Pada Hari Kesehatan Sedunia 2025, dunia mengusung tema dengan tema “Healthy Beginnings, Hopeful Futures” – “Awal yang Sehat, Masa Depan Penuh Harapan”, momentum ini mendorong seluruh pemangku kepentingan—pemerintah, tenaga kesehatan, dan masyarakat—untuk memperkuat layanan kesehatan perinatal secara holistik dalam memastikan akses kesehatan yang inklusif, berkualitas, dan berkelanjutan bagi setiap individu—terutama generasi muda. Dalam konteks ini, pencegahan disabilitas sejak dini menjadi fokus utama, mengingat dampaknya yang besar terhadap kualitas hidup anak-anak, keluarga, dan masyarakat.
Mengapa Pencegahan Disabilitas Penting?
Disabilitas yang dialami sejak lahir memengaruhi perkembangan fisik dan kognitif anak, dengan konsekuensi jangka panjang pada produktivitas dan kesejahteraan sosial. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa upaya pencegahan dari masa kehamilan, persalinan, hingga nifas dapat mengurangi beban sosial dan ekonomi, sekaligus membuka jalan bagi anak-anak untuk tumbuh secara optimal.
Berbagai studi global telah mengidentifikasi beberapa jenis disabilitas yang dapat dicegah melalui intervensi kesehatan yang tepat, penyebab disabilitas yang dapat dicegah antara lain:
Infeksi Maternal: Infeksi seperti rubella, sifilis, dan HIV berpotensi menyebabkan gangguan serius pada bayi, termasuk kebutaan, tuli, dan gangguan intelektual. Program imunisasi rubella telah terbukti secara signifikan mengurangi risiko kelainan bawaan akibat infeksi tersebut.
Cacat Tabung Saraf: Kekurangan asam folat pada ibu hamil merupakan salah satu penyebab utama cacat tabung saraf. Suplementasi asam folat dapat mengurangi risiko cacat tabung saraf hingga 70%.
Komplikasi Persalinan: Asfiksia lahir, yaitu kurangnya oksigen selama proses persalinan, merupakan penyebab utama cerebral palsy (CP). Akses terhadap pelayanan persalinan yang berkualitas dan penanganan resusitasi yang cepat serta tepat sangat penting untuk mencegah komplikasi ini.
Stunting: Stunting tidak hanya menghambat pertumbuhan fisik, tetapi juga memengaruhi perkembangan kognitif anak. Intervensi gizi yang optimal pada ibu hamil dan selama 1.000 hari pertama kehidupan anak dapat menurunkan risiko terjadinya stunting secara signifikan.
Data dari berbagai penelitian dan laporan kesehatan nasional menunjukkan bahwa asfiksia lahir masih menjadi tantangan besar dalam pelayanan kesehatan neonatal. Dalam dekade terakhir, prevalensi asfiksia lahir tercatat sekitar 25 kasus per 1.000 kelahiran hidup, dengan angka yang lebih tinggi pada bayi prematur. Kasus asfiksia berat merupakan penyebab utama cerebral palsy (CP) dan kematian neonatal, sehingga pelaksanaan metode resusitasi serta penyediaan fasilitas kesehatan yang memadai menjadi sangat krusial.
Cerebral palsy (CP) merupakan salah satu dampak jangka panjang dari komplikasi perinatal seperti asfiksia lahir. Di Indonesia, prevalensi CP diperkirakan berkisar antara 1 hingga 5 kasus per 1.000 kelahiran hidup. Dengan rata-rata empat juta kelahiran per tahun, ini berarti terdapat antara 4.000 hingga 20.000 kasus baru CP setiap tahunnya. Sebagian besar kasus CP disebabkan oleh komplikasi persalinan, di mana asfiksia lahir berperan signifikan.
CP merupakan gangguan perkembangan syaraf yang muncul akibat kerusakan otak non-progresif sejak masa bayi. Salah satu penyebab utamanya adalah asfiksia lahir—kekurangan oksigen (hipoksia) dan peningkatan karbon dioksida (hiperkapnia) pada saat persalinan. Kondisi ini memicu serangkaian kejadian biokimia, seperti peningkatan aktivitas enzim dan pembentukan radikal bebas, yang menyebabkan kerusakan pada sel-sel otak. Gangguan pada aliran darah juga mengakibatkan disfungsi pada jaringan syaraf di area korteks serebral, basal ganglia, dan serebelum, di mana fungsi motorik diatur. Kerusakan ini bersifat permanen dan menjadi dasar bagi munculnya gejala CP, seperti spastisitas, kelumpuhan, dan gangguan koordinasi serta keseimbangan.
