Darurat KDRT

0
200
ilustrasi/ist

KEMATIAN tragis empat anak di rumah kontrakan di Jagakarsa, Jakarta Selatan (Minggu, 3/12) diduga kuat akibat tindakan keji ayah kandung mereka (PD) hendaknya dijadikan peringatan, rumah dan rumah tangga bukan lagi tempat aman bagi perempuan dan anak.

PD yang ditemukan meringkuk di kamar mandi dengan sejumlah luka sayatan di perut, anggota tubuh dan kepala setelah gagal melakukan upaya bunuh diri, mengaku ia sendiri yang membekap satu persatu anaknya: Va (6), Sa (4), Aa (3) dan Ak (setahun) hingga ditemukan warga tewas (6/12) atau tiga hari setelah kejadian.

Ibu korban, DP yang juga mengalami KDRT oleh PD dengan luka lebam di sekujur tubuhnya dilarikan ke RSUD Pasar Minggu sejak  Sabtu (2/12), selang sehari sebelum keempat anaknya dibantai suaminya, PD.

Pelaku dapat dijerat Pasal 338 KUHP (tindakan pembunuhan) juncto Pasal 340 KUHP (pembunuhan berencana) dan UU Perlidungan Anak dengan ancaman hukuman seumur hidup atau hukuman mati.

Berdasarkan catatan pengaduan terhadap Komisi Nasional Perempuan 2023, 61 persen di antaranya (2.093 kasus) antara lain berupa kasus kekerasan terhadap isteri, sedangkan Lembaga Layanan dan Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung 2022 menerima 457.894 pengaduan, 339.782 di antaranya kasus berbasis jender.

KDRT merupakan kasus kekerasan di ranah personal berbasis jender, sering dilakukan orang yang dekat dengan korban dalam relasi personal seperti isteri atau anak yang mengakibatkan penderitaan fisik, seksual, psikologis, penelantaran dan bahkan berujung kematian.

Yang perlu disadarkan pada masyarakat, KDRT bukan ranah privat yang tidak boleh dicampuri pihak lain, sebaliknya, korban harus didorong untuk berani melapor dan lingkungan ketetanggan perlu memberikan dukungan dan perlindungan bagi korban.

UU No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga juga disebutkan panduan sejumlah perlindungan bagi korban seperti perlindungan sementara, perlindungan oleh kepolisian, lembaga sosial atau pihak lain 1 x 24 jam sejak laporan KDRT diterima.

Lebih rinci lagi, dalam salah satu pasal UU No. 23 disebutkan jika isteri yang jadi korban, perlindungan juga harus diberikan anggota keluarga yang rentan mengalami kekerasan yakni  anak.

Persoalannya, tidak banyak orang yang mengetahui adanya UU tersebut, sehingga ke depan, selain pemahaman terkait perlindungan terhadap KDRT, sanksi serta evaluasi menyeluruh untuk mencegah KDRT perlu dilakukan.

Sebagai contoh dalam kasus pembantaian empat anak tersebut, ibu korban (DP), saat dirawat, dari RS sudah meminta petugas babinsa untuk memeriksa kondisi keempat anaknya yang  tinggal serumah bersama pelaku.

Babinsa bersangkutan, menurut keterangan atasannya kemudian, sudah menyambangi rumah pelaku, namun tidak memeriksanya, lalu meninggalkan rumah itu dengan alasan tidak ada yang menyahut dari dalam.

Jika ia mencoba memaksa masuk, mungkin bersama-sama pengurus RT atau warga, tentu ia akan segera menemukan pelaku yang terluka karena berupaya bunuh diri dan empat korban lainnya, atau bahkan jika ia segera tiba sesuai permintaan ibu korban, mungkin nyawa mereka bisa diselamatkan.

Ke depannya, selain mekanisme rinci pencegahan KDRT serta evaluasi perlu dilakukan oleh setiap pengurus RT, RW dan juga lingkungan ketetanggaan, pengenaan sanksi bagi petugas (babinsa atau babinkamtibmas) yang abai atau lalai juga perlu dijatuhkan.

Advertisement div class="td-visible-desktop">