PIHAK Israel dan Hizbullah saling tuduh melanggar kesepakatan gencatan senjata yang dimediasi oleh Amerika Serikat dan Perancis yang baru disepakati, Rabu (27/11).
Militer Israel (IDF) mengeklaim, telah melancarkan serangan udara terhadap fasilitas Hizbullah di Lebanon selatan yang digunakan untuk menyimpan roket jarak menengah, Kamis (28/11).
IDF juga mengaku telah menembaki sejumlah orang yang berkendara di beberapa wilayah zona selatan negerinya, karena g dianggap melanggar perjanjian gencatan senjata yang diulai Rabu pukul 04.00 dinihari waktu setempat..
Sebaliknya, anggota parlemen Hizbullah, Hassan Fadlallah, menuduh Israel melanggar gencatan senjata dengan menyerang warga yang kembali ke desa perbatasan. “Ada pelanggaran hari ini oleh Israel, bahkan dalam bentuk yang sama,” kata Fadlallah kepada wartawan, dikutip dari Reuters.
Sementara Militer Lebanon juga menuduh Israel telah melanggar gencatan senjata. “Israel berulang kali melanggar kesepakatan ini,” kata pihak Militer. Israel, menurut pihak Lebanon, menyebutkan sejumlah serangan udara dan serangan terhadap wilayah Lebanon oleh Israel dengan berbagai cara.
Saling tuding antara Israel dan Hizbullah mencerminkan rapuhnya kesepakatan yang dirancang untuk penghentian permusuhan dan selanjutnya mewujdukan perdamaian permanen di wilayah itu.
Kedua belah pihak sebenarnya sudah menunjukkan kesediaan untuk menerima gencatan senjata yang didasarkan pada ketentuan Resolusi DK PBB 1701,yang disahkan untuk mengakhiri perang Lebanon pada 2006.
Isi Kespakatan Gencatan Senjata
Intinya, Hizbullah akan mundur dari perbatasan untuk digantikan pasukan penjaga perdamaian PBB dan Angkatan Bersenjata Lebanon, sebaliknya saat pasukan PBB dan Lebanon masuk, pasukan Israel secara bertahap akan keluar.
Namun, PM Israel, Benjamin Netanyahu, kemudian naik ke podium Sidang Umum PBB dan menyampaikan pidato berapi-api yang menolak gagasan gencatan senjata dan seusai sidang itu, Netanyahu kembali ke hotelnya di New York dan dari sana dia memerintahkan pembunuhan terhadap Hassan Nasrallah, pemimpin Hizbullah, bersama dengan sebagian besar para komandannya.
Tentara Israel kemudian menjatuhkan sekitar 80 bom ke markas bawah tanah Hizbullah di pinggiran Beirut. Nasrallah dan sejumlah komandannya tewas dan rancangan kepakatan gencatan senjata itu pun buyar.
Pembunuhan Nasrallah merupakan eskalasi besar dan pukulan telak bagi Hizbullah. Dalam beberapa minggu setelahnya, militer Israel telah menimbulkan kerusakan besar pada organisasi militer Hizbullah.
Kelompok itu memang masih menembakkan sejumlah roket ke perbatasan dan para kombatannya terus melawan pasukan invasi Israel, namun Hizbullah bukan lagi ancaman besar bagi Israel.
Israel dan Hizbullah akhirnya menyepakati gencatan senjata selama 60 hari setelah lebih dari setahun terlibat konflik multifront.
Isi kesepakatan itu sama dengan rencangan yang gagal disepapakti akhir September itu, yaitu bahwa Israel akan secara bertahap menarik pasukannya dari Lebanon, dan Hizbullah akan sepenuhnya mundur ke sebelah utara Sungai Litani.
Sementara itu, AB Lebanon akan menempatkan pasukannya dan mengendalikan wilayah mereka sendiri, sementara Presiden AS, Joe Biden, mengatakan bahwa AS, Prancis, dan sekutu lainnya telah berjanji untuk mendukung kesepakatan itu.
Sementara Profesor studi sejarah dan perdamaian di Universitas Notre Dame AS, Asher Kaufman, dalam artikelnya di The Conversation US menjelaskan, gencatan senjata dimungkinkan karena bertemunya kepentingan Israel, Hizbullah, dan Iran, sponsor utama Hizbullah walau alasan mereka berbeda-beda.
Perdamaian permanen sukar diwujudkan jika di antara pihak yang bertikai tidak tulus, memiliki agenda tersembunyi.