BOLA SIGALA-GALA

Prabu Destarata ingin segera menyerahkan negri Ngastina ke Pendawa, karena sebel lihat kelakuan Jakapitana.

SEMENJAK Prabu Pandu meninggal di atas perut Dewi Madrim sebagai karma, kendali negeri Ngastina dipegang oleh Destarata kakak almarhum Pandu. Sayangnya, tokoh satu ini punya penyakit berhalangan tetap, buta tak mampu melihat apa-apa. Cuma soal duit jangan ditanya, Destarata mampu membedakan mana yang  ratusan merah dan mana pula yang lima puluh ribuan biru.

Sadar akan kelemahannya, Prabu Destarata dalam memerintah banyak bergantung pada Patih Sengkuni. Sebelum tanda tangan perizinan proyek, dia musti bertanya dulu pada Sengkuni, apa isi dan maksudnya. Di sinilah Sengkuni lalu bermain. Meskipun bertentangan dengan Garis Besar Haluan Raja, dia bilang aman-aman saja. Nah, izin pun keluar dan Sengkuni memperoleh imbalan 10 % dari nilai proyek. Maka jangan heran, baru setahun jadi patih dia sudah mampu bikin gedung pusat perdagangan Jenar Plaza.

“Kangmas Prabu, ananda Jakapitana bermaksud membangun gedung “Bola Sigala-gala” dengan anggaran Rp 1,3 trilyun, kira-kira setuju nggak?” tanya Patih Sengkuni sekali waktu.

“Jika gedung itu bernilai tambah untuk meningkatkan persepakbolaan nasional, apa salahnya. Kasih saja, gitu saja kok repot….,” kata Prabu Destarata.

Jakapitana adalah putra sulung Prabu Destarata. Sebagai “calon” pewaris tahta, diperkirakan sumber keuangannya tak terhingga.  Maka meskipun profesi sehari-harinya tak jelas, oleh masyarakat pecinta bola di Ngastina, dia didaulat jadi Ketua Umum Persatuan Sepak Bola Ngastina (PSBN). Ini sungguh jabatan bergengsi, karena dari lembaga ini pula nama Jakapitana bakal dikenal di dunia internasional, khususnya Federasi Sepakbola Seluruh Dunia (FSSD).

Yang lebih menguntungkan, dengan posisi sebagai Ketum PSBN tersebut Jakapitana mengelola anggaran dari APBN dan APBD. Dana itu mustinya untuk memajukan persepakbolaan di Ngastina, tapi sebagian besar malah masuk kantong Jakapitana sendiri, dan pengurus daerah (pengda). Uniknya saat mau diaudit oleh KPK, tidak bersedia. Bahkan Patih Sengkuni yang berusaha mengkritisi kepengurusan PSBN, diangkat jadi Sekretaris Umum. Nah, lantaran kecipratan rejeki pula, pada akhirnya Patih Sengkuni selalu mem-back up langkah sang kemenakan, meskipun salah.

“Paman Sengkuni,  ngurus bola itu nomer dua. Yang penting ngurus anggarannya, paham?” ujar Jakapitana.

“Akur, anakmas Jakapitana. Apapun langkahmu, saya dukung tanpa reserve,” kata Sengkuni sambil senyum dikulum.

Terus terang, PSBN bagi Jakapitana adalah lahan untuk membangun karier dan kekayaan. Soal bakal menjadi pewaris kerajaan Ngastina sepeninggal ayahnya, dia tak berharap banyak. Sebab menurut sejarawan Anwar Gonggong, tahta dan negara Ngastina hak mutlak anak-anak Pandu, yakni Puntadewa Cs. Makanya jika Pendawa Lima telah dewasa, tampuk negri Ngastina harus diserahkan padanya.

“Nah, jika negeri Ngastina diminta Pendawa, mau jadi apa aku ini? Kerja di pemerintahan mana diterima, wong skripsi sarjanaku hanya beli di perempatan Pramuka,” curhat Jakapitana pada sang Sekum Sengkuni Besel, karena hobinya memang terima besel (suap).

“Makanya anakmas Jakapitana, marilah kita berdoa sesuai kepercayaan masing-masing, agar kita-kita ini langgeng jadi pengurus PSBN sampek tua.” Tambah Patih Sengkuni mensuport semangat dan tekad sang keponakan.

Meski pembangunan gedung Bola Sigala-gala dikecam banyak LSM dan pengamat politik, pembangunan terus berlangsung. Tapi karena tekad Jakapitana sedari semula untuk mengeruk harta negara, dana efektif masuk proyek hanya sekitar Rp 750 miliar. Selebihnya masuk kantong pengurus PSBN, termasuk Sekum Sengkuni Besel. DPR telah memanggil Jakapitana – Sengkuni, tapi karena semua dapat “kepelan” ratusan juta, pada akhirnya juga diem seribu bahasa.