Di Indonesia, terjadinya asfiksia lahir dipengaruhi oleh beragam faktor, antara lain:
Faktor Ibu: Kondisi medis seperti preeklamsia, hipertensi, serta komplikasi kehamilan yang tidak termonitor secara optimal meningkatkan risiko penurunan pasokan oksigen pada janin.
Faktor Persalinan: Persalinan yang lama, presentasi abnormal (misalnya, posisi bokong atau sungsang), serta penanganan persalinan yang kurang cepat dan efektif—termasuk prosedur sectio caesaria yang tidak optimal—berkontribusi terhadap kejadian asfiksia.
Faktor Janin: Bayi prematur, berat lahir rendah, atau adanya masalah pada tali pusat (seperti tali pusat melilit) turut menambah risiko.
Faktor Sistem Pelayanan Kesehatan: Keterbatasan fasilitas kesehatan di daerah terpencil dan lambatnya respons dalam situasi darurat neonatal menjadi faktor pendukung yang signifikan. Kurangnya kesiapan dan pelatihan tenaga kesehatan dalam penanganan situasi kritis sering kali menjadi penyebab utama kegagalan resusitasi pada momen kritis.
Data dan studi kasus dari berbagai rumah sakit di Indonesia terus menyoroti pentingnya peningkatan kualitas layanan kesehatan persalinan. Upaya perbaikan seperti penerapan pedoman nasional serta peningkatan keterampilan tenaga medis menjadi kunci untuk menurunkan angka kejadian asfiksia lahir dan dampaknya, termasuk CP.
Upaya Penanganan Cerebral Palsy
Selain pencegahan awal, pemerintah Indonesia juga telah mengembangkan program untuk menangani CP melalui pendekatan yang komprehensif:
Peningkatan Kualitas Pelayanan Persalinan:
Melalui program seperti Jaminan Persalinan (Jampersal), pemerintah meningkatkan akses pelayanan kesehatan antenatal, persalinan, dan nifas. Ibu hamil diwajibkan melakukan minimal enam kali kunjungan antenatal untuk mendeteksi risiko sejak dini, sehingga dapat dilakukan penanganan yang cepat saat terjadi komplikasi. Kualitas pelayanan persalinan sesuai standar melalui pelatihan dan sertifikasi nakes juga dilakukan.
Deteksi Dini dan Intervensi Terpadu:
Program skrining neonatus dilakukan untuk mendeteksi gangguan neuro-perkembangan sejak dini. Intervensi dini memungkinkan pemberian terapi medis dan rehabilitasi yang lebih efektif untuk mencegah perburukan kondisi.
Program Rehabilitasi dan Layanan Khusus:
Kerjasama lintas kementerian—seperti Kementerian Kesehatan dan Kementerian Sosial—telah menghasilkan pusat rehabilitasi dan pendidikan khusus bagi anak-anak dengan CP. Program-program ini menyediakan terapi fisik, terapi okupasi, dan dukungan psikososial untuk meningkatkan kemampuan motorik dan kualitas hidup anak.
Pengembangan Jaringan Layanan Terpadu:
Integrasi layanan kesehatan, pendidikan, dan sosial melalui program komunitas turut membantu pendampingan keluarga dan penyediaan alat bantu bagi anak dengan CP. Pendekatan interdisipliner ini memastikan penanganan CP tidak hanya bersifat medis, tetapi juga mendukung reintegrasi sosial dan edukatif.
Inovasi Teknologi dan Kemitraan Strategis:
Pemanfaatan teknologi modern dalam proses rehabilitasi, serta kerja sama dengan lembaga pendidikan dan komunitas internasional, mendorong peningkatan kualitas intervensi dan perawatan bagi anak-anak dengan CP.
Seruan untuk Bertindak
Pencegahan disabilitas—dari asfiksia lahir hingga CP—merupakan tantangan kompleks yang membutuhkan kolaborasi antara pemerintah, tenaga kesehatan, masyarakat, dan komunitas. Hari Kesehatan Sedunia 2025 mengajak semua pihak untuk bersama-sama meningkatkan upaya intervensi, memanfaatkan teknologi terkini, dan menerapkan praktik terbaik secara konsisten demi menciptakan masa depan yang sehat dan inklusif bagi semua anak bangsa.
Upaya mencegah asfiksia lahir dan menangani CP memerlukan sinergi antara kebijakan nasional, peningkatan kapasitas layanan kesehatan, dan kolaborasi lintas sektor. Dengan menerapkan standar pelayanan berkualitas, pelatihan tenaga medis yang terus ditingkatkan, serta penyediaan infrastruktur yang memadai, Indonesia menunjukkan komitmen nyata dalam mengurangi angka disabilitas pada bayi dan anak. (IP)
Dr Imran Pambudi, MPHM : Direktur Pelayanan Kesehatan Kelompok Rentan – Kemenkes