
SEJAK tahun 2012 tarif Transjakarta busway-nya DKI Jakarta tak pernah naik, maka kini PT Transjakarta selaku operatornya bermaksud menaikkannya, dari Rp 3.500,- menjadi Rp 5.000,- pada jam sibuk. Sedangkan bedug subuh ketika penumpang belum banyak dari Rp 2.000,- menjadi Rp 4.000,- Ironisnya, meski tarif itu tak pernah berubah sejak jaman “dinasti Ming”, ternyata banyak juga yang keberatan. Padahal, tarif Rp 5.000,- murah sekali. Sebab kalau mau, dengan hanya keluar ongkos Rp 5.000,- bisa menjelajahi seluruh wilayah DKI Jakarta sampai gempor.
Di era Gubernur Anies Baswedan (2017-2022) dikeluarkanlah kartu transportasi Jaklingko, sehingga pemegangnya bisa pula gunakan kartu tersebut untuk naik MRT dan KRL (kereta Comuterline). Tapi ketika mantan Gubernur DKI itu kini canangkan gerakan perubahan lewat pancapresannya, eh…..pendukungnya kok menolak perubahan tarif tiket Transjakarta? Pikir mereka, perubahan itu khusus untuk koalisi, bukan untuk tarif Transjakarta.
Para pengguna Transjakarta berhitung, jika gunakan busway sebulan (26 hari kerja) hanya keluarkan ongkos Rp 140.000,- saja. Tapi jika dinaikkan menjadi Rp 5.000,- sebulan harus merogoh kocek Rp 200.000,- Bagi orang kecil yang penghasilannya pas-pasan, panambahan ongkos sampai Rp 60.000,- sangat memberatkan. Tapi uniknya, beli pulsa paketan sampai Rp 100.000,- enteng saja.
PLT Gubernur Heru Budi Hartono meminta, PT Transjakarta jangan mengandalkan pendapatan dari tiket melulu, cari terobosan lain. Lalu apa terobosan untuk Transjakarta ini yang layak? Apa pedagang asongan dibolehkan masuk tapi bayar, atau bodi luar bis dipasangi poster-poster iklan? Paling masuk akal ya memanfaatkan bodi luar busway tersebut, sebab selama ini poster di body busway hanya propaganda agar warga DKI menjadi busway minded.
Sejak dirintis Gubernur Sutiyoso (1997-2007) pada 2004, kini Transjakarta memiliki 13 koridor dengan armada tidak kurang dari 4.000 unit hingga Juli 2020. Armada itu terdiri dari bus gandeng, bus tunggal, bus maxi, bus tingkat, bus sedang, ditambah bus listrik sebanyak 220 buah. Itu yang aktif beroperasi, yang sudah rongsokan nggak kehitung, tinggal dinego sama pemulung besi tua.
Penumpang Transjakarta pernah mencapai 264.032.780 orang pada tahun 2019. Tetapi gara-gara pandemi Covid-19 tahun 2020 menurun tinggal 126.845.277 orang dan tahun 2021 turun lagi sampai tinggal 98.882.818 orang. Karenanya jika pendapatan tahun 2019 mencapai Rp 672.148.292.788,- tahun 2020 tinggal Rp 280.277.306. 064,- dan tahun 2021 makin turun lagi menjadi Rp 173.740.536.049,-
Karena itulah pada April lalu pernah ada wacana untuk menaikkan tarif Transjakarta, menjadi Rp 5.000,- pada jam sibuk dan pukul 05:00 sampai pukul 07:00 Rp 4.000,- Ternyata banyak penolakan sampai DPRD-nya segala juga ikut bicara. Padahal jika tak dinaikkan, itu artinya PSO (Public Service Obligation) yang lebih banyak lagi, harus digelontorkan oleh Pemprov DKI. Padahal kocek DKI baru babak belur karena dipaksakan bayar fee untuk Formula-E sampai Rp 560 miliar.
Jika tarif tak jadi naik, dan PSO tak juga ditambah, lalu bagaimana harus menutup ketekoran Transjakarta? Apa subsidi untuk para manula (60 tahun ke atas) yang selama ini digratiskan? Ya janganlah. Biarkan mereka menikmati sisa-sisa umurnya dengan naik busway gratis di seantero wilayah DKI Jakarta, jika memang masih kuat. Atau subsidi untuk para penderita cacat yang dihapus? Ya janganlah…….
Sebetulnya banyak sekali warga DKI yang memperoleh layanan gratis naik Transjakarta. Selain manula dan penderita cacat, masih ada lagi yang lain, misalnya: 1. Pegawai Negeri Sipil Pemprov DKI Jakarta dan pensiunannya; 2. Tenaga Kontrak yang bekerja di Pemprov DKI; 3. Pemilik Kartu Jakarta Pintar (KJP); 4. Karyawan Swasta tertentu / Pekerja (Gaji sesuai UMP melalui Bank DKI); 5. Penghuni Rumah Susun Sederhana Sewa; 6. Tim Penggerak Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga; 7. Anggota Veteran Republik Indonesia; 8. Penerima Raskin (pemilik Kartu Keluarga Sejahtera); 9. Penduduk pemilik KTP Kepulauan Seribu; 10. Pengurus Masjid (Marbot); 11. Pendidik dan Tenaga kependidikan Anak Usia Dini (PAUD); 12. Juru Pemantau Jentik (Jumantik); 13. Anggota TNI/Polri.
Mereka ini harus memiliki TJ Card. Jumlahnya memang banyak sekali, sehingga dalam setahun bisa mencapai miliaran, dan itu ditanggung Pemprov DKI. (Cantrik Metaram).