Dokter di pusaran perundungan

0
114
Puluhan tahun terjadi praktek perundungan dokter di program PPDS, baru diusut setelah viral pada kasus dugaan tewasnya dr. Aulia Risma Lestari (13/8).Pada kemana para pejabat?

IRONIS, profesi dokter yang seharusnya menyimbulkan sosok manusia berbudi luhur dan mulia, berpendidikan tinggi dan berkarakter, namun di negeri ini malah dicemari praktek perundungan, apalagi terhadap rekan sejawatnya.

Masih segar di ingatan publik, tewasnya dokter Aulia  Risma Lestari (30) di kamar kosnya di Semarang (12/8) diduga bunuh diri akibat  perundungan oleh para seniornya selama menjalani Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Anastesi di Universitas Diponegoro, Semarang.

Tim penyidik dari kepolisian sejauh ini masih belum menyimpulkan dan sedang mencari bukti terjadinya aksi perundungan pada dokter Aulia.

Tragisnya, ayah dokter Aulia, Muhammad Fakhruri (65)  yang sempat mengikuti pemakaman anaknya, menyusul berpulang 16 hari kemudian, kemungkinan mengalami depresi akibat kehilangan puteri kesayangannya itu.

Menkes Budi Gunadi Sadikin sendiri langsung memerintahkan penelusuran dugaan kakus perundungan ini walau pihak Undip sendiri agaknya berupaya menutup-nutupinya dan langsung menepis dugaan itu.

Bahkan kemenkes juga mensinyalir, kasus-kasus perundungan terhadap peserta program pendidikan dokter spesialis (PPDS) sebagian besar terjadi di rumah sakit (RS) vertikal yang dikelolanya.

Setelah kejadian itu, seperti pengakuan Kabiro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kemenkes, dr. Siti Nadia Tarmidzi, pihaknya   sudah menerima 356 pengaduan kasus dugaan perundungan,  sebagian besar terjadi di lingkungan PPDS.

220 kasus di RS Vertikal

Dari jumlah pengaduan itu, lanjut Nadia, sebanyak 220 laporan kasus dugaan perundungan terjadi di RS  vertikal di bawah pengelolaan kemenkes yang dijadikan salah satu wahana pendidikan bagi dokter spesialis.

“Hampir di seluruh RS vertikal yang menjadi wahana pendidikan PPDS sudah dilaporkan, ada peserta pendidikan dokter spesialis yang mengalami perundungan,” kata Nadia.

Nadia bahkan menyebut a.l. RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung, RSUP Dr. Kariadi Semarang, sejumlah RS  di Manado, Medan, Makassar, Padang, sampai Palembang yang terindikasi terjadi perundungan terhadap dokter peserta PPDS.

Bentuk-bentuk perundungan yang dilaporkan, kata Nadia, umumnya berupa tindakan non-verbal dan non-fisik termasuk  pungli biaya pendidikan, sampai jam kerja yang melebihi dari seharusnya.

“Lainnya meskipun bentuknya kecil adalah perundungan dalam bentuk verbal dengan memanggil dengan istilah-istilah ataupun juga dengan sebutan sebutan yang tidak pantas,” ucap Nadia.

Alm. dokter Aulia sendiri, dari catatan di buku hariannya, selain mengalami beban kerja di luar aturan (sampai 12 jam), juga dilarang membawa minuman saat bertugas, dan tengah malam dibangunkan, dimintai dokter senior menyediakan makanan atas biaya pribadi atau membelikan rokok.

Undip mengancam akan mengeluarkan oknum yang terlibat perundungan pada program PPDS, sementara Dekan FK Undip Yan Wisnu diberhentikan sebagai dokter spesialis onkologi di RS Dr. Kariadi.

Wakil Rektor IV Undip, Wijayanto mengatakan, dalam kasus PPDS Undip sudah melakukan investigasi internal selain juga terbuka dengan hasil investigasi dari pihak luar,  baik kepolisian maupun Kemenkes.

“Hukuman pertama berupa penutupan Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Undip,” imbuh dia.  Hukuman ini tentu saja merugikan 80-an mahasiswa PPDS lainnya.

KEK IDI

Dalam Kode Etik Kedokteran IDI jelas disebutkan dalam pasal-pasalnya a.l. setiap dokter wajib menjunjung tinggi, menghayati dan mengamalkan sumpah dan atau janji dokter, dan terhadap teman sejawat, setiap dokter harus memperlakukan  sebagaimana ia sendiri ingin diperlakukan.Top of Form

Setelah berita ini viral, baru mulai ada dokter yang berani berbicara tentang perlakuan buruk yang merka alami saat menjalani program PPDS.

Salah satu dokter program PPDS dr. Marcelius yang pernah menjalani PPDS pada 2020 dan memutuskan resign pada 2022 kepada TV One (27/8) mengaku  mendapat kekerasan fisik hingga verbal.

Saat menjalani PPDS di semester 1, Ia bahkan mengalami sejumlah kekerasan fisik seperti dipukul, ditendang, ditampar hingga mendapat lemparan botol didepan pasien dan perawat.

Entah pada kemana para pejabat kemenkes selama ini, hingga praktek perundungan yang telah berlangsung puluhan tahun tidak pernah ada yang tau, apalagi berusaha mencegah atau menghentikannya.

Jika kematian dr. Aulia tidak diviralkan di media, kasus-kasus perundungan di kalangan dokter program PPDS agaknya bakal terus berlanjut.

Dokter sejatinya adalah profesi yang luhur dan mulia, sosok yang bisa membuat orang sakit menjadi sehat, kok malah tampil bak monster yang destruktif, primitif dan brutal, terhadap rekan sejawatnya lagi. Quo vadis!

 

 

 

Advertisement div class="td-visible-desktop">

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here