisement div class="td-visible-desktop">