Dana Desa menguap ke mana?

0
99
Sejak 2015 sudah lebih Rp400 triliun Dana Desa digelontorkan, namun penggunaannya tidak efektif, ada yang dikorup dan pengurusannya ruwet akibat hambatan birokrasi.

JIKA Dana Desa (DD) yang digelontorkan pemerintah pusat ke desa-desa sejak 2015 yang nilainya sudah mencapai Rp400 triliunan digunakan dengan benar, tentu semua desa dan warganya di seluruh Indonesia jauh lebih maju dan sejahtera.

Setelah satu dekade berlalu, tampak DD tidak digunakan semestinya untuk membangun desa dan menyejahterakan warganya, sebagian “bocor” di tangan perangkat kepala desa dan birokrasi di atasnya.

Bertujuan mempercepat pembangunan infrastruktur, meningkatkan kesejahteraan, dan mengurangi kemiskinan di tingkat desa, saat pertama kali diluncurkan, program DD dinilai sejumlah orang sebagai langkah revolusioner untuk memperkuat pembangunan desa.

Pada 2015, alokasi awal sebesar Rp 20,76 triliun, DD diberikan kepada  75.265 desa yang nilainya naik setiap tahunnya, mencapai Rp 72 triliun pada  2022 dan sedikit turun menjadi Rp 71 triliun pada 2024 akibat penyesuaian anggaran negara. Setap desa menerima sekitar Rp943 juta per tahun.

Data dari Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi menunjukkan bahwa selama satu dekade, DD telah digunakan untuk membangun lebih 200.000 km jalan desa, 1.200 jembatan, 22.000 unit sarana air bersih, dan ribuan fasilitas kesehatan serta pendidikan dan telah menciptakan lebih dari 4,2 juta lapangan kerja di pedesaan.

Namun, di balik pencapaian tersebut, terdapat realitas pahit yang sulit diabaikan, banyak proyek gagal, kualitas pembangunan buruk, dan dana yang tidak sampai kepada yang seharusnya menerima, akibat maraknya praktek korupsi dan dihambat birokrasi.

KPK menyebutkan, sejak 2015 hingga 2024, terdapat lebih dari 900 kasus korupsi terkait penggunaan DD yang diungkap, dengan nilai kerugian negara mencapai lebih dari Rp 1,5 triliun.

Modus operandi korupsi bervariasi, mulai dari penggelembungan anggaran proyek, proyek fiktif, hingga pemotongan dana oleh aparat desa dan pejabat daerah.

Salah satu kasus yang mencolok di Kab. Malang, Jawa Timur, di mana kepala desa dan perangkat desa lainnya terlibat dalam penggelapan dana desa sebesar Rp 2,4 miliar.

Uang yang seharusnya digunakan untuk membangun fasilitas kesehatan dan jalan desa, justru masuk ke kantong pribadi pejabat desa, sementara praktek korupsi diperparah dengan minimnya transparansi dalam pengelolaan dana. Di banyak desa, masyarakat tidak memiliki akses yang memadai terhadap informasi penggunaan DD.

Laporan keuangan desa sering kali tidak dipublikasikan atau hanya dipahami oleh segelintir orang, sehingga pengawasan oleh masyarakat hampir tidak ada.

Selain korupsi, birokrasi yang berbelit-belit juga menjadi penghambat besar dalam efektivitas Dana Desa. Banyak desa menghadapi kesulitan dalam proses pencairan dana akibat prosedur administratif yang kompleks dan lelet.

Kepala desa sering kali harus berhadapan dengan berbagai tingkatan birokrasi untuk mendapatkan dana, yang menyebabkan keterlambatan dalam pelaksanaan proyek.

Penelitian yang dilakukan oleh Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) pada 2023 menunjukkan bahwa sekitar 35 persen dana desa yang dialokasikan setiap tahunnya mengalami keterlambatan pencairan, yang mengakibatkan penundaan dalam proyek-proyek pembangunan.

Selain itu, birokrasi yang rumit juga menyebabkan alokasi dana sering kali tidak sesuai dengan kebutuhan nyata desa, sementara perencanaan lebih berfokus pada kepatuhan prosedural daripada pada kebutuhan masyarakat.

Akibat praktek korupsi dan birokrasi yang buruk, banyak proyek yang seharusnya membawa manfaat besar bagi masyarakat desa menjadi tidak efektif.

Infrastruktur yang dibangun sering kali berkualitas rendah dan tidak tahan lama, sehingga tidak memberikan dampak jangka panjang yang diharapkan.

Misalnya, jalan desa yang dibangun dengan DD di sejumlah daerah sering kali rusak hanya dalam beberapa bulan setelah pembangunannya.

Selain itu, pemberdayaan ekonomi desa yang seharusnya menjadi motor penggerak pembangunan desa justru tidak optimal.

Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) yang didirikan dengan dana desa banyak yang tidak berjalan sesuai harapan, bahkan ada yang hanya menjadi alat untuk kepentingan segelintir elite desa.

Masalah ini juga berdampak pada kepercayaan publik terhadap pemerintah. Banyak masyarakat desa yang awalnya berharap besar pada program Dana Desa, kini merasa kecewa karena dana yang diharapkan mampu meningkatkan kesejahteraan mereka, justru disalahgunakan atau tidak sampai kepada mereka.

Kepercayaan terhadap pemerintah desa dan pusat menurun, yang dapat berimplikasi pada partisipasi masyarakat dalam program-program pembangunan di masa mendatang.

Masalah penyunatan dan penyalahgunaan DD hanya salah satu dari setumpuk anomali dan penyimpangan yang harus dibereskan pemerintahan baru di bawah Presiden Prabowo Subianto nanti. (Kompas.cm/ns)

Advertisement div class="td-visible-desktop">

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here