Bersamaan dengan itu, langkah-langkah Jakapitana sungguh membuat Prabu Destarata tidak nyaman. Lewat juru bisiknya, dia lama-lama juga tahu bahwa seringkali diplekotho (dibohongi) oleh patih Sengkuni. Meski buta mata, Destarata ini sebetulnya melek nuraninya. Maka dia sangat merasa berdosa atas langkahnya selama ini. Pada akhirnya dia ingin mengikuti prinsip Jusuf Kalla dari Indonesia, suksesi kerajaan Ngastina lebih cepat, itu lebih baik.

“Tolong Patih Sengkuni, suksesi negri ini pada Pendawa segera disiapkan. Pakai gedung Bola Sigala-gala yang belum selesai juga nggak papa,” kata Prabu Destarata.

“Tapi ingat Kangmas, jika negeri Ngastina diserahkan Pendawa, Sengkuni adikku dan Jakapitana anakmu bakal jadi apa?” ujar sang istri, Dewi Gendari.

“Haesss, prekkkk…..!” potong Destarata marah, karena istrinya juga ikutan jadi tukang kompor Cawang.

Bagi Jakapitana, soal suksesi kerajaan tak menjadi skala prioritas pemikirannya. Titik perhatiannya justru gejolak kawula Ngastina yang menolak kepemimpinannya di PSBN. Soalnya yaitu tadi, selama Jakapitana bercokol di PSBN, persepakbolaan nasional justru semakin jeblok. Boro-boro bisa ikut Piala Dunia, pada event-event Asia saja tak pernah dapat medali emas. Maka belakangan demo terjadi di mana-mana, menuntut Jaka Pitana dan Sengkuni  Besel yang bulukan jadi Sekum, harus hengkang dari PSBN.

Paling geregetan Jakapitana, ketika pecinta bola juga mempermasalahkan statusnya yang pernah jadi napi dalam kasus impor duwet. Maka dia benci benar pada Dubes Ngastina yang ditaruh di Ngatasangin, karena katanya Presiden FSSD di Ngatasangin juga melarang Jakapitana maju lagi pemilihan Ketum PSBN, gara-gara pernah terlibat kejahatan.

“Paman Sengkuni, tanpa PSBN kita tak jadi apa-apa lagi. Tapi jika Ngastina kembali pada Pendawa Lima, aku semakin tak punya apa-apa lagi. Maka paman, mongso borong (terserah) sampeyan mengaturnya. Jika PSBN lepas, Ngastina harus kita kuasai,” demikian instruksi Jakapitana yang mulai terpojok.

“Akurrrrrr! Yang penting, anak prabu tak pernah lupa akan perjuangan saya,” ujar Sengkuni kembali.

Patih Sengkuni yang ahli intrik dan pengembang  isyu, diam-diam mengumpulkan para para pakar bom buku, untuk mengirimkan buku-buku maut di gedung Bola Sigala-gala yang baru setengah jadi. Sengkuni tahu persis, anak-anak Pendawa Lima memang kutu buku semua. Di kala senggang mereka senang tenggelam di Perpustakaan Nasional Salemba, atau Pusat Bahasa Rawamangun.

Demikianlah, siang itu suksesi kerajaan Ngastina dari Destarata kepada Pendawa Lima hendak segera dilaksanakan. Wijakangka, Bima, Permadi, Pinten – Tangsen dan sang ibu Kunthi telah hadir. Jakapitana sebagai Ketua Panitia segera menyilakan Pendawa Lima ke kursi kehormatan. Sebelum acara dimulai, kepada mereka dibagikan “buku” tebal sebagai bacaan pengisi waktu.

“Di situ juga terselip panduan suksesi, anakmas Wijakangka….,” ujar Sengkuni.

Belum juga buku dibaca, tiba-tiba blarrrrrrr…..gedung Bola Sigala-gala meledak. Lampu mati, dan disusul lautan api. Geger segenap pengunjung. Dengan alasan macet, brandwir tak bisa tiba dengan segera. Lima jam berikutnya api baru bisa dipadamkan. Pada reruntuhan gedung Bola Sigala-gala ditemukan 6 jenazah. Tapi kata ahli forensik dr. Mukmin Idrus, ternyata mereka bukan Pendawa Lima, melainkan tukang ngamen biskota. Lalu ke mana Dewi Kunthi beserta ke-5 anaknya? (Ki Guna Watoncarita)