spot_img

IDEAS: RAPBN 2021 Minim Dukungan Fiskal Untuk Sektor Kesehatan

JAKARTA – Setelah lebih dari 5 bulan melanda Indonesia, pandemi corona virus disease 2019 (Covid-19) membawa kerusakan ekonomi yang masif, bayang-bayang resesi menghadang di depan. Peneliti Institute for Demographic and Poverty Studies (IDEAS), Siti Nur Rosifah menemukan ada paradoks besar yang dikukuhkan RAPBN 2021, yaitu minimnya dukungan fiskal untuk sektor kesehatan.

“Anggaran untuk kesehatan hanya sedikit meningkat pasca pandemi. Dengan wabah yang masih mengganas dan tersebar semakin merata ke penjuru negeri, rendahnya anggaran untuk kesehatan sangat memprihatinkan,” kata Nur Rosifah, dalam diskusi hasil riset #IDEASTalk yang bertajuk ‘Pandemi, Resesi, dan RAPBN 2021’ di Jakarta, Kamis (27/08/2020).

Nur Rosifah menambahkan pemerintah dengan kondisi yang tidak memiliki cadangan cukup, harus membayar bunga utang investor hingga 2,11% dari PDB pada RAPBN 2021. Di saat yang sama sektor kesehatan yang merupakan garda terdepan perang melawan pandemi hanya menerima alokasi 0,63 persen dari PDB.

“Bahkan alokasi untuk bunga utang mengalahkan seluruh alokasi anggaran untuk penanganan dampak Covid-19 dan pemulihan ekonomi nasional pada 2021. Tidak terlihat kesigapan bertindak dan keberanian politik yang memadai untuk memprioritaskan keselamatan dan kesejahteraan masyarakat di masa pandemi,” beber Nur Rosifah.

Secara tegas dia pun menilai bahwa pandemi membuka kebebalan pengelolaan APBN, yaitu belanja terikat (beban utang dan belanja birokrasi) terus bertambah meski krisis melanda. Ketika kebutuhan terhadap perlindungan sosial dan penyelamatan dunia usaha dari kebangkrutan meningkat drastis, menambah utang secara radikal malah menjadi pilihan

“Dengan alasan penanggulangan pandemi, defisit anggaran diizinkan menembus batas 3 persen dari PDB, dari rata-rata 2,3 persen dari PDB pada 2016-2019, menjadi 5,9 persen dari PDB pada 2020-2021,” ucapnya.

Melihat erosi fiskal yang signifikan ini mengkhawatirkan karena konsolidasi fiskal ke depan hanya bertumpu pada kenaikan penerimaan, IDEAS memprediksi relaksasi defisit diatas 3 persen dari PDB ini berpotensi berlanjut hingga melebihi 2023.

“Tanpa pandemi saja, kinerja penerimaan perpajakan (tax ratio) kita relatif rendah, rata-rata 10,1 persen dari PDB pada 2016-2019. Pasca Covid-19, kapasitas fiskal diproyeksikan jatuh drastis, hanya 8,5 persen dari PDB pada 2020-2021,” ungkap peneliti yang menggeluti ekonomi makro ini.

Dia memperkirakan ketika RAPBN 2021 membuat asumsi pertumbuhan ekonomi yang ambisius, di kisaran 5 persen, target tax ratio hanya 8,39 persen, bahkan lebih rendah dari target 2020 di 8,57 persen dengan outlook pertumbuhan kontraksi 1 persen. Maka konsolidasi fiskal menuju defisit 3 persen dari PDB pada 2023, sebagaimana amanat UU No. 2/2020, menjadi sulit dicapai.

“Di sisi pengeluaran, Belanja birokrasi (belanja pegawai dan barang) yang mendominasi belanja pemerintah pusat, tidak banyak berubah ketika pandemi menerpa. Pembayaran bunga utang bahkan meningkat drastis pasca pandemi. Belanja tidak terikat yang sudah kecil, masih harus dipangkas saat wabah melanda. Belanja modal dan subsidi turun pasca Covid-19,” ujarnya.

spot_img

Related Articles

spot_img

Latest Articles