spot_img

“Bisyaroh” Kok Rp 250 Juta

PRAKTEK jual-beli jabatan di Kemenag yang melibatkan Romahurmuziy eks Ketum PPP, kini tengah disidangkan di Pengadilan Tipokor, Jakarta. Terdakwa Haris Hasanudin yang “diorbitkan” menjadi Kakanwil Kemenag Jatim seumur jagung, dituntut Jaksa Penuntut Umum dengan hukuman penjara 3 tahun dan denda Rp 200 juta subsider 6 bulan. Duh, duh…..kasihan amat! Gara-gara “bisyaroh” Rp 250 juta, kariernya habis bahkan bakal masuk penjara pula!

Sebagai umat beragama, setiap menerima bantuan atau pertolongan orang wajib mengucapkan terima kasih. Sedari kecil usia balita, orangtua kita selalu mengajarkan seperti itu. Itu sebagai tanda penghargaan pada pihak lain yang telah mengorbankan waktu, dana, pikiran dan tenaga untuk memudahkan urusan kita. Sebagai makhluk sosial, hidup memang harus tolong menolong terhadap sesamanya.

Tapi harus diingat, kita ditolong si Fulan misalnya, tak ada jaminan suatu saat bisa ganti menolong dia. Bisa karena kita dalam posisi jadi orang yang harus ditolong terus, bisa juga si Fulan memang tak pernah dalam posisi yang perlu kita tolong. Maka dengan mengucapkan “terima kasih” atau “matur nuwun” agak impaslah kita membalas budi baik seseorang. Bukankah pepatah lama mengatakan, utang duit bisa dibayar, utang budi dibawa mati.

Haris Hasanudin yang waktu itu baru saja dilantik sebagai Kakanwil Kemenag Jatim, telah melakukan dengan baik. Kepada Romahurmuzy Ketum PPP, dia menyerahkan uang tunai Rp 250 juta sebagai tanda atau ucapan terima kasih. Berkat bantuan sang Ketum, dia berhasil menduduki jabatan bergengsi tingkat provinsi. Tak semua orang bisa memperoleh jabatan itu lho.

Tapi sebagai sarjana S3 Ilmu Keislaman IAIN Sunan Ampel Surabaya,  mustinya dan pasti, Haris Hasanudin tahu persis akan makna hadits: laknatullah ‘ala rosyi walmurtasyi (laknat Allah atas orang yang disuap dan menyuap). Jika ingat sejenak saja akan hadits tersebut, tak peduli siapa perawinya, niscaya Haris mikir dua kali untuk memberikan “duit enak” kepada eks Ketum PPP tersebut.

Celakanya, dia menganggap uang terimakasih bukanlah suap, tapi sekedar bisyaroh atau sebagaimana uang transpor yang lazim diterima guru ngaji. Karena pengertian tersebut, Haris juga tanpa ragu memberikan Rp 70 juta kepada Menag Lukman Hakim. Dia mungkin berlogika, jika suap tentunya sudah ada deal-deal sebelumnya, baik kepada Bung Rommy maupun Menag Lukman Hakim. Sedangkan ini kan tidak, sehingga misalkan tak diberikan pun tak mungkin keduanya akan minta atau menagihnya.

Tapi Haris Hasanudin lupa, bahwa kali ini dia  bukan lagi berhadapan dengan guru ngaji atau kiyai yang baru saja memberikan pengajian, melainkan pejabat negara dan Ketum parpol. Kepala Kanwil Kemenag Jatim seumur jagung itu juga lupa bahwa sebagai pejabat negara Menag dilarang KPK menerima gratifikasi. Bila ketahuan, resikonya bisa kena grafitasi bumi sehingga jatuh dari jabatannya, bahkan masuk penjara pula.

Pertanyaannya kemudian, andaikan Romahurmuziy bukan Ketum PPP dan Lukman Hakim bukan Menag yang punya kuasa mengatur-ngatur jabatannya, maukah Haris Hasanudin mengeluarkan “bisyaroh” dengan uang sebanyak itu? Tidak mungkin, kan?

Kalau sekedar memberikan tanda terima kasih, tentunya tidak seperti itu. Haris sebagai priyayi Jawa kelahiran Trenggalek, dan Romahurmuziy juga anak muda kelahiran Sleman Yogyakarta, masak lupa akan akar budayanya orang Jawa? Ingatkah pada orang-orang kampung Anda ketika mengucapkan terima kasih pada seseorang yang telah membantunya? Misalkan memasukkan anak ke SD, atau saat putranya diterima jadi pegawai honorer di kantor Pemda?

Para orang tua tidak perlu membawa uang berjut-jut. Cukup dibawakan gula, teh, kopi, atau beras beberapa beruk (takaran beras). Itu sudah cukup, yang diberinya pun pasti akan bilang, “Halah, kok le repot-repot ta Mas.” Tak mungkin sang dewa penolong itu ngegerundel sambil mengatakan, “Bangetan ah, wis dibantu ngaya-ngaya kok ming digawakake kaya ngene. Apa iki……!

Itulah kearifan lokal orang Jawa, habitat Anda sedari kecil. Dengan cara demikian, di samping tidak memberatkan si pemberi tanda terima kasih, juga takkan terkena sanksi gratifikasi. KPK juga tak bakal mengurusi hal-hal demikian. Bila masih dimasalahkan juga oleh Agus Raharjo Cs, nantinya pejabat habis didoakan orang pun bisa masuk penjara, karena doa juga dianggap sebagai gratifikasi. (Cantrik Metaram)

spot_img

Related Articles

spot_img

Latest Articles